Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Menggunakan Kain Tenun untuk Interior Ruangan, Mengapa Tidak?

Mari baca tulisan lengkap dari sejarah menarik hingga peluang pelestariannya.

Menggunakan Kain Tenun untuk Interior Ruangan, Mengapa Tidak?
Kain Tenun Tradisional untuk Interior Ruangan

Kain tenun adalah salah satu jenis kain tradisional yang populer digunakan dalam dunia fashion, meskipun sebenarnya fungsinya bisa sangat beragam. Contoh lain penggunaan kain tenun adalah dalam dunia interior, yang sering kali kita lihat pada pelapis sofa, cushion, throw, bahkan sebagai hiasan yang menggantung di dinding. Penggunaan kain tenun sebagai unsur dekorasi bisa membangun atmosfer yang berbeda berkat keunikannya. Meski kini semakin banyak digunakan dalam ruangan, namun faktanya kain tenun tradisional mempunyai sejarah panjang yang menarik untuk diketahui.

 SEKILAS SEJARAH TENUN DAN INTERIOR

Sebelum masa penjajahan, mayoritas keunikan kain tenun masih digunakan sebagai pakaian, meskipun sebenarnya dalam ranah tradisional ada fungsi lain kain tenun yang dipakai untuk keperluan lainnya. Di Bali misalnya, ada yang namanya kain poleng, yaitu kain tenun bermotif kotak-kotak hitam putih yang biasa dipakai untuk membungkus patung atau arca. Ada juga yang digunakan menjadi alas gelaran saat upacara adat berlangsung, menjadi tatakan atau matras makanan maupun bingkisan persembahan. Saat pernikahan tradisional berlangsung, ada juga kain-kain yang dipajang untuk menjadi latar sehingga ruangan terlihat lebih menawan. Kain-kain yang berharga tersebut seringkali diperlihatkan saat perhelatan penting berlangsung. Meski dahulu kain tak disadari sebagai dekorasi pokok interior, namun penampilan mereka di perhelatan tersebut menunjukkan potensi yang mereka punya. 

Di masa penjajahan Belanda di Indonesia, ada sejumlah bukti nyata bahwa keindahan kain Nusantara mampu mengesankan bangsa penjajah. Hal ini menandakan bahwa Indonesia kaya akan tradisi tekstil. Beberapa dokumentasi mampu mendemonstrasikan keadaan tersebut, misalnya koleksi kain di dalam museum, koleksi pribadi, hingga rumah-rumah orang Belanda yang pada masa itu tinggal di Indonesia. Diperkirakan kain-kain tersebut diadopsi oleh perempuan-perempuan Eropa yang menggunakannya untuk keperluan interior. Di dalam rumah tersebut, kain tenun terlihat melapisi meja makan maupun kabinet. Beberapa digantung sebagai tirai, ada juga yang digunakan sebagai throw di atas sofa yang berjasa menghidupkan suasana. Aplikasi kain dalam rumah Belanda dibuktikan dengan foto-foto lama dari periode kolonial yang mendemonstrasikan imajinasi bangsa lain saat melihat keindahan tenun dan ingin memanfaatkannya dalam kehidupan mereka.

Interior Rumah Belanda di Bengkulu tahun 1935
Interior Rumah Belanda di Bengkulu tahun 1935
 

Penelusuran kain tradisional oleh bangsa penjajah juga didukung oleh akses turisme setelah Gubernur Jenderal meresmikan biro pariwisata resmi di antara tahun 1910 dan 1920. Menurut buku Woven Indonesian Textiles for The Home terbitan Cita Tenun Indonesia, sejak biro tersebut dibentuk, orang berkebangsaan Belanda yang hidup di Indonesia mulai melakukan kegiatan turisme ke daerah-daerah terpencil. Terutama setelah masa Perang Dunia Pertama. Para perempuan yang mengikuti perjalanan tersebut disinyalir menjadi yang pertama kali menyadari keberagaman tenun dan kerajinan yang ada di pelosok Indonesia. Merekalah yang membawa pulang kerajinan tersebut ke rumahnya, baik di Batavia maupun di Belanda.

 

TENUN DALAM DUNIA INTERIOR

Zaman penjajahan sudah lama berlalu, demikian pula dengan kemajuan perencanaan produksi kain tenun. Para produsen semakin paham akan pentingnya menghasilkan produk kain dengan kualitas yang mampu menopang kebutuhan pemakaiannya. Tenun dalam pakaian begitu banyak dieksplorasi oleh desainer lokal terkemuka. Dalam ranah interior, sejumlah desainer pun telah menerapkan aplikasi kain tenun ke dalam kreasinya. Beberapa di antaranya adalah Agam Riadi, Roland Adam, dan Sammy Hendramianto.

