Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Apa Dampak yang Pandemi Berikan Terhadap Hubungan Persahabatan Anda?

Covid-19 telah menimbulkan ketegangan yang tak terhitung pada sebuah jalinan persahabatan, tetapi apakah itu merusak atau memperkuat mereka?

Apa Dampak yang Pandemi Berikan Terhadap Hubungan Persahabatan Anda?

Pandemi Covid-19 ini telah menghadirkan salah satu tantangan sosial terbesar yang pernah dihadapi oleh sebuah persahabatan modern. Tentu tidak mudah untuk menjalankan seluruh kehidupan sosial kita secara online. Meskipun satu tahun terakhir ini akan terasa jauh lebih sulit tanpa keberadaan Zoom, FaceTime, dan WhatsApp, mereka bukanlah pengganti yang sebanding dengan aktivitas harian di kehidupan nyata. Teknologi sering kali memberikan kesan kedekatan palsu yang dapat menyebabkan kurangnya usaha dalam hubungan sehari-hari.

Penghakiman semakin kerap diberikan dan rasa hormat terhadap orang lain kian pudar. Pandemi pun telah membuat kita merasa kesal, takut, dan muak sehingga semuanya berkembang dan menghasilkan argumen dan reaksi ‘berkepala panas’.
 
Virus Corona tak diragukan lagi telah mengubah interaksi dan lingkaran sosial kita, tetapi sejauh mana? Kita semua telah ‘terputus’ secara fisik dari orang yang kita cintai. Oleh karena itu, bagaimana kondisi tersebut mengubah cara kita memandang teman-teman kita? 
 
Menurut sebuah studi sosial Covid-19 mengenai kesejahteraan dan kesehatan mental selama lockdown milik UCL, sebanyak 22 persen orang melaporkan bahwa persahabatan mereka memburuk. Para remaja atau anak muda cenderung melaporkan bahwa hubungan pertemanan mereka memburuk, sedangkan orang dewasa cenderung fokus pada laporan akan adanya perubahan pada hubungan pertemanan mereka. 

Persahabatan ‘tunduk’ pada berbagai kekuatan eksternal yang memperkuat atau merusak kualitasnya

Hubungan persahabatan, seperti pada halnya hubungan romantis, ‘tunduk’ pada berbagai kekuatan eksternal yang memperkuat atau merusak kualitasnya. Hubungan tersebut harus terus dikembangkan dan membutuhkan unsur kesengajaan, bahkan jika hal tersebut terasa lebih alami bagi beberapa orang daripada yang lain. Ketidaksesuaian antara hubungan sosial yang kita inginkan dan jumlah yang tersedia di lingkungan sekitar dapat membuat kita merasa kesepian atau bahkan tertekan.
 
Covid-19 memang telah memberikan tekanan pada jalinan persahabatan kita dan kondisi tersebut mampu membuktikan dan menyadarkan kita seberapa pentingnya hal tersebut. Penelitian mengenainya sudah ada jauh sebelum pandemi hadir, bahwa jalinan persahabatan yang dekat dapat meningkatkan harapan hidup seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Harvard pada tahun 2017 itu menunjukkan bahwa hubungan sosial yang bermakna dapat memainkan peran penting dalam kesehatan, kebahagiaan, dan umur panjang pihak yang terkait.

Pada tahun 2015 silam, pada sebuah perbincangan TED, penulis Inggris-Swiss Johann berkata, “Lawan dari kecanduan bukanlah ketenangan hati, melainkan koneksi.” Kapanpun kita menyangkal hubungan yang kita miliki, kita sama saja telah menyangkal obat yang dapat menyelamatkan kita. Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa persahabatan yang dekat dan sehat mampu membuat kondisi kita menjadi lebih baik, daripada yang kita sadari.
 


 
“Secara sosial dan budaya, bagi banyak orang, persahabatan memiliki makna dan nilai yang lebih dalam. Bagi yang lainnya, persahabatan telah menyebabkan ‘kebangkitan’ atau membuat mereka kembali ke nilai yang dianut sebelumnya,” kata psikolog Thema kepada Bazaar.

“Hubungan pertemanan bisa menjadi tempat penyembuhan yang terapeutik. Ketika kita terhubung, kita akan merasa dilihat, dikenal, dipahami, dan dihargai. Seperti yang diajarkan oleh pepatah dari Afrika, 'Saya karena kita (Diri saya yang saat ini ada karena hubungan kita).' Karena, walau terkadang luput dari perhatian, dalam hubungan tersebut, kita dapat menemukan aspek baru dari diri kita sendiri."
 
