Pada bulan Mei, Paus Leo XIV muncul di Kota Vatikan mengenakan jubah putih kepausannya dan topi hitam Chicago White Sox. Momen yang lucu, menyentuh hati, dan tak terduga itu menjadi puncak dari tren yang sudah lama Bazaar amati dan coba uraikan: merch kembali masuk ke ranah budaya. Alasannya mungkin tidak sesederhana kelihatannya.
BACA JUGA: Madonna Menunjukkan Dukungannya pada Britney Lewat Tampilan Busana Terbarunya di Bandara
Selama musim penghargaan, Bad Bunny hampir selalu mengenakan topi turis “Saint Barth West Indies” yang sama dalam setiap penampilannya, bahkan di karpet merah. Pada waktu yang hampir bersamaan, Jennifer Lawrence memadukan sepatu flat jala merahnya dengan topi Twilight Saga, sementara Dua Lipa berjemur di bawah sinar matahari dengan bikini dari toko merchandise Radical Optimism Tour miliknya sendiri. Selama babak playoff NBA, Timothée Chalamet tampil sebagai penggemar nomor satu New York Knicks dengan serangkaian busana sporty yang menampilkan logo dan warna tim tersebut, sementara pasangannya, Kylie Jenner, mengikuti jejaknya dan bahkan membuktikan dirinya sebagai pacar terbaik di dunia dengan lingerie bertema Knicks.
Beberapa minggu lalu, Britney Spears meluncurkan kolaborasi merchandise kejutan dengan Balenciaga, dan Jay-Z terlihat di Paris mengenakan merch dari tur Cowboy Carter milik sang istri, Beyoncé. Awal bulan ini, Anne Hathaway mengenakan jeans seharga $1.395 dengan topi baseball dari toko merchandise Bruce Springsteen seharga $51, sementara Madonna tampil di New York City mengenakan merch rancangan Balenciaga milik Britney Spears.
Merchandise buku juga tengah naik daun. Model Kaia Gerber terlihat mengenakan kaus dari toko buku McNally Jackson yang berbasis di New York City, dan mantan kekasihnya, Austin Butler, tertangkap kamera membawa tas jinjing dari toko buku yang sama.
Ketika kita memikirkan merch, yang terlintas biasanya adalah logo tim olahraga atau barang dagangan komersial yang mempromosikan film, album, atau artis. Namun, terdapat pula jenis merchandise yang bersifat politis, yang bukan untuk menunjukkan fandom, melainkan untuk mengekspresikan ideologi politik pribadi. Pakaian dengan pernyataan seperti ini, dari organisasi yang mendukung hak asasi manusia, seperti Human Rights Campaign, March for the Movement, dan CHNGE, juga semakin banyak dikenakan dalam beberapa tahun terakhir, seiring meningkatnya ketegangan politik global.
Baru-baru ini, Pedro Pascal menarik perhatian ketika tampil mengenakan kaus “Protect the Dolls” sebagai bentuk dukungan terhadap komunitas trans, yang ia padukan dengan topi bisbol New York bertuliskan teks terbalik. (Merch di atas merch.) Tentu saja, ketenaran seorang selebritas yang dipadukan dengan merchandise penuh pernyataan menjadikannya papan iklan berjalan, dan dalam kasus ini, untuk tujuan yang baik.
Merchandise tradisional, seperti topi Yankees yang hampir dimiliki setiap warga New York, selalu ada, namun sosok yang benar-benar mendorong merch masuk ke ranah fashion kelas atas adalah Virgil Abloh, ketika ia merancang kaus tur Yeezus bernuansa gelap untuk Kanye West pada tahun 2013. Para bintang pop seperti Beyoncé, Rihanna, dan Justin Bieber pun mengikuti jejak tersebut, menggandeng merek-merek mode untuk berkolaborasi dalam merchandise tur mereka masing-masing, yang langsung ludes terjual.
Sebagaimana lazimnya siklus tren, merch berubah dari sesuatu yang tak relevan menjadi sangat modis, lalu dianggap berlebihan hanya dalam beberapa tahun, hingga pada 2024, sebuah media besar menyatakannya “mati.” Namun, di tahun 2025, para selebritas masih ramai mengenakan merch, dan kali ini, momennya terasa berbeda. Mengenakan merch saat ini bukan lagi soal mengejar tren terbaru atau memicu nostalgia akan lemari pakaian ayah kita yang sudah puluhan tahun, melainkan mencerminkan kerinduan akan komunitas dan identitas pribadi yang lebih dalam.
