Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Langsung Dari Parker Posey dan Natasha Rothwell, Bazaar Mendapat Cerita Eksklusif di Balik Musim Ketiga The White Lotus

Dalam wawancara eksklusif bersama Harper’s Bazaar Indonesia, Parker Posey dan Natasha Rothwell membahas kekuatan karakter, kompleksitas emosi, dan keindahan dari kerentanan manusia di balik musim ketiga serial The White Lotus.

Langsung Dari Parker Posey dan Natasha Rothwell, Bazaar Mendapat Cerita Eksklusif di Balik Musim Ketiga The White Lotus
Layout: Margareth Widyadari

Segera setelah penayangan perdana yang gemerlap, Harper’s Bazaar Indonesia mendapat kesempatan langka untuk berbincang dengan dua aktris paling memikat dari salah satu serial televisi yang paling banyak dibicarakan—The White Lotus produksi Max. Percakapan eksklusif ini berlangsung di Four Seasons Bangkok, salah satu lokasi syuting musim terbarunya.

Sebagai sebuah satir tajam yang dibungkus dalam pemandangan nan mewah, The White Lotus memiliki daya tarik tersendiri. Sekilas, serial ini mungkin tampak seperti kisah para orang kaya yang sedang berlibur. Namun di balik keindahan visualnya, tersembunyi narasi mendalam yang mengupas isu-isu kelas sosial, privilege, kekuasaan, dan kerentanan. Ini adalah jenis tayangan yang mengundang interpretasi. Nothing is quite as it seems.

Photo: Courtesy of Max

Setelah pemutaran episode perdana, kami berbincang dengan Parker Posey, sosok ikonis yang memerankan Victoria Ratliff, karakter yang tenang namun calculated, serta Natasha Rothwell, yang kembali sebagai Belinda Lindsey, karakter hangat dan tajam yang banyak mencuri perhatian sejak musim pertama. Yang terjadi kemudian adalah percakapan penuh keintiman dan kejujuran, membahas karakter, dinamika cerita, dan pengalaman menjadi bagian dari serial yang berbicara banyak, seringkali tanpa perlu mengatakannya secara langsung.

Simak momen eksklusif kami bersama dua perempuan di balik karakter menarik di The White Lotus.

Harper’s Bazaar Indonesia (HBI): Karakter Anda, Belinda, memiliki arc yang sangat menyentuh di musim pertama. Namun dalam episode perdana tadi malam, ia terlihat benar-benar bahagia. Dalam musim terbaru ini, Belinda sedang berada dalam kondisi mental seperti apa? Apakah pendekatannya terhadap hidup kini berbeda?

Natasha Rothwell (NR):
Ya, tentu. Saya rasa ungkapan "once bitten, twice shy" sangat menggambarkan Belinda. Ia kini jauh lebih berhati-hati dalam hal kepercayaan. Antara musim pertama dan musim kedua, ia melalui perjalanan yang bisa dianalogikan seperti Humpty Dumpty—berusaha menyusun dirinya kembali dari kepingan, lalu mencoba naik kembali ke atas tembok. Trying to try—berusaha untuk tetap mencoba—itulah inti cerita Belinda. Dalam beberapa hal, ia seperti Roomba, perangkat pembersih otomatis yang terus menabrak hingga menemukan jalurnya. Tapi keberaniannya untuk kembali membuka diri adalah sesuatu yang sangat indah. Ketika Anda melihatnya di episode pertama, Anda bisa melihat harapan. Dan menurut saya, itu sesuatu yang sangat menyentuh.

HBI: Saya setuju. Dan karakter Anda, Victoria, dalam satu episode saja langsung muncul sebagai sosok yang kuat. She looks like an icon.

Parker Posey (PP): Dia memang delulu!

HBI: Apakah Anda sudah familiar dengan istilah itu?

PP: Tentu, saya sering mendengarnya. Saya juga sangat mengagumi Jennifer Coolidge, yang memiliki karakter similar but different. Beliau selalu menjadi sumber inspirasi bagi saya.

HBI: Apa bagian paling menyenangkan dari membawakan karakter Victoria ke layar?

PP: Sejujurnya, saya sangat senang bisa menjadi delulu, meskipun pada awalnya saya tidak menyadari hal itu.

HBI: Setelah membaca skrip?

PP: Justru setelah proses syuting selesai dan ada yang menyebutkannya. Saat itulah saya sadar, “Oh, ya, itu masuk akal.” Saya ingat pernah membaca sesuatu tentang Jennifer Coolidge, dan bagaimana sosoknya bisa menjadi inspirasi untuk karakter semacam ini. Mike White menulis karakter perempuan dengan luar biasa. Mereka bisa jenaka, menawan, tajam, dan bijaksana. Menjadi bagian dari dunia yang ia ciptakan adalah sebuah kehormatan.

