Semua orang dihargai berdasarkan kinerja kerjanya.
Ada rasa familier di agenda hari ini. Tiba di penghujung tahun, Bazaar dan Christian Dior kembali mempertemukan tiga sosok ternama Indonesia di bawah payung selebrasi dan perempuan.
Dian Sastrowardoyo jadi yang pertama menyapa sejumlah tim yang sudah tiba di Park Hyatt Jakarta. Beberapa tahun lalu, Dian merupakan sosok pertama yang saya wawancara untuk kanal Cover Story. Langsung terpikir oleh saya untuk melakukan pertanyaan “follow-up” dari obrolan kami tempo hari.
Harper’s Bazaar (HB): Sekitar empat tahun lalu, di Singkawang, kita sempat mengobrol. Ada pertanyaan terkait gerakan #MeToo yang baru muncul di Amerika Serikat. Anda sempat bertutur bahwa setiap perempuan harus “siap” dengan baju bajanya sendiri apabila mau terjun ke industri ini. Pertanyaan saya, apakah baju baja empat tahun lalu itu masih sama tebalnya? Atau sudah bisa lebih ringan?
Dian Sastrowardoyo (DS): Sekarang sudah bisa lebih tipis. Menarik sekali, dalam lima tahun keadaan industri jadi berubah. In a good way. Beberapa tahun terakhir kita melihat OTT (over-the-top), platform on-demand yang mulai masuk. Ternyata dengan pemain internasional ini masuk ke industri kita, mereka seperti mengedukasi kita mengenai standar dan kinerja kerja. Di mana mereka yang di sana yang sudah lebih dulu aware dengan gerakan seperti #MeToo, #TimesUp, politik, dan lain sebagainya. Mereka lebih tahu cara untuk menjadi politically correct. Contoh, sebelum produksi Gadis Kretek, tiba-tiba ada seminar online yang mewajibkan seluruh departemen untuk ikut. Mulai dari makeup artist, asisten rambut, kru kabel, sampai aktor. Guna seminar tadi untuk mengedukasi apa yang pantas dan tidak untuk bisa ada di lingkungan kerja. Akhirnya banyak produksi yang menerapkan hal ini. Sehingga efek positifnya itu terasa sekali.
Setelah tiga tahun tidak syuting, saya masuk ke produksi yang semua sopan, tidak ada bullying, bullying berbasis gender, tidak ada pelecehan seksual, tidak ada diskriminasi gender. Semua orang kondusif sekali, dan semua orang dihargai berdasarkan kinerja kerjanya. Syuting tiga bulan itu terasa syahdu dan mesra. Sehingga ada beberapa konten saya itu gagal move on, alias gamon. Betul, segitu gamon-nya karena jadi sayang. Semuanya top-notch, no drama.
Semua orang dihargai berdasarkan kinerja kerjanya.
Seperti biasa, banyak yang dikerjakan Dian tahun ini. Beberapa yang terlihat di media sosialnya adalah mengajar, giat olah raga, rilis film pendek bertajuk Dini Hari di Jogja Net-Pac Asian Film Festival (JAFF), kemunculannya di Sri Asih, syuting Gadis Kretek, hingga sukses menginspirasi para generasi muda untuk berkain sehari-hari.
HB: The big question is, how are you?
DS: I am good. Justru di penghujung tahun ini tidak terlalu sibuk. Sering pulang ke rumah, lalu bingung hari ini ada kegiatan apa. Mungkin ini adalah pertanda untuk menyeimbangi social life. Karena kalau jadwal padat berarti social life tidak seimbang. Jadi, saya isi dengan sahabat-sahabat yang sedang rajin tenis. Aktivitas itu berlanjut hingga pertandingan sehingga bahu kanan saya cedera, dan harus istirahat. Sangat senang juga setelah rilis Dini Hari di JAFF, dan tanggapannya lumayan positif. Tapi karena melihat film itu sedih sekali, ke depannya saya berjanji pada diri sendiri untuk buat film yang happy dan lucu. Itu katanya lebih susah, lho. Harus belajar buat penonton di studio tertawa.
Percakapan soal film berlanjut ke pertanyaan berandai-andai. Jika diberi kesempatan untuk main film bersama dua perempuan yang juga terlibat dalam pemotretan ini, Marsha Timothy dan Velove Vexia, akan seperti apa rupanya. Yang jelas, Dian lebih ingin berada di belakang layar. “Direct dan menulis,” tuturnya. Kalau memang dipertemukan, Dian yang begitu mengagumi Marsha dan Velove akan membuat cerita yang yang terbaik.
