Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Mengapa Gen Z Begitu Tertarik Pada Jam Tangan Vintage?

Di balik tren jam tangan analog, tersembunyi cerita tentang nostalgia, keberlanjutan, dan keinginan generasi Z untuk terkoneksi dengan sesuatu yang nyata dan tak lekang waktu.

Mengapa Gen Z Begitu Tertarik Pada Jam Tangan Vintage?
Courtesy of Harper's Bazaar Indonesia

Meski dunia kini dikuasai era digital, generasi muda terutama generasi Z, enggan larut begitu saja. Justru, mereka menunjukkan ketertarikan yang kuat terhadap hal-hal yang berbau analog. Mungkin ada kerinduan terhadap masa lalu yang tak pernah mereka alami, ketika segalanya terasa lebih lambat dan hidup punya jeda. Atau mungkin, mereka adalah generasi yang mulai sadar bahwa segalanya kini bergerak terlalu cepat, dan lewat hal-hal analog, mereka berusaha memperlambat waktu untuk menemukan kembali makna dari hidup yang tak melulu instan.

BACA JUGA: Era Baru Dunia Fashion yang Bersatu Padu dengan Ranah Digital

Courtesy of Hublot

Sepertinya generasi ini benar-benar jatuh hati pada hal-hal konvensional, seperti kamera film atau jam tangan analog. Di saat kebanyakan orang memilih jam digital untuk gaya hidup modern, menghitung langkah, membakar kalori saat pilates. Ada sebagian anak muda yang justru terpikat pada jam jarum dengan mesin klasik. Mereka menemukan pesonanya lewat keanggunan dan konsistensi yang ditawarkan oleh berbagai merek jam tangan mewah.

Pada kenyataannya di balik benda mungil penghias pergelangan tangan ini terdapat lebih dari sekadar fungsi penunjuk waktu. Bagi Gen Z, jam tangan juga menyimpan nilai sejarah dan cerita dari sang pembuat. Mereka dikenal sebagai pendengar yang baik, sering kali luluh oleh kekuatan storytelling. Jam bukan hanya soal gaya, tapi juga soal makna. Gen Z membeli narasi, bukan sekadar produk. Dan bukan narasi tentang craftsmanship ala Swiss yang sudah dibahas berabad-abad, tapi cerita tentang identitas, keberlanjutan, dan nilai. Bahkan, mereka bisa batal membeli hanya karena tahu strap-nya tidak ramah lingkungan.

Courtesy of Rolex

Ada permintaan, tentu ada jawaban. Merek-merek seperti IWC mulai menawarkan alternatif tali vegan, sementara TAG Heuer memakai baja daur ulang. Bahkan artisan independen seperti MAD Paris kini membuka opsi full custom, dari casing sampai kemasan. Peralihan pasar ke generasi muda otomatis memicu pergeseran tren, bukan hanya soal desain jam, tapi juga gaya hidup secara keseluruhan. Tak ada yang lebih menunjukkan fleksibilitas industri fashion selain fakta bahwa Rolex kini tampil di Instagram Reels dengan warna dial kuning cerah, dan Cartier menyediakan virtual try-on lewat Snapchat. Semua ini adalah bukti nyata bahwa industri jam tangan mulai menyasar Gen Z dan milenial, seiring dengan laporan Pymnts yang menyebut bahwa pengeluaran barang mewah dari dua generasi ini diprediksi tumbuh tiga kali lebih cepat dibanding generasi sebelumnya dalam satu dekade ke depan.

Menyorot Yang Muda

Courtesy of Piaget

Di tahun 2025 ini saja sederet jam tangan mewah dirilis dengan warna mencolok dan juga desain yang lebih kontemporer. Anda dapat menemui warna unik pada Hublot Big Bang Unico & One Click yang menyajikan Petrol Blue dan Mint Green, sementara koleksi Zenith Chronomaster Sport Rainbow tampil penuh warna. Dari sisi desain, Piaget menghadirkan dial trapeze yang terasa progresif lewat koleksi Sixties. Sedangkan di tahun lalu Patek Philippe sebelumnya meluncurkan Cubitus dengan dial persegi yang bergaya kasual dan chic. Semua ini ditujukan untuk menarik perhatian pasar muda. Satu rilisan yang jadi sorotan di 2023 adalah Rolex Oyster Perpetual Day-Date 36 yang memancarkan energi ceria lewat dial jigsaw puzzle warna-warni.

Dalam upaya merebut hati generasi muda, para pembuat jam kini tak hanya mengandalkan produk, tapi juga kekuatan kolaborasi. Kolaborasi jadi kunci penting di dunia mode saat ini, terutama bagi Gen Z yang sangat menghargai kekinian dan ekspresi diri. Kolaborasi antara merek jam tangan mewah dengan ikon budaya pop, desainer kontemporer, bahkan seniman lintas disiplin menjadi jembatan yang kuat untuk menyuarakan nilai baru tanpa kehilangan identitas klasiknya.