Photo: Courtesy of Max

HBI: Karakter-karakter di The White Lotus biasanya memiliki kombinasi antara kerentanan dan keegoisan. Di mana posisi karakter Anda masing-masing dalam spektrum tersebut untuk musim ini?

NR: Menurut saya, meskipun tampak mulia, Belinda juga memiliki sisi ego. Butuh keberanian dan kepercayaan diri yang cukup besar untuk berpikir bahwa ia bisa begitu saja memulai bisnis. Ia berusaha untuk melakukan hal-hal besar dengan niat yang baik. Namun jika dibandingkan dengan tingkat keegoisan karakter lain di semesta The White Lotus, Belinda tampak jauh lebih bersahaja. Tetap saja, ia memiliki sedikit sisi self-absorbed itu.

PP: Memiliki ego sebesar itu sebenarnya merupakan sebuah kemewahan. Dan memang itu salah satu tema utama di dunia The White Lotus. Victoria adalah sosok yang menyerap segalanya dari keluarganya. Ia nyaris tidak mampu melihat apa pun di luar dirinya sendiri. Anak-anaknya adalah refleksi dari dirinya, dan ia mencintai mereka dengan sepenuh hati. Cinta itu pula yang membuatnya rentan, membuatnya ingin mengendalikan segalanya hingga terkadang tidak benar-benar melihat siapa anak-anaknya sebenarnya.

Photo: Courtesy of Max

HBI: Setiap musim dari serial ikonis ini selalu meninggalkan refleksi mendalam tentang sifat manusia. Menurut Anda, tema atau gagasan apa dari musim ini yang paling mungkin membekas di benak penonton?

NR: Saya rasa banyak orang akan melihat musim ini sebagai musim yang cukup dark. Namun menurut saya, darkness dan light adalah dua hal yang saling membutuhkan. Mike membawa penonton ke dalam kedalaman emosi yang gelap, tapi justru dari sanalah muncul cahaya kemanusiaan. Bagi saya, karya seni yang baik bukan tentang memberikan jawaban, melainkan mengajukan pertanyaan. Dan saya pikir musim ini akan mendorong penonton untuk melakukan semacam audit batin: seberapa banyak terang dan gelap yang ada dalam diri kita masing-masing? Dan bagaimana kita dapat menyatukan keduanya untuk menjangkau lebih banyak cahaya?

PP: Apa yang Anda sampaikan tadi sangat indah, Natasha. Saya jadi teringat bunga lotus—yang tumbuh dari lumpur, namun menjadi salah satu bunga tercantik di dunia. Saya pernah mengambil foto bagian tengah bunga tersebut, yang berwarna hijau cerah dan menyerupai sel-sel di bawah mikroskop—atau bahkan semesta dalam versi kecil. Bunga itu tumbuh bukan dari tanah yang subur, tapi dari lumpur yang gelap dan keruh. Dan dari kegelapan itulah, tercipta sesuatu yang luar biasa. Itulah pengalaman saya saat menjadi bagian dari dunia The White Lotus, gelap dan terang yang saling melengkapi, seperti yang Natasha ungkapkan dengan begitu indah.

HBI: Mike White dikenal dengan kemampuannya menampilkan karakter-karakter yang mungkin terlihat menyebalkan, namun terasa sangat manusiawi, dan kadang membuat kita bersimpati. Apakah Anda pernah merasa harus membela atau membenarkan tindakan karakter masing-masing?

PP: Bekerja dengan Mike sangat menyenangkan karena ia sendiri seperti seorang aktor. Kita membawa instrument kita masing-masing, lalu mulai “bermain”, dan ia pun ikut menari bersama. Semua terasa sangat organik dan penuh energi. Pengalaman saya kali ini benar-benar berbeda dari proyek sebelumnya, dan saya sangat menikmatinya. Tapi tidak, saya tidak merasa perlu membela karakter saya.

NR: Kalau Belinda, saya rasa dunia sudah lebih dahulu membelanya. Seperti ada semacam komunitas kecil yang terus mendukungnya. Saya merasa sangat beruntung bisa memerankan karakter yang begitu banyak didukung oleh penonton. Sebagian besar karakter yang saya mainkan berasal dari komunitas yang marginalized. Namun Mike berhasil menciptakan ruang bagi mereka agar dapat terhubung dengan penonton, bahkan di tengah kekacauan yang homogen. Saya senang ketika orang-orang di hotel menghampiri saya dan berkata, “Terima kasih karena sudah mewakili kami, karena sudah membuat kami merasa terlihat.” Kadang mereka juga berkata, “Saya punya tamu seperti Tanya minggu lalu,” dan itu menyentuh. Rasanya menyenangkan ketika saya tidak harus membela karakter saya sendiri, melainkan justru dibela oleh mereka yang merasa terwakili.

(Photo: Courtesy of Max)