Berkat profesinya sebagai videografer, Giri Prasetyo berkesempatan mengunjungi pelosok terbaik Indonesia. Salah satunya Sumatera. Beruntung Bazaar bisa 'mengikuti' perjalanan Giri ke tiga lokasi di Sumatera dan menuturkan kembali kisah yang semoga bisa merayu Anda untuk mulai menyusuri Sumatera lebih dalam.
Takengon, Aceh
Pengalaman di Takengon disambut dengan pemandangan hijau dan udara sejuk yang menemani seharian. Cuaca sejuk tersebut akan berpadu pas bersama kehangatan masyarakat lokal dan secangkir Kopi Gayo yang khas. Ya, kopi memang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Takengon. Maka jangan kaget jika menyaksikan anak-anak kecil menyeruput kopi sebelum berangkat ke sekolah. Di seantero kota, kedai kopi tradisional dengan mudah ditemukan. Namun salah satu kesempatan mencicipi kopi Gayo terbaik ada di Warung Kopi Aheng. Warung kopi tertua di Takengon yang menyajikan Kopi Tarik khas Takengon yang sensasional.
Kekayaan masyarakat Takengon lainnya ada pada kekaguman fanatik mereka terhadap kuda. Tradisi pacuan kuda adalah bagian dari budaya lokal sekaligus kebanggaan masyarakat Takengon. Sesekali penduduk setempat menyelenggarakan kompetisi pacuan kuda yang diadakan di tepian Danau Lut Tawar. Dengan derap kuda yang membahana, percikan air danau menyatu dengan serunya sorak sorai penonton.
Kepulauan Anambas
Sementara itu nyaris di ujung paling utara Indonesia, salah satu pantai tropis terbaik di Tanah Air siap untuk menghipnotis Anda dengan birunya laut dan putihnya pasir pantai. Kepulauan Anambas merupakan surga tropis yang terdiri dari gugusan pulau dan laguna yang menyimpan kekayaan bawah laut untuk dieksplorasi. Kecantikan Anambas bukanlah sekadar nama, tapi telah terbukti dengan dinobatkannya Kepulauan Anambas sebagai Asia's Best Tropical Island pada 2013 berdasarkan situs CNN.
Nias Selatan
Populer sebagai surga para peselancar, Nias Selatan ternyata menyimpan kisah istimewa dari masyarakat adatnya. Kini Nias Selatan hanya memiliki sekitar 16 desa adat, dari sebelumnya 200. Di mana hanya beberapa di antaranya yang masih meneruskan tradisi melompati hombo batu ke generasi muda. Salah satunya di Desa Adat Hilinawalo Fao.
Selain lompat batu yang diadopsi dari budaya militer, karakter militer lainnya dapat ditemukan dalam tarian tradisional. Seperti Tari Fataele, tarian perang yang dilakukan oleh pria. Tarian penuh semangat ini diisi gerakan dinamis dan tegas, musik tabuhan dan teriakan yang membahana. Parade maskulin yang kemudian diimbangi dengan tarian penyambutan dari kaum wanita, Fogaele, yang lebih lembut. Unsur seni 'keras' lain yang luar biasa adalah keberadaan alat musik batu. Ternyata sebelum grup musik Sigur Rós yang populer, ternyata masyarakat Nias Selatan telah menguasai litophone sejak ratusan tahun lalu!
Kisah lengkap dari perjalanan Giri Prasetyo ke Sumatera bisa Anda temukan dalam Harper's Bazaar Indonesia edisi September 2016.
(Fotografi & Video oleh Giri Prasetyo)
- Tag:
- culture news
- culture
- sumatera