Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Jay & Chitra Subyakto Prihatin Mengenai Masa Depan Indonesia

“Keseragaman menciptakan ketimpangan, namun sebaliknya keberagaman meciptakan kekuatan. Dan kekuatan itu jika kita beragam.”

Jay & Chitra Subyakto Prihatin Mengenai Masa Depan Indonesia

Menyambut hari jadi Republik Indonesia yang ke-75, seri Brunch with Dave Hendrik kali ini membahas tema seputar pentingnya “Menanamkan Cinta Indonesia Sedari Kecil”.

Pada kesempatan ini, Dave mengundang dua sosok kakak beradik yang dikenal memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dan aktif bergerak memberdayakan budaya-budaya Indonesia lewat pekerjaan mereka.

Kebetulan keduanya juga ambil bagian dalam artikel profile duo di majalah Harper’s Bazaar Indonesia edisi Agustus 2020.

Untuk itu mari kita simak perbincangan menarik dan tentunya penuh inspiratif dari dua insan Jay dan Chitra Subyakto di bawah ini:


“Sebagai orang tua dan dari pelajaran hidup, bagaimana cara orang tua modern untuk menanamkan cinta Indonesia kepada anak-anaknya sedari dini?” tanya Dave. 

“Kalau saya sama Chitra, kita beruntung dibesarkan oleh orang tua yang dari dulu selalu menanamkan cinta Indonesia, bangga menjadi bangsa Indonesia, dan kita selalu ditanamkan harus punya jati diri orang Indonesia yaitu berbahasa Indonesia, memahami Indonesia, kemudian juga mengembangkan supaya negara kita bisa maju seperti negara-negara lain,” ungkap Jay. 

Mendengar pemaparan Jay, Dave pun melanjutkan pertanyaannya, “Menanamkan jati diri sebagai bangsa Indonesia, kalau untuk anak-anak zaman sekarang mas Jay, untuk orang tua modern, apa kira-kira ya sumbangsih orang tua yang bisa dilakukan kepada anak-anaknya? Karena kan seperti wawancara mas Jay dengan mbak Chitra di edisi September bersama Harper’s Bazaar Indonesia ini mas menyatakan bahwa sekolah zaman sekarang itu pilihannya beragam ya, ada sekolah internasional, sekolah semi-internasional, dll. Tapi kan pelajaran pendidikan dan kebudayaan itu kan sudah berbeda-beda kan, lalu mas Jay kan bilang rasa nasionalisme itu harus dipupuk oleh orang tua, nah langkah nyata apa sih mas yang orang tua modern bisa lakukan untuk memupuk rasa itu kepada anak-anaknya?” Dave kembali bertanya.

Jay yang mendengar pertanyaan yang dilayangkan kemudian memaparkan pandangan dan kegaduhan hatinya melihat kondisi anak-anak dan orang tua modern yang semakin hari dilihatnya semakin memprihatinkan.

“Ya, banyak orang tua zaman sekarang kira bahwa kalau sudah masukin anak ke sekolah internasional, sekolah yang mahal, sekolah yang favorit itu mereka sudah lepas tangan saja. Dan menurut saya ini kesalahan terbesar karena sebenarnya hampir pendidikan dasar yang saya dapat itu justru dari orang tua. Ketika orang tua mengajarkan tentang budi pekerti, mengajarkan tentang adat istiadat Indonesia, kemudian juga bagaimana empati, toleransi, bagaimana kita hidup di negara yang sangat beragam, beragam etnisnya, beragam agamanya dan sukunya, jadi itu sih yang perlu memang kita sebagai orang tua yang perlu mengajarkan kepada anak-anak apalagi sekarang sejarah tentang Indonesia di sekolah-sekolah kurang dipelajari secara mendalam. Itu sih menurut saya jadi orang tua zaman sekarang harus mengajarkan kepada anak-anaknya sejarah tentang empati, tentang toleransi, dan bagaimana hidup di negara kepulauan terbesar seperti Indonesia,” papar Jay. 


