Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Tertarik Membaca Sastra Klasik? 8 Novel Karya Jane Austen Berikut Ini adalah Jawabannya!

Walau perjalanan kariernya tidak begitu panjang, berbagai karyanya telah diakui secara internasional.

Tertarik Membaca Sastra Klasik? 8 Novel Karya Jane Austen Berikut Ini adalah Jawabannya!
Foto: Courtesy of Amazon

Ingin mencoba menyelami tulisan atau bacaan bernuansa klasik? Tampaknya, karya-karya dari Jane Austen dapat menjadi panduan Anda. Sebagai novelis tersohor pada tahun 1800-an, Jane Austen dikenal sebagai salah satu pelopor sastra klasik. Dengan wawasan luas yang dimiliki, Jane Austen tak pernah lupa memasukkan berbagai kritik yang erat dengan masa tersebut, mulai dari peran wanita yang disepelekan, pemerintah yang berkuasa, hingga ketimpangan kelas sosial. Kecermatannya tampak ketika berbagai kritik tersebut dapat berbaur secara alami dengan alur dari cerita yang disuguhkan.
 
Kehebatan karyanya juga diakui oleh para sineas internasional yang membuat novel-novelnya kerap diangkat ke layar lebar, seperti Pride and Prejudice (2005), Emma (2020), Northanger Abbey (2007), Sense and Sensibility (1995), dan lainnya. 
 
Walaupun sastra klasik sangat merepresentasikan situasi masa lalu, tiap-tiap karyanya tetap dapat dinikmati hingga saat ini, membuatnya erat dengan istilah timeless. Karya klasik pun mampu menyuguhkan rasa dan atmosfer yang berbeda dari karya-karya modern, baik dari segi latar, penggunaan kata, dan rasa yang diciptakannya. 
 
Berikut adalah delapan karya klasik Jane Austen yang perlu Anda baca.
 
Pride and Prejudice (1813)

Pride and Prejudice / Foto: Courtesy of Amazon

Pride and Prejudice / Foto: Courtesy of Amazon

 
Novel Jane Austen yang satu ini tidak hanya dikenal sebagai karya terbaiknya, tetapi juga salah satu karya klasik terbaik sepanjang masa. Jalan cerita memang tampak sederhana, namun kecemerlangannya dalam menciptakan alur yang menarik dan memikat berhasil membuat para pembaca terlarut ke dalamnya. 
 
Pride and Prejudice mengisahkan sosok Elizabeth Bennet dan Fitzwilliam Darcy. Setelah pertemuan pertama mereka, keduanya memiliki impresi yang tidak baik terhadap satu lain. Elizabeth menilai Darcy sebagai sosok yang angkuh, sedangkan Darcy menilai Elizabeth sebagai perempuan yang kerap berprasangka buruk. Meskipun begitu, seiring berjalannya waktu, rasa kebencian beralih menjadi ketertarikan. Hal tersebut terjadi ketika mereka menemukan sisi lain dari satu sama lain, sisi yang tak mereka sadari sebelumnya.
 
Tak hanya mengenai kisah cinta, Jane Austen juga menceritakan kebiasan masyarakat kelas menengah dan atas beserta budaya yang erat pada masa itu, seperti pesta dansa dan perjamuan besar-besaran. Sang novelis pun menambahkan bumbu feminisme di dalamnya, menjadikan sosok Elizabeth sebagai wanita kuat yang independen di tengah lingkungan yang masih erat dengan budaya patriarki. 
 
Northanger Abbey (1817)

Northanger Abbey / Foto: Courtesy of Amazon

Northanger Abbey / Foto: Courtesy of Amazon

 
Bercerita mengenai kisah cinta segitiga antara Cahtherine, John, dan Henry, Northanger Abbey mampu mengajak pembaca berimajinasi ke dalam dunia yang diciptakan oleh Jane Austen. Karakter kedua pria yang berbeda 180 derajat menjadi alasan utama Catherine mengalami kebimbangan akan keputusan akhir yang harus diambilnya. 
 
Walau telah dipublikasi sejak tahun 1817, kisah yang diceritakan tak lekang oleh masa, terasa begitu menarik untuk dibaca berulang kali. Kecemerlangannya dalam menulis membuat tiap tulisan dari buku ini terasa hidup. Ia pun mampu menghadirkan sisi baru dari kisah-kisah cinta segitiga yang tampaknya sudah sering kita dengar, membuat buku tersebut memancarkan kesegaran yang dinantikan para pembaca. 
 
