Apa yang sebenarnya dicari oleh mereka yang bisa bepergian ke mana pun, kapan pun, tanpa memikirkan harga tiket, ketersediaan kamar, atau panjangnya antrean imigrasi? Bagi para traveler kelas ultra-luxury, kelompok dengan akses, kemampuan finansial, dan keinginan untuk menikmati waktu sepenuhnya, jawabannya jarang sesederhana “liburan”.
BACA JUGA: Era Baru Dunia Fashion yang Bersatu Padu dengan Ranah Digital
“Yang dicari kini bukan sekadar kemewahan, melainkan perjalanan yang terasa tanpa hambatan,” ujar Kevin Hartanto, pendiri Truvi, layanan travel concierge berbasis di Jakarta yang melayani individu dengan kekayaan tinggi hingga sangat tinggi. Melalui Truvi, Kevin menjadi orang Indonesia pertama yang tergabung dalam jaringan eksklusif Virtuoso, konsorsium global yang hanya mengundang travel advisor dengan rekam jejak istimewa dalam perjalanan mewah.
Bagi Kevin, liburan bukan lagi soal hotel bintang lima atau makan malam dengan pemandangan laut. Klien-kliennya menginginkan rencana perjalanan yang benar-benar terasa personal. Tidak hanya menyesuaikan preferensi, tetapi memahami siapa mereka, ritme hidup mereka, bahkan kebiasaan kecil seperti waktu mereka menikmati kopi.
Perjalanan ultra-luxury saat ini telah melampaui sekadar akomodasi mahal dan penerbangan kelas satu. Dimensi baru seperti privasi, personalisasi, dan pengalaman yang tak bisa direplikasi kini menjadi nilai utama.
Banyak klien Kevin memilih tinggal di rumah pribadi, vila, atau chalet di lokasi terpencil dibanding hotel ternama. Selain demi privasi, mereka juga menginginkan suasana yang lebih intim, terasa seperti rumah, mungkin di pesisir Amalfi, dengan koki pribadi yang tahu alergi mereka, pelayan yang memahami nada suara mereka, hingga bath foam yang sudah disiapkan tanpa harus diminta.
Salah satu tren yang tengah naik daun adalah destinasi yang jauh dari keramaian (off-the-grid). Namun, hal ini menimbulkan tantangan tersendiri. “Banyak pelancong Asia Tenggara terbiasa dengan layanan 24 jam, teknologi canggih, dan makanan yang sesuai selera. Ketika dihadapkan pada konsep minimalis yang disengaja, tanpa penjelasan, bisa disalahartikan sebagai kekurangan,” jelas Kevin.
Beberapa destinasi yang mulai dilirik meski belum populer di kalangan umum antara lain ekspedisi kutub dan negara-negara Baltik seperti Lithuania, Latvia, dan Estonia. Eksklusivitas dan keunikan pengalaman menjadi daya tarik utama. Misalnya, pelayaran kutub (polar cruises) menggabungkan kenyamanan hotel mewah dengan sesi belajar langsung bersama ilmuwan dan naturalis. “Sangat cocok untuk mereka yang menginginkan perjalanan yang lebih lambat dan bermakna,” ujarnya.
Dalam industri hospitality, properti yang dianggap pantas bagi para traveler ultra-luxury dinilai dari emosi yang ditawarkan, bukan hanya lokasi dan layanan. Airelles dan Cheval Blanc adalah contoh properti favorit Kevin. Airelles menghadirkan nuansa aristokrat Prancis lewat bangunan bersejarah dan storytelling imersif, sementara Cheval Blanc di Maladewa dikenal karena pendekatan sensorik yang emosional, mulai dari wewangian khusus, musik personal, hingga interior yang dirancang untuk menciptakan kenangan jangka panjang.
Jika harus memilih satu pengalaman yang paling mencerminkan keinginan kliennya, Kevin menyebut African Safari. Destinasi seperti Royal Malewane, Singita Kruger National Park, dan Singita Grumeti di Tanzania menawarkan pengalaman eksklusif di kawasan konservasi pribadi, di mana tamu tiba dengan pesawat charter khusus, langsung ke airstrip dekat penginapan, dan disambut champagne serta kursi kulit.
Meski dunia semakin terkoneksi, banyak klien justru ingin benar-benar lepas dari dunia digital.
Makan malam digelar di tengah savana, di bawah langit terbuka, dengan peralatan makan perak dan koleksi anggur yang dikirim khusus. Sarapan disajikan setelah morning game drive, lengkap dengan barista service di tengah alam liar. Beberapa lodge bahkan menyediakan sabun khusus dengan logo keluarga, atau camilan anjing bertuliskan nama hewan peliharaan yang disulam di kemasannya.
Tren lain yang terus berkembang adalah wellness. Di Asia Tenggara, praktik tradisional seperti penyembuhan ala Bali, jamu, yoga, dan pembersihan energi masih populer. Namun kini, teknologi mulai melengkapi pendekatan tersebut. Kevin menyebut Chiva Som di Hua Hin sebagai contoh ideal. Program seperti Cell Vitality dirancang khusus untuk mereka yang sedang memulihkan diri dari kelelahan atau burnout, dengan pengawasan langsung dari dokter dan terapis.
Meski dunia semakin terkoneksi, banyak klien justru ingin benar-benar lepas dari dunia digital. Tidak ada media sosial, tidak ada geotag. Bahkan dalam beberapa kasus, Kevin dan timnya diminta menandatangani perjanjian kerahasiaan (non-disclosure agreements). “Kadang, sopir atau pelayan lokal pun ikut menandatangani,” ujarnya.
Yang lebih penting dari privasi adalah keintiman. “Sebuah itinerary yang baik tidak terasa seperti jadwal, melainkan cerita. Kami tahu kapan mereka suka tidur siang, jam berapa mereka minum kopi kedua, dan apa yang ingin mereka dengar setelah makan malam.”
Dalam dunia di mana semua orang bisa membeli kemewahan, nilai sejati sering kali hadir dari hal-hal kecil yang tidak diminta, playlist yang tepat, bantal dengan nama bordir, atau sarapan yang datang di saat yang paling dibutuhkan.
Saat ditanya harapannya untuk industri hospitality Indonesia, Kevin menjawab: “Intuisi layanan.” Menurutnya, sopan dan cepat saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah kepekaan, seperti yang ia temukan di Aman, The Peninsula, dan Cheval Blanc, kemampuan untuk membaca kebutuhan sebelum diminta, dan keinginan tulus untuk memperlakukan tamu sebagai manusia, bukan sekadar pelanggan.
Apa makna kemewahan hari ini? Mungkin bukan seberapa jauh kita pergi, melainkan seberapa dalam kita merasa. Dan seperti diyakini Kevin, klien terbaiknya tidak sedang mencari tempat untuk dikunjungi, mereka mencari cara untuk benar-benar hadir.
BACA JUGA:
Mengapa Gen Z Begitu Tertarik Pada Jam Tangan Vintage?
Apakah Prosedur Estetika telah Menjadi Standar Baru dalam Mengukur Status Sosial?