Tentu selain kedua aktor tadi, Dian punya sumber utama inspirasinya, sosok itu ialah sang ibu. “Walaupun saya sering sekali cekcok dengan mama, intinya she’s my muse,” jelasnya sambil tertawa. “Kalau saya melihat hasil film yang saya buat, working woman itu mencerminkan dia. That's what I am right now. Saya sekarang adalah ibu yang workaholic.”
Ruang makeup kemudian diisi oleh Marsha Timothy. Aktor yang baru saja selesai syuting jam empat dini hari tadi kemudian muncul di Park Hyatt Jakarta. Terakhir kali, Bazaar bertemu dengannya di Brunch with Dave Hendrik untuk pementasan Inggit Garnasih bersama Happy Salma. Saya penasaran, apakah aktris yang akrab disapa Caca ini akan lebih banyak muncul di teater?
HB: Gaung Inggit Garnasih masih terasa hingga kini. Apa tahun depan Marsha akan banyak tampil di panggung teater?
Marsha Timothy (MT): Lebih banyak sih tidak, rencana sih iya. Sudah ada pembahasan untuk pertengahan tahun depan, namun itu kemungkinan masih untuk produce. Karena Happy (Salma) main dan produce saja keteteran. Apalagi saya?
HB: Film Noktah Merah Perkawinan yang sempat menghebohkan para generasi baby boomers, Gen X, hingga milenial, apa relevansinya dengan generasi muda hari ini?
MT: Secara judul, pasti banyak generasi muda yang bertanya-tanya apa ini. Tapi setelah film ini ditulis lagi oleh Sabrina Rochelle Kalangie dan Titien Wattimena, menurut saya, relevansinya banyak. Terutama tentang bagaimana generasi muda melihat kehidupan, keluarga, dan juga pernikahan. Kalau sekadar bilang “pernikahan tidak akan mulus,” semua orang juga tahu. Masalah tidak selalu datang dalam bentuk yang besar. Masalah itu justru bisa menjadi besar dari hal yang kecil. Di sini, tentunya tentang komunikasi. Tidak mudah untuk memberi tahu orang lain kalau itu adalah hal yang penting dan sulit untuk dibangun. Termasuk para generasi muda tadi. Mudah untuk orang memberi petuah sekadar “yang penting komunikasi.” Tapi bagaimana membangun komunikasi yang baik dan lancar itu perlu effort.
Menurut Marsha, banyak sekali yang dilihat, dan bukan dari sudut pandang suami dan istri saja. Tapi juga dari sahabat dan anak dalam menyikapi sebuah hubungan. Bahkan ada yang menyampaikan padanya kalau film ini seperti memberikan konsultasi gratis.
Spoiler alert! Salah satu yang Marsha suka dari film Noktah Merah Perkawinan adalah ending film. Di mana pasangan dalam film memutuskan untuk tidak berpisah. “Itu memang hal positif untuk ditanamkan. Ketika kita memutuskan untuk berkeluarga, memang butuh komitmen,” pungkasnya.
HB: Sebagai sesama perempuan yang berkeluarga dan berkarier di industri ini, apa dari Dian yang menginspirasi Anda?
MT: Dian dengan kesibukannya yang sangat padat, ia masih punya waktu untuk memberikan ide ke anak-anaknya. Saya bukan tipe orang yang seperti itu. She inspires me in that way.
HB: Jadi orang tua itu tidak ada sudahnya.
MT: Tentu.
HB: Kalimat itu saya dengar di sebuah film. Dalam rangka merayakan sosok perempuan yang bertepatan dengan Hari Ibu di Indonesia, apa yang ingin Anda sampaikan ke ibu saat ini?
MT: Saya selalu berterima kasih kepadanya karena selalu menjadi ibu seutuhnya. Bagaimana ia memberikan hidupnya hanya untuk anak-anaknya. Kita selalu menjadi prioritasnya, yang menjadi pemikiran utama dalam dirinya adalah kami. Kebahagiaan anak-anaknya di atas kebahagiaannya. Bagaimana ia tidak pernah mencampuri urusan anak-anaknya. I thank her for that.
Kita selalu menjadi prioritasnya, yang menjadi pemikiran utama dalam dirinya adalah kami.
Sama seperti tahun yang sudah berada di bulan terakhir, begitu juga proses makeup Marsha. Hampir selesai dan diminta naik ke lantai 31 oleh Erica Arifianda selaku Digital Managing Editor Harper’s Bazaar Indonesia.
HB: Sebelum menyudahi wawancara ini, deskripsikan tahun ini untuk Marsha.
