Sejujurnya bikin musik di album ini itu sangat menguras energi. Bukan karena menulis sembilan lagunya, tapi karena emosi yang ada di lagu itu.
Pagi itu, studio dua Harper’s Bazaar Indonesia seketika disulap menjadi tempat swab antigen untuk seluruh tim yang terlibat proses syuting cover digital kali ini. Sibuk bolak-balik, tanpa disadari ternyata saya sudah berpapasan dengan bintang hari itu, Sivia Azizah. Teringat dengan fakta bahwa hitam adalah warna kesukaan sang penyanyi, saya pun mundur beberapa langkah dan bertanya “Sivia, sudah swab?” “Sudah tadi di sana,” jawabnya sambil menunjuk ke arah Timur. Setelah semua personel berada di ruang yang sudah ditentukan, saya pun duduk di sebelah pelantun lagu Love Spells yang belakangan ini menjadi lagu andalan saya di pagi hari.
Sejujurnya bikin musik di album ini itu sangat menguras energi. Bukan karena menulis sembilan lagunya, tapi karena emosi yang ada di lagu itu.
“Congratulations for the album! Apa perasaan kamu saat ini?” Dengan lembut Sivia berterima kasih, “Pertama-tama terima kasih sudah mendengarkan lagu saya. Rasanya cukup puas karena itu sesuai dengan apa yang saya bayangkan, sesuai ekspektasi. Setidaknya ekspektasi saya, bukan orang lain. Sejauh ini tanggapannya bagus, banyak yang terkejut karena genrenya R&B bercampur Pop Soul.”
Sebagai salah satu pengagum perempuan kelahiran tahun 1997 ini, saya menyimpan rasa penasaran akan arti di balik lagu yang juga menjadi judul album pertamanya, Love Spells. Begitu upbeat namun tersirat rasa ikhlas yang berbanding tipis dengan menyerah.
Sambil tertawa kecil, Via, begitu panggilan akrab dari teman-temannya, menjelaskan bahwa harapan adalah makna di balik lagu itu, “Tentang harapan terhadap diri saya sendiri. Di lagu itu saya menggambarkannya terhadap seseorang. Saya mengharapkan sebuah hasil dalam proses pendewasaan yang sedang saya lewati.”
DRESS, OVERSIZED T-SHIRT, STUDIO MORAL. TAS SRW, AVAILABLE AT ASAU
Ternyata tebakan saya kurang tepat. Dengan sigap saya pun bertanya lagu mana yang paling pas didengarkan apabila ada yang sedang mencoba ikhlas, “Goodbye Rumbling Heart!” pungkasnya. “Ego, Storm, dan Goodbye Rumbling Heart adalah tiga lagu paling emo. Kalau Ego itu seperti marah, sedangkan Storm itu sedih, kalau Goodbye Rumbling Heart itu seperti berkata it’s your lost not mine. Sejujurnya bikin musik di album ini itu sangat menguras energi. Bukan karena menulis sembilan lagunya, tapi karena emosi yang ada di lagu itu. Saya punya live version lagu Storm di YouTube, suara saya (masih) sangat bergetar saat menyanyikannya.” Ia lanjut bercerita bahwa lagu Breathe menyimpan makna mendalam untuknya.
“Breathe itu bercerita tentang manusia dan yang menciptakannya. Kembali ke diri sendiri. Dan untuk saya itu adalah kembali ke yang menciptakan saya.” Menurut Via, ketika manusia bernapas, itu juga termasuk salah satu bentuk komunikasi dengan Sang Pencipta.
Dari sembilan lagu yang kadang saya putar secara on loop, tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa adanya rasa pilu di balik kata-kata indah rangkaian Via. Tidak saya sangka bahwa Via yang sedari tadi menyelipkan candaan di kalimatnya juga adalah pribadi yang bisa sendu, lalu saya tersadar bahwa ia juga seorang manusia.