Kembali melanjutkan perbincangan, Dave yang telah membaca artikel eksklusif Jay dan Chitra di majalah kemudian ingin menggali lebih dalam mengenai pernyataan mereka mengenai hubungan media dan budaya barat di era modern ini. “Nah, aku juga ingin tanya dan membahas sedikit kan mas Jay berkomentar kalau zaman sekarang itu media juga semua sangat mengagungkan budaya luar, nah aku juga ingin dengar bahasan extended version mengenai hal ini dari mas Jay dan mbak Chitra.”


“Sebenarnya kalau dari kita pribadi, dari kita berdua kita kan dari kecil diajarkan tentang budaya Indonesia, kalau saya diajarkan tari, main musik daerah. Nah dengan adanya media ini sebenarnya kita tidak apa-apa dengan budaya luar karena kita juga perlu tahu untuk informasi tentang apa sih yang sedang terjadi tapi kita juga jangan sampai kebawa karena sebenarnya akar budaya kita sangat kuat kan dan misalnya kalau kita berkarya, berkarya namun mengikuti apa yang ada di budaya barat, kita jadi tidak bisa stand out. Tapi justru dengan kita mengangkat budaya kita sendiri itu akan lebih stand out dan menarik karena lebih tampak berbeda,” jelas Chitra.


Membahas mengenai kesedihan bahwa seni tidak mendapat perhatian yang cukup di kurikulum dan kehidupan terutama bagi generasi anak-anak muda, Jay dan Chitra kembali mengungkapkan pemikiran mereka kepada Dave.

“Ya, jadi memang gini Dave, sayangnya akar permasalahannya itu saya lihat di pendidikan. Pendidikan kita itu selalu mengacu ke barat. Kurikulumnya dan semuanya dari barat. Dave juga mesti tahu, kalau kita presentasi kemana-mana, kita ingin memaparkan konsep itu pasti kita diminta referensi, nah itu secara tidak langsung berarti kita sudah melihat apa yang dibuat oleh barat dan selalu patokannya barat, sehingga kita tidak pernah menjadi bangsa yang menemukan sesuatu yang baru. Bukan bangsa penemu, bukan bangsa yang mikir dari kepalanya sendiri. Selalu bilang contohnya mana? Jadi tidak pernah sesuatu yang orisinal. Itu sih menurut saya yang paling berbahaya. Padahal dulu nenek moyang kita di bidang arsitek, di bidang kuliner, di bidang literasi semua orisinal. Kenyataannya, sekarang seluruh dunia malah ingin seperti Indonesia yang zaman dahulu, yang semuanya eco-friendly, arsitekturnya, makanannya,” jelas Jay.


Chitra yang mendengar pemaparan saudaranya kemudian menambahkan, “Misalnya candi borobudur, kan dia bikinnya tidak pakai referensi dong. Atau kain-kain antik kita, dia kan bikin juga tidak pakai referensi, dia mungkin bertapa dahulu, atau menceritakan sebuah perjalanan. Jadi saya lihat sekarang orang takut ya kalau tidak ada referensi,” tambah Chitra. 


Jay dan Chitra yang merupakan kerabat dekat dari Bung Hatta kemudian diminta untuk membagikan pandangan mereka mengenai keberagaman, toleransi, dan agama di era masyarakat modern ini.

“Ya saya melihat bahwa kita ini adalah bangsa yang sangat permisif. Maksudnya kok gampang sekali menerima sesuatu yang dari luar? Lalu yang kedua kita selalu tidak punya kepercayaan atau jati diri bahwa sebenarnya kita ini mampu, kita ini sama dengan bangsa-bangsa yang lain. Yang selalu jadi moto saya adalah ‘keseragaman itu justru menciptakan ketimpangan, tetapi keberagaman itu justru yang membawa kekuatan. Kekuatan itu adalah jika beragam’. Contohnya itu di alam pun Tuhan bikin semua beragam dan bukan seragam. Dan juga empati itu sekarang sangat kurang, toleransi, menghargai orang-orang agama lain, menghargai pemikiran orang lain,” jelas Jay.


Nantikan berbincangan lengkap Dave Hendrik bersama Jay dan Chitra Subyakto di seri Brunch With Dave Hendrik yang akan tayang di kanal YouTube Harper's Bazaar Indonesia segera!


(Foto: Courtesy of Instagram @chitras)