Kain Hinggi Kombu dari Sumba sebagai elemen dekorasi interior
Kain Hinggi Kombu dari Sumba sebagai elemen dekorasi interior
 

Berkembangnya pengelolaan tenun juga tak lepas dari jasa Cita Tenun Indonesia (CTI). Sejak 2008, CTI telah mengupayakan pelestarian tenun Nusantara sebagai warisan budaya dengan cara pelatihan dan pengembangan perajin untuk menghasilkan produk dengan kualitas baik yang dapat dijual di dalam negeri dan mancanegara. Ternyata, ada hal mendasar yang harus dipahami saat mengaplikasikan tenun untuk keperluan interior. Sekjen Cita Tenun Indonesia, Intan Fauzi menceritakan dalam wawancara singkat bersama Bazaar, “Kain tenun untuk keperluan interior tidak bisa begitu saja disamakan dengan kain tenun untuk produk fashion, sebab dalam dunia interior kain tenun perlu dipersiapkan untuk produk siap pakai yang bersifat hard use, dan tenun untuk produk interior biasanya disusun dengan jumlah benang yang lebih banyak, misalnya 8 benang, dibandingkan dengan kain tenun untuk produk fashion yang cukup dibuat dengan menggunakan 2 benang saja.” Semakin bertambah jumlah benang tersebut, maka daya tahan dan kerumitannya pun akan bertambah, begitu pula dengan proses produksinya. Terlebih kain tenun ini dikerjakan dengan tangan sehingga memakan waktu.

Oleh karena itu, dalam merencanakan pembuatan kain tenun untuk keperluan produk interior, penenun bersama dengan para desainer perlu untuk mempersiapkan pola kain tenun sebelum kemudian dirangkai menjadi produk akhir. Dengan demikian, pola dan ukuran kain bisa pas saat diproses menjadi produk akhir secara efektif dan tepat guna (tanpa membuang terlalu banyak limbah produksi).

 

BERAGAM CELAH EKSPLORASI

Menurut sejarah, ada buktinya bahwa batik pada zaman dahulu pernah memengaruhi desain di Belanda, begitu pula sebaliknya desain deco Eropa kepada batik. Hal serupa turut terjadi pada motif tenun dan desain di Belanda yang mempunyai hubungan timbal balik. Saat tenun mulai menyebar dan orang-orang mulai menyadari kualitas tekstil tenun, turis mulai berdatangan membawa buku motif kepada perajin tenun di Indonesia dan membuat pesanan khusus. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada pertukaran nilai budaya dalam produk kerajinan ini. 

Pertukaran ide ini adalah bagian dari kemajuan desain yang berlangsung dalam hitungan abad. Lagipula, banyak motif anyaman Indonesia yang berasal dari perdagangan kain-kain India. Menurut buku Tenun Handwoven Textiles of Indonesia, beberapa buktinya dapat kita lihat hingga saat ini, seperti motif belah ketupat dari era Neolitik, kemudian peleburan motif Hindu Budha, motif Islam, dan kemudian motif Eropa, semuanya bagian dari kemajuan sejarah. 

Cerita tersebut sebetulnya memberi pesan bahwa celah eksplorasi tenun sebenarnya masih sangat besar untuk generasi saat ini. Dengan bekal pengetahuan desain dan proses produksi yang baik, kondisi ini menyisakan ruang yang besar bagi generasi muda untuk berksperimen. Terlebih lagi, kita sangat dekat dengan sumber kebudayaan tersebut, yang berarti kesempatan kita untuk mengeksplorasi kain tenun semakin besar. Kita diberikan kesempatan dalam penjajakan ide untuk motif dan teknik produksi, sembari menghormati simbol luhur yang penting, sehingga kita bisa menciptakan produk yang relevan dengan masa sekarang ini. Salah satu contoh pembaruan desain dengan kain tenun adalah Bangu woven basketball, yaitu koleksi keranjang dari Helai Collection yang merupakan hasil kolaborasi bersama CTI. Badan keranjang ini dirangkai dari anyaman bambu dengan tutup dari tenun Baduy. Selain sebagai penyimpanan, produk ini juga dapat berfungsi sebagai coffee table.

Bangu woven basketball dari Helai Collection
Bangu woven basketball dari Helai Collection
 

Terlebih lagi, dengan bertambahnya pengakuan kain tenun di dalam dunia interior akan memastikan kelanjutan dari tradisi ini, dan menjamin adanya pelatihan generasi baru penenun yang mampu tak hanya mengadaptasi motif tradisional, namun juga mengeksplorasi motif baru yang modern dan tepat guna sesuai fungsinya, yang artinya juga menjaga keberlangsungan peninggalan budaya bangsa yang sangat berharga. 

 

(Foto: Courtesy of Helai Collection, KITLV Leiden, Koleksi Julius H. Prawira dari Sumba Art, Koleksi Koestriastuti, Koleksi Priyo Oktaviano, Tenun Handwoven Textiles of Indonesia, Woven Indonesian Textiles for The Home)