Persuasion (1818)
 
Persuasion / Foto: Courtesy of Amazon

Persuasion / Foto: Courtesy of Amazon

 
Tema kisah cinta berbau ‘penantian panjang’ yang ditumpahkan Jane Austen pada buku ini tampaknya berhasil mencuri hati para pembacanya. Melalui Persuasion, sang novelis seakan memberi makna baru dalam romantika kehidupan yang mulai membosankan. Walau tema tersebut sangat ditonjolkan, ia tidak membuat pembaca merasa lelah. Hal tersebut berkat keterampilannya dalam menciptakan alur yang tidak boros dan tentu bakatnya dalam membuat tiap momen dalam cerita terasa menarik. 
 
Novel yang satu ini berkisah mengenai Anne Elliot yang terpaksa berpisah dari sang kekasih, Frederick Wentworth, hanya karena alasan perbedaan status, di mana keluarga Elliot adalah bangsawan terpandang. Namun, Jane Austen setuju bahwa cinta sejati tak mampu dipisahkan selamanya. Delapan tahun sejak perpisahannya, Frederick hadir kembali dalam hidup Anne. Segala pertanyaan yang tersimpan selama delapan tahun lamanya membuat Anne bimbang, apakah dirinya perlu jujur atau menutupinya. 
 
Jane dengan berani menyisipkan kritik besar dalam karyanya itu, yaitu mengenai ketimpangan yang hadir antara bangsawan kelas atas dan masyarakat biasa. Mereka yang bergelar bangsawan merasa sangat berkuasa dan tidak ingin nama keluarganya tercoreng hanya karena jalinan cinta dengan masyarakat yang tak memiliki kuasa apapun.
 
Emma (1815)
 
Emma / Foto: Courtesy of Amazon

Emma / Foto: Courtesy of Amazon

 
Sebagai buku keempat yang dipublikasi secara resmi oleh Jane Austen, Emma memberikan warna baru pada karya-karyanya. Novel berikut bercerita mengenai sosok Emma yang merasa bahwa dirinya adalah matchmaker andal. Satu kesuksesan membuatnya yakin bahwa ia terlahir untuk pekerjaan ini. Namun, berbagai rintangan hadir selama dirinya mencoba untuk memasangkan berbagai pihak. 
 
Jane Austen sengaja menggambarkan Emma sebagai sosok wanita yang tidak ingin menikah. Melalui karakter tersebut, ia mencoba memasukkan kritik mengenai pandangan pernikahan pada masa itu yang cukup merugikan pihak wanita. Perjodohan, yang menjadi tema besar dari cerita ini, dijadikan oleh Jane sebagai kesempatan untuk membahas lebih lanjut mengenai kritik tersebut, yang diselingi dengan berbagai kritik lain, seperti status sosial dan ketimpangan yang diciptakannya. 
 
Juvenilia (1787-1793)
 
Juvenilia / Foto: Courtesy of Amazon

Juvenilia / Foto: Courtesy of Amazon

 
Berbeda dari karya-karya lainnya, Juvenilia bukanlah sebuah novel tunggal, melainkan terdiri dari 19 karya Jane Austen yang berkisar dari tahun 1787-1793, baik itu puisi, cerpen, ataupun potongan skenario drama. Walau dirinya masih belia ketika menulis karya-karya itu, kelugasan penuturan yang diciptakannya tak perlu diragukan. Justru, usia tersebut membuat Jane Austen menghasilkan untaian kata yang terasa jujur dan murni, layaknya diary yang dikemas dalam kata-kata emas. 
 
Topik percintaan, keluarga, hingga politik pun dilahapnya sehingga menghasilkan beragam karya fenomenal. Ia seakan menuangkan semangat dan jiwa pemberontaknya melalui tulisan tersebut, membuat tiap karyanya sangat berarti dan terasa hidup. Terbagi menjadi 3 volume, beberapa karya yang menjadi bagian dari buku tersebut adalah: The Beautifull Cassandra, Love and Freindship, Lesley Castle, The History of England, Amelia Webster, Henry & Eliza, dan karya-karya lainnya. 
 