Pengalaman lockdown telah membantu saya untuk memahami pelajaran penting mengenai ciri-ciri dan rupa dari persahabatan yang teguh atau rapuh. Seperti kebanyakan orang yang kehilangan sosok terkasih selama pandemi ini, saya mengalami periode yang menempatkan saya pada level yang sangat rendah, tepatnya ketika berurusan dengan kematian orang tercinta, terisolasi di apartemen, usaha untuk menyerap dan memahami banyak hal yang terjadi di sekitar saya, serta beban empati. 
 
Berikutnya adalah perhitungan rasial musim panas 2020, yang membuat saya terkuras secara emosional. Dalam waktu singkat, ruang damai yang sangat saya butuhkan berubah menjadi rasa duka yang luar biasa, periode yang mengubah apa yang saya hargai dalam diri seorang ‘teman’. Saya mempelajari perbedaan antara kenalan yang telah saya jaga ikatan sosialnya dari keterlibatan yang tak terhitung jumlahnya selama bertahun-tahun versus mereka yang dapat berhubungan dengan setiap aspek kehidupan saya dan masih dapat memiliki ruang untuk saya seperti yang saya lakukan untuk mereka, terlepas dari apa yang sedang terjadi di seluruh dunia ini. Teman selalu ada untuk kita sangatlah sedikit. Dengan begitu, sosok dan kehadirannya terasa lebih berharga karena kelangkaannya.

Ketika kita terhubung, kita akan merasa dilihat, dikenal, dipahami, dan dihargai.

Karena kehidupan pra-pandemi saya yang sibuk dan padat, saya terbiasa untuk berteman dengan banyak orang, yang sebenarnya tidak ada koneksi di antara kita. Pertemanan tersebut terbentuk karena frekuensi pertemuan yang sering, walau tanpa dilandaskan konseksi yang kuat dan intim. Selama pandemi ini, saya pun telah memperkaya percakapan dengan tetangga saya yang akan selamanya saya sebut sebagai 'teman bertahan hidup pandemi'. Bersama-sama, kami jalan-jalan sore yang ditemani dengan pertukaran kue dan cokelat yang tak terhitung jumlahnya. 
 
Saya pun kembali menjalani hubungan pertemanan yang biasa saya lakukan sebelumnya dan menemukan cara kreatif untuk bersatu, bahkan dengan zona waktu yang berbeda. Entah apakah kami menginginkannya atau tidak, tetapi tampaknya waktu yang melimpah adalah sesuatu yang kami miliki dan hal tersebut memberikan kami kesempatan untuk berbicara dan mengejar ketertinggalan. Setelah menghabiskan sebagian besar hidup saya di berbagai negara karena berbagai alasan, terpencarnya lingkaran pertemanan saya tampak semakin jelas. Lebih banyak upaya yang diperlukan untuk mempertahankannya. Pada saat pandemi ini, kepentingannya akan hubungan pertemanan tersebut pun semakin jelas. 
 
Saya seakan diingatkan bahwa persahabatan dan kasih sayang sering kali datang dalam bentuk yang tak terduga dan masing-masing darinya perlu dihargai serta diterima secara terbuka. Tahun kesedihan saya perlahan berubah menjadi pelajaran hidup yang penting, khususnya tentang rasa syukur. Persahabatan tidak selalu datang dari tempat yang Anda harapkan, tetapi orang-orang yang paling tidak diharapkan siap mendukung saya pada tahun ini.
 


 
Pemahaman kita mengenai persahabatan akan terus berkembang, tetapi saya berharap bahwa pelajaran yang saya ambil mengenai ‘menjadi teman yang lebih baik’ akan menjadi aspek penting dalam kehidupan pasca-pandemi. Mungkin hal tersebut akan melibatkan penemuan cara kreatif untuk tetap terhubung dengan mereka yang jauh dari kita atau bahkan hanya dengan tulus tetap hadir untuk orang yang kita cintai walau hanya untuk beberapa menit. Mungkin pandemi juga hadir agar kita meluangkan waktu untuk berbicara dengan tetangga. Mungkin pula ini tentang proses menyadari bahwa kita tidak membutuhkan lingkaran pertemanan yang besar, melainkan hanya beberapa hubungan sosial yang sangat kuat, yang akan membantu kita melewati masa-masa tersulit. Puisi Maya Angelou yang berjudul Alone merangkumnya dengan sangat baik:
 
“Saya menyadari satu hal
Dan saya tidak yakin saya salah
bahwa tidak ada,
Tetapi tidak ada
Yang bisa (hidup) di sini sendirian.”
 
(Penulis: Tina Charisma; Artikel ini disadur dari Bazaar UK; Alih Bahasa: Fatimah Mardiyah; Foto: Courtesy of Bazaar UK)