Kesadaran kalau kita tidak bisa menyenangi semua orang. Tapi di waktu yang bersamaan, memang tidak harus semua orang suka sama kita.
Terdengar suara lembut dari kejauhan di antara gelak tawa pagi itu, pertanda bahwa bintang cover digital Harper’s Bazaar Indonesia bulan Oktober sudah tiba.
Memasuki ruangan, Raisa berhenti dan menyapa semua kru, “Selamat pagi!” Secara serentak semuanya pun membalas salam merdu tersebut.
Itu bukan pertama kali saya “bertemu” dengan Raisa. Tepat sepuluh tahun yang lalu, di Melbourne Town Hall, saya menonton Raisa live untuk acara pentas seni godokan kumpulan mahasiswa Indonesia. Bukan maksud untuk ingin sok kenal atau sok akrab, namun memang fakta itu yang jadi fondasi pertanyaan pertama saya.
Harper’s Bazaar (HB): Sepertinya banyak yang berubah dari Raisa saat itu, yang lebih banyak berdiam. Kini, Anda menjadi pribadi yang lebih hangat dan bubbly. Is that true or am I just saying nonsense?
Raisa Andriani (RA): Sebenarnya bukan diam, sih. Lebih ke kaku. Justru saya adalah salah satu orang yang paling enggak berubah. Hanya sekarang lebih berani untuk mengekspresikan diri. Dulu, secara stage present masih belajar, masih banyak takut salah di sosial media. Bedanya dengan sekarang, on-stage, saya sudah bisa lebih menguasai panggung. Kalau in general, saya berani berbicara dan mengutarakan diri. Dulu banyak pertimbangan, takut dikritik, takut enggak disukai. Jadi lebih baik diam. Sekarang, lebih cuek.
HB: Pasti banyak pembelajaran hidup yang Raisa lalui. Care to share your two-cents?
RA: Kesadaran kalau kita tidak bisa menyenangi semua orang. Tapi di waktu yang bersamaan, memang tidak harus semua orang suka sama kita. Bukan sekadar kita enggak bisa menyenangi semua orang dan berhenti di sana. Tapi enggak semua orang itu harus suka sama kita. Itu sih! Menurut saya, pembelajaran bahwa kalau perasaan orang tidak se-hitam putih itu. Bukan suka atau benci. Lebih mengarah ke suka atau biasa-biasa saja. Atau tidak tahu, bahkan tidak peduli. Banyak sekali sebenarnya. Hal seperti itu yang membuat hidup lebih ringan.
HB: “Motherhood is something transformative,” pernah Raisa ucapkan beberapa saat lalu. Apa yang terjadi?
RA: Seperti yang saya sering ucapkan di atas panggung, saya pikir saya akan menjadi sosok yang mengajarkan Zalina banyak hal. Tapi ternyata kebalikannya. Ia (Zalina) yang lebih mengajarkan saya tentang diri saya sendiri, terutama tentang melihat kehidupan, cara memahami sekaligus menghargai waktu. Semisal kita ada keinginan untuk belajar, semuanya akan lebih seru untuk dijalankan. Ada rasa penasaran. Seolah-olah sedang di dalam kelas, tapi muridnya saya dan Zalina. Classroom-nya adalah life itself.
Kesadaran kalau kita tidak bisa menyenangi semua orang. Tapi di waktu yang bersamaan, memang tidak harus semua orang suka sama kita.
Justifikasi juga Raisa dapatkan dari dari manajernya, Mathias Manderos. Sebagai salah satu orang yang sudah bersamanya dari sekitar tahun 2009, ia mengangguk setuju. Sembari bercerita, Mathias terkaget saat saya menceritakan secara detail bahwa aktivitas live Raisa di sosial media itu banyak menghibur orang, termasuk saya.
HB: Raisa sering live di TikTok, dan terlihat menikmati lawakan yang ia persembahkan ke penggemarnya. Apa lagi yang Anda lakukan untuk bersenang-senang?
RA: Shopping. Terus bermain makeup. Dulu, saya merasa kalau jadi ibu-ibu itu secara langsung akan jadi “ibu-ibu”. Otomatis jadi tua. Karena dulu sewaktu masih kecil, melihat ibu kita itu tua banget! Padahal mungkin ibu kita (saat itu) seumuran dengan kita sekarang. Namun nyatanya malah saya yang jadi anak kecil. Jadinya sekarang what we do for fun itu ke playground, main trampolin. Merasakan kid-like-spirit saya muncul lagi.
HB: “The best weapon to seduce women is humor.” Kalimat itu sempat terlontarkan oleh Creative Director dari Fauré Le Page, Augustin de Buffévent. Apakah Anda setuju?
