Bukan untuk acara ulang tahun, dua bouncy castle dan balon-balon yang memenuhi Studio TM dibangun atas permintaan Harper’s Bazaar Indonesia. Soalnya, di hari Minggu pagi tersebut, kami menghabiskan waktu bersama dua aktor kelahiran tahun 2000 untuk pemotretan Cover Digital bulan April. Mereka adalah Syifa Hadju dan Bryan Domani.
Syifa dan Bryan bukan baru kenal. Mereka berdua sudah pernah menghabiskan waktu di project yang sama. Meski keduanya termasuk pribadi yang introvert, membangun chemistry antara mereka ternyata bukan hal yang sulit. Begitu juga di lingkup kerja yang mengharuskan mereka menjadi orang yang outgoing. Sebagai sesama introvert, saya paham itu menghabiskan banyak tenaga. Begitu juga dengan proses recharge-nya. Berangkat dari konsep pemotretan yang fun dan penuh warna, saya membuka percakapan dengan berandai-andai.
Harper’s Bazaar (HB): Apa superpower pilihan kalian, dan mengapa?
Syifa Hadju (SH): Teleportation. Karena dalam hari itu saya bisa ke tempat-tempat yang saya mau kunjungi. Seperti melihat Aurora di Norwegia.
Bryan Domani (BD): To teleport. Saya paling tidak suka traveling! Saya tidak suka berlama-lama di dalam mobil dan saya tidak suka naik pesawat.
HB: Kalian sudah melihat set hari ini. A fun, joyful, and colorful set. Bazaar
ingin menggali sedikit lebih dalam tentang apa artinya colorful dalam keseharian Syifa dan Bryan?
SH: Literally, my cats are my color, my world. Rutinitas saya sebelum ada 11 kucing di rumah itu biasa saja. Mereka (kucing-kucing) ini teman saya ngobrol dan curhat. Dan, somehow mereka mengerti apa yang saya rasakan. Jadi dapat dikatakan kalau kucing-kucing saya itu pemberi warna dalam hidup saya.
BD: Malleable. Setiap warna memiliki representasi emosi tersendiri. Colorful juga bukan berarti happy saja. Jadi bagi saya, colorful itu malleable, adaptable. Tanpa adanya warna, hidup kita akan menjadi monoton dan membosankan.
HB: With that being said, how do you have fun and unwind?
SH: Playing with my cats! Hanging out with my family, best-friends, and boyfriend. Meski sebenarnya sekarang sahabat-sahabat saya banyak yang sudah
berkeluarga atau tidak tinggal di Jakarta. Sebenarnya sekarang lagi sering merasa kesepian, namun di saat yang bersamaan saya juga menyadari kalau ini yang namanya adulting. Kian hari, saya semakin menikmati hari-hari di mana saya sendiri.
BD: Barbecue! I love cooking! Tapi, jujur, having fun versi saya adalah mengundang teman-teman datang ke rumah, masak untuk mereka, dan melihat mereka ngobrol. That’s recharging for me. Anyway, saya memang suka memasak. Karena Ayah saya juga seorang chef. Makanya sewaktu kecil banyak pindah-pindah negara.
Meski diawali dengan "pintu masuk" yang berbeda-beda ke dunia akting, Syifa dan Bryan kini berkarier sebagai aktor di Tanah Air. Keduanya terlahir dalam generasi Z. Kategori generasi yang sering kali disalahpahami oleh orang banyak. Kurang lebih keduanya sama-sama tidak menyangka akan menjadi aktor. Syifa memulai semuanya dari kompetisi modeling dan ikut audisi iklan. Sedangkan Bryan memulai segalanya sebagai anggota boyband cilik. Sebuah fakta menarik kalau Bryan mempunyai ketertarikan dengan menulis. Ia sempat mengikuti kompetisi cipta lagu. Fast forward ke tahun lalu, Bryan menghadiahkan lagu yang ia tulis untuk kekasihnya berjudul Bersama.
HB: Bagaimana cara kalian membangun chemistry di set pertama kali?
SH: Bryan itu easy going. Sedangkan saya pendiam sekali. Meski waktu pertama kali itu kita
jarang ada scene berdua, karena Bryan yang tahu bagaimana
caranya melakukan approach, kita jadi seperti sahabatan
setelahnya. Nah, dari sana semuanya sudah lebih mudah. Sudah
tidak canggung sama sekali. Sudah sama-sama straight to the point
kalau ada yang merasa tidak nyaman atau tidak suka.
