Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Bisakah Kita Hidup Tanpa Plastik?

Simak perbincangan kami bersama dua orang aktivis lingkungan yakni Suzy Hutomo dan Riyanni Djangkaru.

Bisakah Kita Hidup Tanpa Plastik?

Beberapa hari yang lalu, Harper’s Bazaar Indonesia mengundang dua orang tokoh pegiat lingkungan yang juga menjadi bagian dari wajah sampul majalah edisi bulan Juni ini dalam bincang-bincang santai di platform Instagram Live. Ialah Suzy Hutomo, chair person The Body Shop Indonesia yang dikenal sebagai environmentalist dan menjunjung tinggi prinsip sustainability dalam segala aspek kehidupannya. Selanjutnya, Riyanni Djangkaru turut menemani Bazaar sore itu. Nama aktivis lingkungan yang tergabung dalam Save Sharks Indonesia tersebut  tentu sudah tak asing di telinga berkat acara bertualangnya ke berbagai penjuru nusantara.

Topik pembicaraan yang diangkat adalah mengenai bagaimana kita menyikapi penggunaan plastik secara bijaksana dalam kehidupan sehari-hari. Tak dapat dipungkiri, manusia seakan tak bisa lepas dari ketergantungannya akan plastik. Keunggulannya sebagai bahan yang kuat, memiliki beraneka fungsi, bentuknya yang menarik, dan alasan kepraktisan membuat plastik mendapatkan tempat di hati setiap orang. Demikian pula di dunia medis, banyak peralatan dan perlengkapan yang terbuat dari plastik serta hanya sekali pakai demi menjaga agar tetap steril.

Namun itu semua akhirnya meninggalkan masalah yang sangat besar di dunia sebab plastik merupakan bahan yang sulit terurai. Dilansir dari situs The Balance Small Business, plastik membutuhkan waktu setidaknya 10 hingga 1000 tahun untuk hancur. Seiring berjalannya waktu, sampah-sampah plastik pun kian menumpuk, mengotori lautan, dan mengganggu ekosistem. Indonesia sendiri tercatat dalam data penelitian Jambeck et al tahun 2015 sebagai negara penyumbang sampah plastik terbanyak kedua dengan angka buangan di laut mencapai 1,29 juta ton per tahun. Lalu, apakah kita bisa benar-benar hidup tanpa plastik demi menjaga lingkungan? Bagaimana menggunakannya dengan bijaksana?

Reduce it,” ujar Suzy Hutomo. Penting untuk dicatat bahwa yang harus dihindari adalah penggunaan plastik sekali pakai dan ia menyarankan untuk menguranginya. Sebagai contoh, ia sudah tidak minum air mineral dari wadah plastik serta membawa tas dan container sendiri untuk berbelanja di pasar atau supermarket. Dalam pengolahan sampahnya, Suzy berpegang pada prinsip reduce, reuse, dan recycle. Oleh karena itu, ia akan menyortir kembali sampah mana yang masih dapat didaur ulang sebelum sisa-sisa limbah lainnya mendarat di tempat pembuangan akhir. Menurutnya, jika sudah memilih untuk menegakkan prinsip eco-friendly, pada dasarnya kita harus siap untuk melakukan persiapan dan upaya yang ekstra. Satu lagi yang tak kalah penting, selain mengurangi penggunaannya kita juga harus mengurangi sifat konsumtif.

Hal yang sama pun diungkapkan oleh Riyanni Djangkaru. Wanita yang gemar menyelam ini masih menyayangkan jika sampah plastik masih banyak ditemui Bali terutama di daerah pantai. Ia pun akhirnya ikut memutar otak agar dapat memanfaatkan kembali buangan plastik. Pernah suatu ketika ia berinisiatif bersama komunitas Save Sharks Indonesia untuk membagikan tote bag kepada sejumlah ojek online untuk mengurangi penggunaan tas plastik. Riyanni juga tak segan untuk mengirimkan kotak makanannya ke restoran favoritnya saat membeli makanan.

Bagi Riyanni, pemakaian plastik sebenarnya tergantung pada sudut pandang setiap orang. “Jika setiap orang melihat plastik sebagai obyek dan bukan karena fungsinya, maka plastik akan dianggap sebagai barang yang sekali pakai,” jelasnya. Maka dari itu, ia berusaha untuk menggunakan kembali barang-barang berbahan plastik yang sekiranya masih dapat dimanfaatkan, seperti botol bekas untuk menjemur biji cabai atau bungkus tisu basah untuk menyimpan tanah liat saat ia membuat keramik. Plastik yang sudah tidak dapat digunakan akan ia bersihkan dan potong-potong untuk kemudian diberikan kepada pemulung yang menjualnya kepada pembuat biji plastik.

Menghindari plastik memang bukan perkara yang mudah untuk dilakukan, namun mengurangi penggunannya sedikit demi sedikit tentu akan membantu planet bumi ini menjadi semakin lebih baik. Suzy dan Riyanni sepakat bahwa untuk mencintai bumi berarti kita harus siap untuk semakin repot. Tak perlu mahal, masih ada banyak hal yang dapat kita lakukan dan semua itu dimulai dari diri sendiri. “Yang terpenting adalah bukan melakukan banyak hal untuk satu waktu. Lebih baik melakukan hal baik sedikit demi sedikit namun bertahan lama,” jelas Riyanni.




(Foto: courtesy of Brian Yurasits on Unsplash)