Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Pengalaman Hiking di Grampians, Australia ala Bazaar

Agenda mendaki dekat kota Melbourne selama tiga hari dua malam yang tak hanya memanjakan mata tetapi juga selera.

Pengalaman Hiking di Grampians, Australia ala Bazaar

Dalam tiga setengah jam saya sudah melintasi banyak kejutan visual. Sekitar matahari mulai terbit, balon-balon udara lepas landas menyambut fajar di langit distrik bisnis pusat (CBD) dari atas neo-gotik St Paul's Cathedral yang tepat depan jendela kamar saya di Next Hotel Melbourne.

Saat perjalanan via bus Get Lost Travel Group dimulai, mata saya tidak berhenti fokus pada beragam panorama wilayah Grampians di tenggara benua Australia. Bayangkan saja masih ada situs-situs seni batu pribumi yang tentunya, begitu dibanggakan, di antara asrinya serangkaian pegunungan bersama ngarai dramatis dan tebing curam. Belum lagi binatang-binatang yang merupakan lambang dari negara ini, seperti burung emu dan kanguru tampak beraktivitas maupun duduk santai dalam pose siap untuk bidikan kamera para pelancong. Saya pun langsung mengabadikan momen dan segera membagikannya kepada beberapa kerabat dekat di Indonesia, seraya memanfaatkan akses Wi-Fi yang sangat lancar dari transportasi privat ini. Setiba di destinasi pertama, inilah detail itinerarinya:

11.30: Hewan-hewan berkantung aktif melompat di antara hamparan luas Halls Gap Hotel. Saya tidak sabar untuk mencicipi steak kanguru free-range khas restoran ini. Masuk dalam pilihan tasting plate untuk pengunjung baru seperti saya, potongan bagian punggung ini disajikan chargrilled rare sehingga masih terasa juicy meskipun tampak kering, yang disertai beetroot relish, pistacchio dukkah, chargrilled sourdough, dan (favorit saya) Tasmanian pepper sebagai pelengkap cita rasa asap begitu memikat berkat sentuhan pedas ringan namun manis setelahnya.

Perlu diketahui, daging merah ini hanya berlemak kurang dari 2% sehingga kaya zat besi untuk daya tahan tubuh yang prima dan sudah menjadi sumber protein utama bagi suku Aborigin sejak zaman dahulu. Ditambah lagi, mengonsumsi kanguru juga lebih ramah lingkungan karena habitat alami mereka yang bebas dari campur tangan manusia serta emisi gas metananya sangat rendah dibandingkan dengan peternakan lain. Walaupun hidangan ini masih jarang ditemui (konon cukup tricky untuk memasaknya pula) dan bahkan masih dilarang secara hukum di beberapa negara, manfaatnya patut kita dipertimbangkan.

13.30: Lanjut ke Grampians National Park bersama pemandu senior Noel Nicholls dari Grampians Personalised Tours and Adventures, di mana saya menjelajahi berbagai native plants.

Pertama, tanaman besar Mimosa, yaitu legum yang dibutuhkan sebagai pakan satwa. Lalu, pohon Wattle yang bernutrisi dan diolah oleh penduduk pribumi menjadi tepung, obat, alat pelindung, dan lainnya.

14.30: Sampai ke titik panoramic lookout sembari diiringi kicauan burung Wattle yang tiada henti bersorak, untuk menyaksikan lebih dekat emu dan kanguru di habitat alami mereka.

16.00: Check-in di kemah modern Halls Gap Lakeside Tourist Park. Saya dikejutkan secara meriah oleh Cockatoos dan Kookaburra yang sudah standby depan pintu teras cabin.

18.00: Menyantap barbecue di ruang komunal. Tubuh menghadap fire pit, segelas Shiraz lokal di tangan kiri, dan gadget mengakses jaringan internet di tangan kanan.

21.00: Sebelum tidur, saya menyalakan album lagu “Cheek to Cheek” dari Lady Gaga & Tony Bennett, electric blanket ke tingkat paling panas, dan reverse aircon untuk menanggulangi suhu sekitar 5 derajat malam itu.

Hari Kedua

07.00: Pemandangan sunrise yang menakjubkan dari sisi belakang penginapan ini dengan kedatangan burung, kanguru, hingga rusa yang mengamati saya sembari runway cantik menuju taman nasional.

08.00: Sarapan di Livefast Lifestyle Café, saya memesan menu breakfast for a champion yaitu burger dengan telur, chorizo, bacon, dan sayur bersama oat latte panas sebelum melalui rute mendaki.