ATASAN, PLEATS PLEASE - JADE BOUTIQUE
Meneruskan topik seputar musiknya, saya bertanya proses seperti apa yang ia jalani sebelum akhirnya semua terkumpul di satu album, “Kalau lagu itu semua on me. Saya punya bank lirik dalam handphone, tepatnya di aplikasi Notes. Saya sangat membuka diri untuk berdiskusi soal artwork dan visual. Namun untuk urusan musik itu saya, lalu satu per satu produksi musiknya bersama produser saya. Selesai mixing, baru saya perdengarkan ke tim,” jelasnya. Sebagai seorang entertainer yang sebelumnya sudah pernah mencoba banyak hal di industri ini, ia tahu bahwa pemikiran dari sisi bisnis itu tidak terhindari. Oleh karena itu Via pun tahu apa yang terbaik untuknya, yaitu menjalani proses pembuatan lagu secara partikular dan personal.
Dalam hati, saya itu ingin sekali disebut sebagai penyanyi dan musisi, tapi saya tidak punya karya. Itu rasanya nano-nano, lho!
SCARF & AKSESORI – HERMÉS
Kenal dengan industri ini sejak umur enam tahun, lalu menjadi bagian dari grup band cilik Fortunate Kids, hingga tergabung dalam girlband bernama Blink. Tiga hal tersebut seolah menjadi indikasi bahwa kariernya Via di dunia tarik suara itu selalu berjalan dengan tanpa hambatan. Salah! Ternyata banyak sekali detour yang ia lewati untuk mengenal dirinya lebih jauh lagi.
Dua pembelajaran terbesar ia dapatkan saat menjadi penyiar radio dan pemain sinetron, “Saya paling banyak belajar ketika menjadi penyiar radio. Dunianya tidak jauh beda dari musik. Di sana saya kerap bertemu dengan penyanyi, belum lagi mewawancara mereka. Dalam hati, saya itu ingin sekali disebut sebagai penyanyi dan musisi, tapi saya tidak punya karya. Itu rasanya nano-nano lho!” ungkap Via yang melewati masa ini ketika ia memutuskan untuk break selama dua tahun.
Dan satu lagi adalah ketika Via menjadi pemain sinetron. “Tiga sinetron dalam enam tahun. Satu sinetron itu dua tahun,” tuturnya singkat. Banyak sekali yang dikorbankan oleh Via di masa tersebut, antara lain adalah teman-teman dan waktu bermain. Seperti ada yang direnggut dari masa teenager-nya. Meski demikian, semua ini tidak dilaluinya secara sia-sia. Dari sini, Via semakin yakin kalau menyanyi adalah panggung yang sempurna untuknya. Ia pun jadi memiliki mentalitas untuk tidak mudah menyerah. Sayangnya saat itu ia masih belum yakin kalau ia bisa menulis lagu. Ragu yang kerap kali dibalut dengan gurauan akhirnya terjawab dengan patah hati yang ia alami. Sambil tertawa lepas Via menjelaskan momen Aha yang ia rasakan saat itu “OH! Ini makanya orang-orang pada bisa bikin lagu! Pantas saja lagu-lagu patah hati itu banyak yang bisa relate, yang jatuh cinta sekali pun. Di sana, semuanya berubah. Saya sadar harus lebih sensitif dan peka terhadap diri sendiri. Itu juga jadi momen saya mengenal self-healing.”
Bicara tentang perjalanan self-healing, perempuan bungsu dari tiga bersaudara ini mengaku bahwa proses berkenalan dengan dirinya sendiri membawa hasil yang spektakuler. “Ke Bali sendirian, meditasi lima hari, ikut program yang tidak melibatkan penggunaan smartphone. Saya cuek saja,” jelas Via. The Yoga Barn di Bali adalah destinasi self-healing favorit Via, namun karena adanya pandemi, lagi-lagi ia harus berkompromi dengan apa yang bisa ia dapatkan di Jakarta.