MT: Tahun ini adalah tahun yang memberikan harapan baru. Terutama karena saya di industri film, melihat luar biasanya penonton Indonesia setelah come back ke bioskop, dan bisa mengalahkan jumlah film dari luar. Memberikan kita harapan baru, kalau ternyata film Tanah Air sudah bisa memberikan kepercayaan lagi.
Beralih ke sosok yang tahun lalu sempat membuat gempar media sosial, Velove Vexia. Dirinya tergolong baru dalam lembaran rumah tangga. “Baru satu tahun, tapi itu penting,” tuturnya.
HB: Jarang mengunggah konten di sosial media, Velove sedang mempersiapkan apa?
Velove Vexia (VV): Kalau persiapan enggak ada apa-apa. Hanya beradaptasi. Banyak belajar menjadi bagian dari rumah tangga. Ada adjustment pasti. Saling mengerti. I feel like I have a team member. Marriage is about team work. Adaptasi terbesar adalah waktu. Sama-sama sibuk. Contohnya seperti hari ini, ini kan hari Sabtu. Biasanya weekend saya tidak pernah ada job, karena suami saya dari Senin hingga Jumat itu di kantor. Kala masih lajang sebenarnya sama saja. Bedanya dengan sekarang, muncul perasaan tidak mau meninggalkan suami. Sekarang sudah menikah, ada keinginan untuk mendekatkan diri ke satu sama lain. Itu yang paling susah, menyesuaikan waktu.
HB: Hari ini ada Velove, Dian, dan Marsha. Dari kalian bertiga, Anda yang baru saja menikah. Marriage-wise, how do you see Dian and Marsha?
VV: Keduanya sudah jauh lebih lama. Pasti sudah merasakan adjustment. Hal utama yang saya lihat dari mereka adalah bagaimana mereka manage menjadi seorang istri dan juga berkarier. Itu pasti ada jurus-jurus tertentu agar tidak menimbulkan ketidaknyamanan pada pasangannya. Banyak pertanyaan dari saya yang mengarah ke sana. Contohnya bagaimana mengatur waktu, memberikan pengertian terhadap pekerjaan kita yang terkadang lebih demanding. Bagaimanapun juga harus diberi penjelasan, ada cara-caranya.
HB: Berarti dapat dikatakan Anda lebih mirip dengan Dian. Dalam artian, Anda seorang aktor dan pasangannya seorang entrepreneur?
VV: Oh, iya. Betul juga!
HB: Kalau dalam perihal karier?
VV: Bagaimana mempertahankan kualitas yang mereka berikan di karyanya. Industri perfilman kan banyak yang come and go. Tidak hanya itu, kualitas di industri ini juga mengikuti tren. Bagaimana mereka yang juga seorang ibu, istri, tapi mampu memberi “semuanya” di dalam setiap kerjaan. Karena menurut saya, being a mother is a whole new thing. Saya belum sampai di sana. Seperti kemarin sewaktu makan malam, melihat Dian disusul oleh kedua anaknya dan suami. Itu bagaimana? Berarti harus tetap fokus dengan pekerjaan, namun di saat yang bersamaan ada keluarga. Bagaimana cara untuk tidak mengecewakan kedua pihak? Kan harus multi-tasking, dong.
HB: Ada lagi?
VV: Salah satu dari mereka sempat berkata, “Tidak ada orang yang dari awal sudah siap untuk menjadi peran tersebut. Semua itu proses dan belajar.” Tidak ada yang sudah mempersiapkan diri. Tidak ada formula. Jadi akan terus satu per satu dipelajari. Dan, pelajaran tidak berhenti di sana. Apalagi sekarang dengan generasi baru. Persamaan di antara kami (Velove, Marsha, Dian) adalah kami mencintai pekerjaan kita. Hanya saja levelnya yang berbeda. Ada yang super, aktif. Saya juga melihat dalam karier mereka ada fase mereka yang mengutamakan kepentingannya masing-masing. Itu adjustment, lho. Ya, memang seperti itu. You can’t focus on one area. Sebagai perempuan juga harus punya hal yang Anda gemari. Saya melihat itu semua.
Tidak ada yang sudah mempersiapkan diri. Tidak ada formula.
Kata “tenang” jadi pilihan Velove untuk menggambarkan tahun 2022. Ia begitu menikmati perjalanan peran barunya. Meski masih ada yang belum terpenuhi dalam karier, perempuan bershio Kuda ini kembali bertutur, “Itu adjustment.”
Kalimat tersebut menandakan bahwa ketiga narasumber sudah siap untuk memakai padu padan dari Christian Dior koleksi Cruise 2023 yang sudah disiapkan oleh Michelle Othman selaku Fashion Editor Bazaar.