Pementasan teater Bunga Penutup Abad hadir kembali menyapa pecinta sastra dan seni pertunjukan Indonesia pada 29, 30, dan 31 Agustus 2025 di Ciputra Artpreneur, Jakarta. Digarap oleh Titimangsa dan dipersembahkan oleh Bakti Budaya Djarum Foundation, pertunjukan ini menjadi wujud perayaan perjalanan sastra Indonesia yang kembali hidup di atas panggung.
“Pentas Bunga Penutup Abad ini kami hadirkan kembali karena kisah Nyai Ontosoroh, Minke, dan Annelies selalu memberi inspirasi dan refleksi bagi kita semua. Pementasan kali ini menjadi reuni yang menyenangkan dengan pihak-pihak yang pernah bekerja sama sebelumnya, sekaligus pertemuan dengan pihak-pihak yang baru kali ini terlibat.” ujar Happy Salma selaku Produser dalam pementasan ini.
Pementasan teater Bunga Penutup Abad sebagai produksi ke-88 Titimangsa ini merupakan adaptasi dari dua buku pertama Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, yakni Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Tahun ini, pementasan tersebut kembali hadir sebagai edisi keempat setelah sebelumnya sukses digelar pada 2016, 2017, dan 2018, sekaligus menegaskan posisi karya ini sebagai salah satu produksi teater yang paling dinantikan dalam perjalanan seni pertunjukan di Indonesia.
Pementasan ini hadir dengan berbagai pembaruan untuk menghadirkan pengalaman berbeda bagi penonton. Mulai dari naskah hingga skenografi yang ditingkatkan dengan penggunaan panggung putar, teknik ini belum pernah digunakan pada tiga pementasan sebelumnya, sehingga pergantian adegan terasa lebih dinamis dan imersif.
Karakter-karakter dalam pementasan ini dimainkan oleh para aktor dan aktris ternama tanah air seperti Happy Salma, Reza Rahadian, Chelsea Islan, Andrew Trigg, dan Sajani Arifin. Bunga Penutup Abad membawa penonton pada kisah Nyai Ontosoroh dan Minke setelah kepergian Annelies ke Belanda. Rasa cemas Nyai Ontosoroh membuatnya mengutus Panji Darman untuk mendampingi Annelies, yang kemudian rutin mengabarkan perjalanan mereka lewat surat. Surat-surat itu dibacakan Minke, menghadirkan kembali kenangan masa lalu, dari pertemuan pertama dengan Annelies, perjuangan hukum Nyai Ontosoroh, hingga keputusan pengadilan yang memisahkan mereka. Dari kisah perpisahan itu, Minke dan Nyai Ontosoroh perlahan menemukan arti perlawanan yang sejati, yang dijalani dengan bermartabat.
“Semoga pertunjukan-pertunjukan alih wahana dari karya sastra terus menjadi pilihan untuk mengenal karakter kita dalam kebangsaan, menghargai dan mencintai bahasa yang indah serta simbol-simbol dan metafora yang disampaikan melalui karya sastra dan teater,” tutup Happy Salma.
BACA JUGA:
Monolog Persembahan Happy Salma Sebagai Inggit Garnasih Dalam Teater Musikal Tegak Setelah Ombak
(Penulis: Amadea Saskia Putri; Layout: Adzkia Asakiinah; Foto: Courtesy of Dok. Bakti Budaya Djarum Foundation)