Hidup akan selalu dipenuhi dengan rasa sedih dan senang, keseimbangan itu nyata adanya. Meditasi, yoga, dan hipnoterapi adalah tiga jurus andalan Via untuk recharge dirinya. Ada pula formula yang terus ia genggam sebagai pegangan hidup. “Jangan terus menerus melihat dunia ini dari sudut pandang seorang penyanyi atau creator. Tidak peduli seberapa idealisnya diri ini, saya harus bisa melihat dunia sebagai pendengar. Itu semua ada hubungannya dengan cara saya bekerja agar tetap berjejak di bumi. Selain penting, semua ini ada kaitannya dengan mental. Saya harus tau formulanya agar tetap waras,” jawabnya. Ini serupa seperti saya yang harus bisa menempatkan diri sebagai pembaca, tidak melulu sebagai penulis. Well, that makes total sense!
Sejenak saya berbicara tentang keseimbangan dalam hidupnya. Di hari ulang tahunnya yang bertepatan dengan hari Valentine, Via merilis extended play atau EP. Bertajuk Are You My Valentine?, lagu easy listening dengan tema jatuh cinta ini merupakan kado untuk dirinya sendiri. Ia pun merasa lagu ini terlampau manis, bahkan giung menurutnya. “Saya itu tidak bisa kalau terlalu manis karena menurut saya tidak masuk akal. Too good to be true. Menulis lagu itu harus tetap masuk di akal!”
Sejenak pandangan saya bolak-balik antara Via dan sang kakak, Talitha Amilia, yang setia menemani dari pagi. Ternyata bukan hanya Ia, begitu panggilan rumahnya, yang nyaman dengan warna hitam, tapi seluruh anggota keluarganya! Jari-jarinya yang lentik dan hampir penuh dengan cincin juga mencuri perhatian. “Saya itu suka sekali dengan cincin. Ini dari Studio Tanda,” jelas Via sambil menghitung jumlah cincin yang dikenakannya. (Ada enam!)
Mendengar untuk mengerti, bukan mendengar untuk merespons.
Banyak sekali cerita pembelajaran Via yang terkandung di dalam album Love Spells. Selain menghasilkan album perdana yang ia godok selama satu tahun, semakin hari Via juga tumbuh menjadi versi diri terbaiknya. Itu proses yang ia terus jalani hingga sekarang. Terlihat dari jawabannya ketika saya tanya apa yang berbeda dari seorang Sivia jika pandemi tidak ada? “Sepertinya saya akan jadi orang yang ignorant. Saya itu kurang peka,” jawabnya setelah beberapa detik.
COLLAR DAN JAKET - STUDIO MORAL AVAILABLE AT ASAU, T-SHIRT - RIP N DIP AVAILABLE AT JADE BOUTIQUE, DENIM - MONOXROOM
Berbeda dengan biasanya, saya tidak menyudahi interview dengan pertanyaan, melainkan dengan pernyataan yang harus dilengkapi oleh Sivia.
Ekspektasi itu? “Menyeramkan. Ekspektasi dan harapan itu sama tidak?” tanyanya kembali kepada saya. “Menurut saya berbeda. Berekspektasi itu seperti tidak melihat kondisi gitu lho,” jelas Via dan saya pun mengangguk setuju.
Asumsi itu? “Saya tiga bulan yang lalu! Akhirnya coba bicara dengan yang lebih waras. Dan mendengar untuk mengerti, bukan mendengar untuk merespons. Itu yang akhirnya membuat saya untuk tidak berasumsi lagi.” Walau ekspekstasi dan asumsi itu akan terus ada, cara kita menghadapinya yang jadi penentu. Itu adalah satu dari sekian banyak hal yang saya petik dari penyanyi yang mengutamakan kenyamanan dalam berpenampilan ini. “Jadi orang yang composed itu perjalanannya panjang,” ucapnya sambil tersenyum mengakhiri sesi oborolan yang mengundang banyak tawa pagi itu.
Durasi pada aplikasi perekam suara sudah menunjukkan angka satu di bagian jam. Saya pikir ini cukup untuk jadi teman pada hasil foto dan video arahan Michael Pondaag, Fashion Stylist Harper’s Bazaar Indonesia. Sesaaat sebelum photoshoot dimulai, Sivia akhirnya menetapkan pilihan untuk memutar lagu Love Spells karyanya sebagai lagu pertama di sesi itu.