BD: Seperti yang Syifa bilang, meski di project-project awal saya dan Syifa itu jarang
menjadi lawan main satu sama lain. Saya, Syifa, dan semua pemain itu
masih hang out, sering ngobrol juga. Jadi untuk
mendapatkan chemistry itu dengan Syifa cukup mudah. Ada hal
lain yang selalu saya ingat tentang chemistry. Yaitu belum
tentu chemistry orang aslinya itu bisa diimplementasikan ke
dalam karakter yang mereka mainkan. Jadi kalau dalam sebuah project,
yang saya bangun adalah chemistry antara karakter saya dan
karakternya Syifa. Tapi sepertinya memang berhasil, ya? Karena
lumayan banyak orang yang suka.
Keberanian datang dalam wujud yang berbeda-beda. Syifa dan Bryan terlahir di zaman serba modern, meniti kariernya di industri kreatif. Tentu yang namanya keberanian harus selalu siap di dalam kantong. Keduanya berpendapat dengan jujur kepada diri sendiri itu adalah keberanian paling besar yang dapat dimiliki setiap orang. Memang, ini lebih gampang diucapkan dibanding dijalankan.
Keduanya juga memiliki pendapat yang sama ketika ditanya pertanyaan soal generasinya. Yang menarik dari proses wawancara ini adalah keduanya memberikan fondasi jawaban yang serupa padahal tidak duduk bersebelahan, namun tetap memilki fondasi jawaban yang serupa.
HB: Sebagai Gen-Z, benarkah kalian itu generasi yang tidak takut menyuarakan pendapatnya?
SH: Untuk saya pribadi, mungkin sekitar 60 atau 70 persen kalimat itu benar. Tapi saya lebih senang mengamati. Saya merasa memang kelebihan kami di generasi ini memang ada pada vokal. Namun banyak juga yang menurut saya unnecessary. I don’t think you should say something without any foundation to it. Kembali ke saya yang lebih sering mengamati, saya lebih memilih diam dibandingkan bersuara namun tidak yakin atau tanpa riset yang mendalam.
BD: Kita berani bersuara. Tapi terkadang tidak sepenuhnya dibutuhkan. Ada yang menghakimi tanpa mengetahui konteks sepenuhnya. Untuk saya, menyuarakan sesuatu yang benar-benar saya peduli dan tahu betul, a hundred percent!
Tapi tidak semua hal di dunia ini. Hanya yang saya mengerti topiknya.
HB: Apa yang sering kali disalah pahami tentang generasi kalian oleh generasi lain?
SH: Kami lebih sering bertindak dulu baru berpikir. Memang banyak, tapi tidak semua. Banyak dari
generasi ini yang berhati-hati dalam segala hal.
BD: Ada beberapa orang yang bilang kami ini manja. Tapi bebannya sudah berbeda. Karena sudah disiapkan banyak pilihan oleh para generasi sebelumnya, terkadang kami juga bingung. Bersyukur akan banyaknya jalan yang sudah dibukakan? Sudah pasti. Tapi menurut saya, generasi Z ini masih membutuhkan mentor, atau someone to look up to, yang benar-benar bisa merangkul kita.
HB: Bagaimana dengan kritik, apa sikap kalian terhadapnya?
SH: Saya senang dikritik. Tapi tergantung siapa dan apa. Karena ada kritik yang tidak membangun. Ada yang lebih mengarah ke opini tak bertulang saja.
BD: Arti kritik itu seringnya lost in translation. Kritik itu kan secara tidak langsung adalah memberikan masukan untuk perbaikan. Tapi seringnya kritik itu lebih ke attack. Bukan kritik yang membangun sebuah percakapan. Saya senang menerima kritik yang masuk akal. Banyaknya kritik zaman sekarang itu tidak ada poinnya.
HB: Lantas, di tengah semua itu, bagaimana cara Syifa dan Bryan melewati tantangan dan keraguan?
SH: Banyak momen di mana saya seperti diminta untuk menjadi dewasa sebelum waktunya. Tumbuh besar saya sering merasa sendiri. I’m not trying to be religious, tapi memang Tuhan itu membantu saya dalam banyak hal. Dari dulu sampai sekarang, saya yakin selalu ada Tuhan yang membantu saya melewati setiap tantangan.
BD: I’m lucky I have a great support system. Yang mana itu adalah my core. Setiap kali mereka melihat saya sedang tidak bisa menanggung semuanya sendiri, mereka datang dengan caranya masing-masing. Papa tempat saya berbagi, kehangatan dari mama, adik saya yang memiliki jiwa free spirit, dan kekasih saya yang perasa dan lembut hatinya.
HB: Let’s end the conversation with something fun and light. Apa yang terakhir kali membuat Anda tertawa?
SH: Vlog
kakaknya pacar saya! Ada video kami beramai-ramai sedang berlibur di Singapura, dan sedang berkunjung ke Universal Studio. Ada ekspresi saya yang terekam saat sedang menaiki sebuah wahana putar.
BD: Kemarin saya nonton film dokumenter. Durasinya dua jam, nangisnya enam kali! It’s happy tears.