Berikut adalah tulisan tangan asli Jane dari salah satu karyanya yang disimpan dalam British Library:
 
History of England (Juvenilia) / Foto: British Library

History of England (Juvenilia) / Foto: British Library

 
Volume dua (Juvenilia) / Foto: British Library

Volume dua (Juvenilia) / Foto: British Library

 
 
Mansfield Park (1814)
 
Mansfield Park / Foto: Courtesy of Amazon

Mansfield Park / Foto: Courtesy of Amazon

 
Kali ini, Jane Austen mencoba mencampurkan isu percintaan, keluarga, serta pertemanan. Judul dari novel ini diambil dari nama tempat tinggal sementara sang karakter utama, Fanny yang diceritakan terlahir dari keluarga yang tidak mampu dan berantakan. Rumah besar dan mewah itu sejatinya milik paman dan tantenya. Selama tinggal di sana, ia memiliki hubungan pertemanan dengan empat sepupunya dan dua anak menteri. Namun, tak lengkap rasanya jika romansa tak dihadirkan di dalamnya dan bukan Jane Austen namanya jika hanya menghadirkan kisah romansa biasa. 
 
Nyatanya, perputaran rasa suka di antara pertemanan itu sangatlah rumit dan berbelit. Setelah melalui berbagai drama dan masalah, pada akhirnya, beberapa dari mereka berhasil menjadi sepasang kekasih, sedangkan beberapa lainnya harus menerima kenyataan bahwa pasangan hidup mereka tak berada di lingkungan itu. 
 
Tentu, kerumitan alur cerita dari tiap pasangan diintegrasikan dengan unsur cerita tak terduga, salah satu rahasia Jane Austen dalam membuat pembaca terlarut dan menyatu dengan dunia yang diciptakannya.
 
 
Sense and Sensibility (1811)
 
Sense and Sensibility / Foto: Courtesy of Amazon

Sense and Sensibility / Foto: Courtesy of Amazon

 
Makna dari Sense and Sensibility, yaitu rasa yang berasal dari akal sehat dan kepekaan secara emosional, dibawa oleh dua karakter utama, yaitu Elinor dan Marianne. Keduanya adalah kakak-beradik yang, seperti Fanny dari Mansfield Park, lahir dari keluarga tidak mampu. Intro mengenai keluarganya dilanjut dengan eksplorasi hidup baru kedua wanita itu yang kemudia dipertemukan dengan pilihan pria masing-masing. Dengan menimbang segala kelebihan dan kekurangan sang calon pasangan, keduanya mengalami masa sulit untuk menentukan sosok terbaik dan yang paling tepat untuk diri mereka. 
 
Sebagai novel rilisan pertamanya, Jane Austen menaruh perhatian cukup besar pada intrik kelas sosial yang dihadirkannya pada sang novel. Tulisannya itu dipenuhi pengamatan cerdas serta penciptaan karakter yang tepat dan memadai sehingga cerita mengalir dengan sempurna. Para kritikus pun kerap berpendapat bahwa karya inilah yang mengantarkan Jane Austen pada ketenarannya pada masa itu, karya yang mampu menonjolkan bakat luar biasa yang dimiliki.
 
Lady Susan (1871)
 
Lady Susan / Foto: Courtesy of Amazon

Lady Susan / Foto: Courtesy of Amazon

 
Jika dilhat dari tanggal rilisnya, tampaknya ada kejanggalan yang menyertainya, mengingat Jane Austen wafat pada tahun 1817. Nyatanya, karya tersebut telah diselesaikan oleh sang novelis pada tahun 1794, namun baru berhasil diterbitkan puluhan tahun setelahnya. Berbeda dari yang lain, Lady Susan berbentuk epistolary novel, di mana rangkaian dokumen dari sudut pandang karakter digabungkan. Walau dapat memberi kesan yang membingungkan, Anda akan menemukan kekayaan karakter dari tiap tokoh, membuat sudut pandang menjadi cenderung subjektif. 
 
Dengan tegas, Jane Austen menggambarkan Lady Susan sebagai sosok wanita yang dengan tekad kuat menjalankan hal-hal yang ia inginkan, terlepas dari deruan pandangan negatif orang-orang terhadapnya sebagai seorang janda yang mendekati pria yang telah beristri. Walau terkesan penggoda, Lady Susan menjadi contoh wanita yang dirugikan oleh pola pikir masyarakat pada zaman tersebut, di mana jati dirinya dibangun oleh omongan orang terhadapnya, khususnya statusnya sebagai janda. 
 
Pada dasarnya, Lady Susan menaruh kenyataan mengenai nasib para wanita pada masa tersebut yang dikelilingi oleh masyrakat yang lebih fokus pada isu dan statusnya, daripada bakat atau keahlian yang dimiliki. 

Pilihan di atas semoga menjawab kebutuhan Anda sebagai pencinta novel sastra klasik.
 

(Penulis: Fatimah Mardiyah; Foto: Courtesy of Amazon)