Stylist selebritas Alexandra Grandquist yang bekerja bersama saudara perempuannya, Mackenzie Grandquist menjelaskan bahwa mengenakan barang yang mendukung suatu sebab yang Anda dukung, tim yang Anda favoritkan, atau toko buku kecil yang sering Anda kunjungi, memberikan sentuhan personal pada penampilan, dan di zaman dengan pilihan yang tak terbatas, tentu saja kita semua mendambakan sedikit lebih banyak individualitas.
“Ini adalah identitas yang Anda bagikan. Ini menunjukkan kepada orang lain apa yang Anda minati, semacam papan iklan berjalan, pemicu percakapan,” ujar stylist tersebut. “Ini cara yang bagus untuk terhubung dengan orang lain dan menunjukkan minat Anda tanpa harus berbicara.”
Berbeda dengan tahun 2010-an, merch tur yang dikenakan sekarang terjangkau dan mudah diakses, yang menunjukkan keinginan dari pihak artis untuk meruntuhkan batasan dan mengajak orang masuk. Contohnya, kaus “Levii’s” Beyoncé hasil kolaborasi dengan Levi’s (seharga $45) terlihat sederhana, namun langsung menambahkan unsur “kalau tahu, tahu” pada setiap busana. Demikian pula, merch tur Shakira bersama Hard Rock Cafe (seharga $26,60) sangat diminati selama ia melanjutkan tur; beberapa item bahkan tidak mencantumkan wajahnya, tapi jika Anda penggemar Shakira dan melihat seseorang mengenakannya, Anda langsung merasa terhubung.
“Ini juga lebih personal dibanding hanya memakai kaus biasa atau kaus dengan logo Gucci, Anda tahu? Ini terasa sedikit lebih keren,” kata Alexandra.
Alexandra Grandquist dan Mackenzie Grandquist secara rutin mencari merchandise vintage tim olahraga dan grup musik (“lebih pudar, memiliki karakter lebih dibandingkan kebanyakan merch yang mereka produksi sekarang”) untuk klien mereka, yang antara lain termasuk Kylie Jenner dan Travis Scott.
Dan mengenakan merch secara otomatis menjadikan Anda bagian dari komunitas tertentu, yang, di masa penuh gejolak seperti sekarang, adalah sesuatu yang sangat kita butuhkan.
“Orang-orang merindukan keaslian dan cara nyata untuk mengekspresikan siapa mereka sebenarnya,” kata Bryan Escareño, direktur kreatif dari merek Amor Prohibido yang berbasis di Los Angeles. “Merch, pada puncak terbaiknya, bukan sekadar logo di kaus, melainkan bagian dari sebuah cerita, pernyataan yang dapat dipakai. Seperti mengatakan, ‘Inilah yang saya hubungkan, ini adalah bagian dari dunia saya.’ Dalam pekerjaan saya di Amor Prohibido, bercerita adalah segalanya, mengambil pengalaman saya, pengalaman komunitas kami, dan membentuknya menjadi seni.”
Rasa kebersamaan yang sama saat mengenakan merchandise dari dunia hiburan juga berlaku untuk merch dari kandidat politik, inisiatif kemanusiaan, dan organisasi LGBTQIA+, yang semakin terlihat jelas di Amerika Serikat selama masa jabatan kedua Donald Trump yang penuh polarisasi.
Bryan Escareño, yang baru-baru ini merilis koleksi merchandise edisi terbatas bersama Dos Equis dan grup musik regional Meksiko Amerika, Fuerza Regida, mengatakan, “Merch adalah penghubung yang kuat. Ini adalah isyarat visual yang mengatakan, ‘Aku melihatmu, kamu bagian dari kelompokku.’”
Ia menambahkan, “Merch menumbuhkan rasa kebersamaan, berbagi sudut pandang. Saya pikir ada kerinduan yang lebih dalam akan koneksi yang tulus dan ekspresi diri. Di dunia yang begitu cepat dan seringkali tersaring, mengenakan merchadalah cara nyata untuk menancapkan bendera dan menunjukkan apa yang Anda perjuangkan.”
BACA JUGA:
Kylie Jenner dan Timothée Chalamet Kompak dengan Gaya Serasi di Pinggir Lapangan Knicks
Jay-Z Jadi Bintang Tamu di Konser Terakhir Beyoncé di Paris
(Penulis: Rosa Sanchez; Artikel ini disadur dari: BAZAAR US; Alih bahasa: Megan Isman; Foto: Courtesy of BAZAAR US)