09.00: Moderator dari Absolute Outdoors menjemput dengan van ke Boroka Lookout, sekitar 15 menit perjalanan. Dari ketinggian 750 meter di atas permukaan laut, saya memperhatikan pemandangan Bellfield Lake buatan yang membentang akbar ke antara pegunungan luas.

Temperatur di vantage point ini pastinya lebih rendah, sehingga saya berlapis-lapis dengan heattech, blus kerah tinggi ala Victorian, bomber jacket, curdoroy coat, dan celana high-waist tebal dalam menghadapi dingin namun tetap gaya.

11.00: Kurang lebih dua puluh menit berkendara, saya tiba di titik kedua. Sebelum memasuki hiking trail, terdapat shoe wash booth di pintu masuk untuk mengurangi bakteri luar dari alas sepatu pengunjung, konon katanya penyebab utama kepunahan tumbuhan di wilayah ini.

Salah satunya, Xenthorobia, yang membutuhkan setidaknya 30 tahun untuk tumbuh sempurna.

Jalur Mount William Range ini sudah terpantau dengan satelit, sementara helikopter bolak-balik mengirimkan peralatan kerja dan batu pasir untuk membuka akses jalan yang nyaman serta pelestarian Indigenous Victorian rock art. Pesawat terbang itu juga disiagakan untuk keadaan darurat para pendaki.

12.00: Setelah 45 menit mendaki dengan derapan santai, saya tiba di tempat peristirahatan Werdug Walk-in Campground. Sang pemandu dengan sigap sudah menata segala makanan sehat yang dia bawa dari tas camping-nya di atas meja makan kayu panjang, termasuk anggur lokal yang begitu segar dan manis. Arsitektur lokasi ini mengadopsi gaya Skandinavia ala Australia dengan material alami hasil desain Noxon Giffen yang menggabungkan unsur cultural immersion secara harmoni nan kontemporer, sehingga berhasil meraih penghargaan Gold Winner dari Good Design Award.

 

13.00: Kembali ke area parkiran van terasa lebih cepat walaupun masih melewati jalur yang sama, namun dengan pandangan panorama yang berbeda. Saya memperhatikan lumut hijau pada batu pijakan dan bunga-bunga manis yang menghiasi visual perjalanan pulang.

14.00: Pomonal Estate menjamu makan siang saya di tengah lanskap yang tak kalah indah. Bisnis keluarga ini memiliki ladang winery dan cider house pribadi sehingga refreshment yang mereka tawarkan begitu memikat palet rasa saya, terutama ginger beer.

16.00: Akomodasi di Mount William Station menyambut saya dengan hangat. Rumah abad ke-19 dengan gaya Spanish Colonial Revival berdiri di antara taman seluas lima hektar yang dipenuhi bunga, termasuk mawar yang dirawat oleh tukang kebun asal Italia.

Pesona old-world terasa semakin hidup dengan event space di revamped horse stable yang menghadap peternakan ayam dan sapi.

Setiap kamar memiliki karakter tersendiri dengan sentuhan dunia equestrian dan tenis, olahraga (yang dikenal) favoritnya kaum stealth-wealth.

 

18.00: Saya memakai trench coat ke Rhino (living) Room untuk menikmati aperitif dan stone fireplace yang bernuansa eklektik.

19.00: Chef Dean menyajikan tiga menu dinner lezat dengan fusi cita rasa lokal dari produsen sekitar dan teknik masak khas Inggris (asalnya), yang berubah setiap malam untuk merefleksikan rasa Grampians melalui bahan musiman terbaik.

 

Hari Ketiga

 08.00: Sarapan ala kafe menanti, dengan oat latte panas dan sandwich (yang menjadi favorit saya). Tiap pagi Mount William Station mengumpulkan telur segar dari ayam Isa Brown yang berlalu-lalang di halaman properti ini.

11.00: Saya mengarah pulang ke Melbourne melewati Ballarat untuk fine dining lunch di Babae, terletak dalam Hotel Vera yang menempati bangunan era Victoria abad ke-19 dengan interior begitu stylish dan kontemporer.

Restoran tersebut menyuguhkan perpaduan inovatif masakan Asia dengan Mediterania dan modern Australian gourmet.

Salah satu sajian yang menarik atensi saya adalah Jerusalem Artichoke & Chestnut Soup dengan soft egg sebagai primadonanya.

 

Kurang lebih pukul tiga sore saya tiba di kota, tepat untuk meneruskan eksplorasi kuliner dan mengejar pertunjukan Wicked.

(Foto: Michelle Othman)