Bagaimana Obsesi Gaya Hidup Memengaruhi Kualitas Tidur

Mengungkap modern sleep struggles di era digital.

Foto: Courtesy of BAZAAR Indonesia


Tidur, sebuah aktivitas yang terdengar sederhana. Aktivitas memejamkan mata untuk beristirahat dari kehidupan sehari- hari bahkan “kabur” dari apa yang sedang terjadi. Aktivitas yang kadang dikorelasikan sebagai bentuk aktivitas tidak produktif. Padahal, tidur adalah kebutuhan biologis manusia yang sama pentingnya seperti makan, mandi, dan minum. Bahkan menurut, David F. Dinges, Ph.D., Professor and Chief of the Division of Sleep and Chronobiology dari Departemen Psikiatri di University of Pennsylvania Perelman School of Medicine, fungsi tidur sangat penting untuk fungsi kognisi saat bangun yaitu kemampuan untuk berpikir jernih dan meningkatkan fokus. Tidur juga berperan penting dalam regulasi emosi.

BACA JUGA: Fakta Sebenarnya Di Balik Mitos Tentang Tidur

Tidur terdengar sederhana, tapi ternyata tidak semua orang bisa melakukannya dan tidak semua orang menyadari bahwa tidur adalah jendela bagi kualitas hidup mereka. Di antara jutaan manusia, 10 persen populasi dunia menderita insomnia kronis. Ciri-cirinya adalah sulit tidur, sulit untuk tetap tidur nyenyak, dan sering terbangun lebih awal. Penyebabnya? Tekanan mental dalam kehidupan seperti depresi dan cemas berlebihan, jadwal yang terlalu padat, kelelahan akibat terlalu sering menggunakan layar gadget, dan masih banyak lagi. Hal ini kemudian memengaruhi kesehatan dan kenyamanan hidup penderitanya setiap hari. Pengidapnya pun berasal dari berbagai usia, termasuk para Gen Z. Menurut Iswan Saputro, M.Psi., Psikolog dari Remedi Indonesia, Gen Z termasuk kelompok yang rentan mengalami stres dan cemas mengingat mereka berada pada fase quarter life crisis. “Fase ini adalah masa di mana mereka berusaha membuktikan diri, mencari pengakuan, membangun karier, menghadapi tekanan sosial, dan sering berpikir berlebihan tentang masa depan. Penggunaan media sosial juga memperburuk tingkat stres, kecemasan, dan rasa percaya diri para Gen Z dalam melihat diri sendiri dan masa depan,” jelasnya.

Foto: Courtesy of Freepik

Saya sendiri pernah mengalaminya. Selama ini, saya sering merasa tidak suka dengan malam hari, karena saat semua orang terlelap, energi saya justru lebih banyak di malam hari, sementara siang hari saya merasa lelah. Menurut saya, tidur di malam hari terasa seperti rutinitas yang menjengkelkan dan tidak produktif. Pernah ada fase ketika saya sering minum kopi di sore hari agar bisa menyelesaikan pekerjaan di malam hari juga, sehingga tidak heran saya jarang tidur nyenyak. Saya sempat berpikir bahwa “tidur hanyalah memejamkan mata”, meski rasanya pikiran saya tetap terus bekerja. Hingga suatu hari, teman saya bercerita bahwa ia senang memantau berapa lama ia berada di fase deep sleep menggunakan Apple Watch, sehingga bisa mengetahui kualitas tidurnya di malam hari. Meski beberapa pihak mengatakan sleep tracker itu belum tentu akurat, saya tetap mencobanya dan menyadari bahwa fase deep sleep saya memang sedikit. Saat itu baru saya mengerti, wajar jika meski tidur rutin jam 11 malam, saya tetap merasa lelah keesokan harinya.

Alih-alih menyarankan saya untuk membiasakan diri memakai jam tangan guna memantau kebiasaan tidur, teman saya justru menyarankan untuk tidak menirunya. Menurutnya, ada kekurangan dari metode itu yang membuatnya terobsesi untuk mendapatkan tidur yang sempurna. “Saya jadi punya banyak ritual sebelum tidur dengan pemikiran, kalau satu ritual terlewat, tidur saya tidak akan berkualitas,” ujar Putri Arifa Malik seorang jurnalis gaya hidup. Ia pun mengakui obsesinya untuk tidur sempurna semakin meningkat jika ada agenda penting keesokan harinya. Hal serupa juga dialami teman saya, Agnes Sukianto, seorang pengusaha fashion. Ia sering merasa takut tidak bisa tidur saat mencoba beristirahat, dan terkadang mengonsumsi obat tidur agar tidak terbangun setiap satu jam. Keinginannya untuk tidur dengan sempurna justru membuatnya overthinking dan semakin sulit tertidur.

“Fase di mana pembuktian diri, validasi, membangun karier, penerimaan dan tekanan sosial, dan berujung pada overthinking tentang masa depan,” tutur Iswan Saputro, M.Psi.