Courtesy of Vacheron Constantin

Contohnya bisa dilihat dari kolaborasi Swatch dan Omega lewat seri MoonSwatch yang viral tak hanya karena desainnya yang playful dan mengacu terhadap Omega Speedmaster, tapi juga karena menciptakan narasi baru bahwa jam tangan bisa menjadi bagian dari pernyataan gaya lintas generasi. Strategi serupa diambil Audemars Piguet lewat kolaborasi bersama rapper Travis Scott dan labelnya, Cactus Jack dalam menciptakan Royal Oak Offshore Limited Edition. Ini bukan sekadar menjual produk, melainkan pengalaman kolektif yang menggabungkan musik, fashion, dan budaya urban dalam satu pergelangan tangan.

Tak hanya berhenti pada pasar dan produk, gelombang minat terhadap jam tangan analog pun terlihat jelas di dunia digital. Di TikTok, tagar #watchtok telah menembus lebih dari 300 juta tayangan, menjadi ruang digital tempat para kolektor muda, horologist amatir, dan influencer gaya hidup berbagi penemuan, referensi model langka hingga cerita di balik mekanik jam. Sementara di Instagram, akun seperti Dimepiece.co dan Watchgirloffduty menampilkan kurasi jam tangan mewah yang dikenakan perempuan muda, membuktikan bahwa horologi kini bukan lagi dominasi maskulin, melainkan lintas gender dan generasi. 

"Tak heran, pasar jam tangan bekas diprediksi tumbuh 10–12 persen per tahun selama dekade ini."

Keunggulan Masa Lalu

Financial Times mencatat bahwa Gen Z menunjukkan minat besar terhadap jam tangan mekanik mewah, terutama di pasar sekunder. Sekitar 20 persen dari mereka diperkirakan akan membeli jam tangan mewah dalam setahun ke depan. Banyak yang memilih jam tangan bekas karena alasan harga, keberlanjutan, dan keinginan tampil beda. Tak heran, pasar jam tangan bekas diprediksi tumbuh 10–12 persen per tahun selama dekade ini.

Berdasarkan alasan itu, di sudut lain, yakni dunia horologi, tren jam tangan vintage pun ikut naik daun. Jika dulu dianggap warisan ayah atau kakek, kini jam klasik justru jadi simbol gaya dan karakter. Generasi Z dengan antusias menghidupkan model era '60-an hingga '90-an seperti Rolex Datejust, Omega Constellation, atau Cartier Tank. Bukan sekadar aksesori, tapi ekspresi identitas dan estetika abadi.

Menurut laporan Sotheby’s di tahun 2024, jumlah peserta lelang jam tangan berusia di bawah 35 tahun meningkat lebih dari 40 persen dalam tiga tahun terakhir. Di Christie’s, data menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen pembeli baru jam tangan berasal dari Asia dan Timur Tengah, wilayah dengan generasi muda yang melek digital. Bahkan, separuh dari total pembeli jam tangan mereka kini berusia di bawah 40 tahun.

Bagi generasi muda, jam tangan vintage adalah kapsul waktu yang bisa dikenakan. Dial yang mulai menguning, case dengan sedikit goresan, sampai tali kulit yang sudah membentuk lengkung khas pemakainya, semua detail itu adalah elemen keaslian yang tak bisa ditiru pabrik.

Alasan di balik ketertarikan ini cukup menarik. Jam tangan vintage bukan cuma soal nostalgia, tapi juga soal keberlanjutan dan keunikan. Berbeda dengan jam tangan produksi massal yang bentuknya seragam, setiap jam vintage punya cerita masa lalu yang tak tergantikan. Banyak dari Gen Z suka dengan ide punya barang yang “cuma satu di dunia”, sebagai bentuk penolakan terhadap tren fast fashion dan budaya konsumsi yang serba cepat.

Fenomena ini juga bikin pasar lelang jam tangan dan platform reseller terpercaya seperti Hodinkee, WatchBox, dan Chrono24 makin hidup. Di sinilah para kolektor muda berburu jam impian, mencari referensi satu per satu, dan kadang ikut menyelami sejarah di balik tiap model.

Di antara jarum yang berputar dan mesin otomatis yang berdetak pelan, jam tangan tidak lagi cuma alat penunjuk waktu. Ia berubah jadi pernyataan gaya, cerita, dan simbol kesadaran tentang makna hidup yang lebih dalam. Generasi muda telah mengajarkan dunia ini bahwa masa depan itu bukan cuma soal kecepatan, tapi soal makna, dan makna itu, kadang datang dari sesuatu yang berdetak perlahan.

BACA JUGA: 

Menjelajah Lebih dalam Pengalaman Menikmati Liburan Ultra-Luxury

Apakah Prosedur Estetika telah Menjadi Standar Baru dalam Mengukur Status Sosial?

Baca artikel Talking Points yang berjudul "Detak Arloji di Tangan Muda" yang terbit di edisi cetak Harper's Bazaar Indonesia - Juni 2025; Penulis: Gusti Aditya; Alih Bahasa: Chelsea Allegra; Layout: Adela Devarini Wielaksono