RA: Setuju! Karena saya juga sangat humoris. Saya juga tipe orang yang flirting-nya menggunakan humor. Menurut saya, kalau selera humornya sama pasti akan cocok di berbagai aspek. There’s never going to be a dull moment. Menurut saya humor itu adalah pertanda level intelijen seseorang. Sangat! Orang yang humoris dengan genre humor tertentu itu biasanya dia pintar. Karena pintar menganalisa situasi dan peka. Apalagi kalau orang tersebut bisa menemukan humor dalam situasi sedih atau tragis. Pribadi yang “bisa” dark humor itu juga pasti seorang pengamat. Makanya saya senang sekali berada di sekeliling orang yang humoris.
Menurut saya, humor itu adalah pertanda level intelijen seseorang.
Beralih ke gaya. Penampilannya selalu terlihat mengagumkan di atas panggung. Mulai dari hair-do, pilihan dress yang flowy serta memberikannya kebebasan bergerak selalu diutamakan oleh penyanyi ini. Lantas, bagaimana dengan aksesori?
HB: Style-wise, what is your staple?
RA: I am such a bag person. Dalam ranah fashion, benda yang paling bisa membuat saya mengeluarkan uang itu adalah tas. Saya tidak terlalu heboh dalam berpakaian. Tapi saya harus memakai the right bag! Gampang teracuni kalau tas. Oh, dan hoop earrings!
HB: What kind of bag is your bag? Describe them!
RA: I used to be a big bag person. Lalu sekarang berubah jadi kecil. Apalagi saat sudah menjadi ibu, karena ada aja yang harus dibawa. Always in between. Tapi kalau bisa memilih, saya lebih senang dengan small bags.
HB: Menurut Anda, faktor apa yang Anda cari dalam suatu tas?
RA: Durability. Itu pasti! I don’t like to be precious with my bags. Maksudnya adalah saya itu kalau punya leather goods, tidak mau takut-takut memakainya. Saya mau kalau memakai sesuatu memang betul-betul saya gunakan, dan tidak takut kepikiran hal lain. Jadi, saya memakai sesuatu yang durable. Setelah itu saya juga mementingkan tas yang bisa di-dress up dan juga dress down. Ada satu lagi yang lebih unik lagi, yaitu panjang tali tas. Ada ukuran tali yang bisa membuat saya semangat untuk memiliki tas tersebut.
Layaknya koleksi leather goods dari Fauré Le Page yang sudah ada sejak tahun 1717, Raisa juga mengedepankan ketangguhan dari sebuah tas. Label asal Prancis ini juga memiliki ciri khas di setiap koleksinya, salah satunya adalah desain ikonis melalui monogram fishtail-nya. Raisa pun Layaknya koleksi leather goods dari Fauré Le Page yang sudah ada sejak tahun 1716, Raisa juga mengedepankan ketangguhan dari sebuah tas. Label asal Prancis ini juga memiliki ciri khas di setiap koleksinya, salah satunya adalah desain ikonis melalui monogram fishtail-nya. Raisa pun memiliki sesuatu yang ikonis pada dirinya. Untuk Anda yang merupakan penggemar setia dari istri Hamish Daud ini pasti tahu apa yang saya maksud.
HB: Sejak awal Anda muncul ke dunia tarik suara, dan hingga sekarang, Anda selalu ditemani mikrofon bernuansa mint di atas panggung. Apa ada alasan istimewa di baliknya?
RA: Itu warna favorit saya! Waktu itu saya sempat menjadi brand ambassador dari sebuah peranti elektronik, lalu kemudian buat custom microphone. Selalu dibawa kemana pun saya show. Biasanya, kalau penyanyi itu selalu punya satu mic yang cocok dengan karakter suaranya.
Tak kalah signifikan, ternyata warna favorit Raisa juga diaplikasikan ke aspek lain dari hidupnya, yaitu label kecantikan yang baru saja diluncurkan, Raine Beauty.
HB: Congratulations on Raine Beauty! How is it going so far?
RA: Terima kasih! Senang sekali, seperti mimpi yang jadi kenyataan. Sold out terus!
HB: Inspirasi di balik nama Raine?
RA: Raine itu artinya queen, dalam berbagai bahasa. Namun juga sewaktu launching, ada yang bilang kalau juga memiliki arti ‘wajahnya’ dalam bahasa Jawa. Itu juga nama tengahnya Zalina. Kenapa saya memakai nama tengahnya? Karena sehabis melahirkan Zalina, saya mengalami baby blues. Saat belum ada yang bantuin, tidak ada job, justru yang membantu saya merasa lebih baik adalah makeup. Di sana saya sadar bahwa makeup memiliki kekuatan luar biasa, apalagi terhadap perempuan. Ada emotional impact juga. Jadi saya mau orang lain juga merasakan hal yang sama. Mungkin ada yang menganggap bahwa itu hanya sekadar produk kecantikan. Namun untuk yang paham, pasti tahu the power of makeup.
Tidak terasa 40 menit berlalu di salah satu apartemen di The Residence di The St. Regis Jakarta. Sambil bercanda tentang kecintaanya terhadap k-drama di sesi touch-up terakhir, saya pun “melihat” kalau perempuan ini sudah lebih nyaman dengan dirinya sendiri.