Foto: Courtesy of Freepik

Ternyata ada istilah untuk fenomena psikologis ini, yaitu Orthosomnia, di mana seseorang terobsesi untuk mendapatkan tidur yang sempurna sehingga menimbulkan kecemasan, stres, dan bahkan gangguan tidur lainnya. “Cirinya antara lain terobsesi dengan tidur yang ‘sempurna’, ketergantungan dan kecemasan terhadap data tidur yang biasanya terlihat di smart watch, terlalu fokus pada ekspektasi ‘sempurna’ sehingga sulit merasa puas, serta mengabaikan faktor lain selain data yang tercatat di pelacak tidur,” jelas Iswan.

Kehadiran media sosial yang menyediakan begitu banyak informasi memegang peran besar dalam hal ini. Beragam saran dan standar gaya hidup tentang bagaimana orang “seharusnya” menjalani aktivitas, termasuk tidur, menciptakan semacam kompetisi antar individu. Tak heran muncul begitu banyak ritual sebelum tidur yang semakin beragam untuk mendapatkan tidur yang sempurna. Saya pun ikut terpengaruh oleh tren di media sosial, mulai dari minum ashwagandha agar tidur lebih lama, mengonsumsi magnesium untuk menjaga sleep-wake cycle dan membuat otot lebih rileks, hingga mengganti sarung bantal dengan material yang sejuk, memakai room spray dari brand mewah, dan minum teh peppermint sebelum tidur. Teman saya, Josephine, seorang entrepreneur, juga melakukan hal serupa. “Melihat TikTok menjadi senjata saya saat merasa cemas sebelum tidur, sekaligus membuat saya terekspos pada tip-tip yang semakin menambah ritual saya sebelum tidur,” ujarnya. Banyaknya orang yang membagikan trik ritual sebelum tidur dan menyebut diri mereka “pro sleeper” menunjukkan meningkatnya fenomena insomnia yang dirasakan banyak orang.

Selain istilah pro sleeper, muncul pula istilah sleep divorce. Dahulu, ketika pasangan suami-istri tidur di kamar terpisah, hal itu sering dianggap menandakan hubungan yang tidak harmonis. Kini, banyak orang memilih tidur terpisah bukan karena hubungan renggang, melainkan untuk mendapatkan kualitas tidur yang lebih baik. Perbedaan preferensi tidur, seperti terang atau gelapnya lampu, suhu ruangan, dan lain-lain, membuat banyak pasangan kesulitan mendapatkan tidur yang optimal. “Saat memutuskan melakukan sleep divorce, hubungan saya dengan suami justru lebih harmonis. Kami bangun dengan perasaan berenergi karena masing-masing bisa menyalurkan preferensi tidur ideal tanpa mengganggu area pasangan,” ujar salah satu teman saya, yang terinspirasi dari wawancara aktris Cameron Diaz mengenai normalisasi tidur terpisah dengan pasangan.

Dahulu, ketika pasangan suami-istri tidur di kamar terpisah, hal itu sering dianggap menandakan hubungan yang tidak harmonis. Kini, banyak orang memilih tidur terpisah bukan karena hubungan renggang, melainkan untuk mendapatkan tidur yang lebih berkualitas.

Foto: Courtesy of Freepik

Lalu, apa yang bisa dilakukan agar kita bisa tertidur tanpa overthinking dengan cara mengendalikan pikiran? Salah satu terapi yang banyak dibahas untuk mengatasi hal ini adalah Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Terapi ini berfokus pada perubahan pola pikir dan perilaku dengan pendampingan psikolog. Selama sesi, pasien dibimbing untuk mengenali pikiran atau keyakinan negatif, membantu mereka menemukan pola pikir yang lebih sehat, serta melatih perilaku atau gaya hidup yang lebih adaptif. “CBT berprinsip bahwa masalah psikologis muncul akibat distorsi kognitif dan perilaku maladaptif yang memengaruhi kualitas hidup seseorang. Terapi ini cocok untuk mengatasi Orthosomnia yang disebabkan obsesi berlebihan terhadap kualitas tidur,” jelas Iswan, yang menambahkan bahwa tidur yang berkualitas sebaiknya berlangsung 7–9 jam setiap hari.

Tanpa menyalahkan kemajuan teknologi dan kecepatan informasi, obsesi terhadap gaya hidup sehat sejatinya hal yang positif. Menggunakan sleep tracker atau melakukan berbagai ritual sebelum tidur merupakan bentuk kepedulian individu terhadap dirinya demi mendapatkan tidur yang berkualitas. Namun, penting untuk tetap menjaga ekspektasi dan kesadaran saat memanfaatkannya. Pahami bahwa setiap orang unik, dengan proses dan motivasi berbeda, sehingga tidak perlu menilai mana tidur yang sempurna dan mana yang kurang sempurna. “Kualitas tidur Anda tidak hanya ditentukan oleh data, tetapi juga oleh perasaan dan kebugaran tubuh sebelum dan setelah bangun tidur,” tutup Iswan.

BACA JUGA:

Fakta Tentang Beauty Sleep, Dan Bagaimana Anda Menerapkannya Dalam Keseharian

Ini Dia Alasan Pentingnya Tidur Sebelum Tengah Malam

Baca artikel Beauty Talk Bazaar yang berjudul "Sleeping in Trend"yang terbit di edisi cetak Harper's Bazaar Indonesia - Oktober 2025; Penulis: Astrid Bestari; Alih bahasa: Amadea Saskia Putri; Foto: Courtesy of Freepik