Setelah dipertemukan untuk sesi foto majalah Harper’s Bazaar Indonesia bulan Maret, tepatnya Movie Issue, Dian Sastro dan Lukman Sardi kembali berada dalam satu ruang dan waktu.
Masih untuk edisi yang sama, namun kali ini Bazaar mengajak Dian untuk menggali pengertian progres perfilman negeri ini dan juga pengaruhnya pada Lukman Sardi. Simak wawancaranya di bawah ini.
Harper’s Bazaar (HB): Kapan kali pertama kalian bertemu?
Dian Sastro (DS): Kapan ya? Sepertinya memori pertemuan pertama kita berbeda.
Lukman Sardi (LS): Pertama kali lihat Dian waktu jemput Mita di rumah Dian, kenalan. Tapi kan tidak pernah ngobrol atau apa. Benar-benar notice Dian waktu main film.
DS: Lo mulai main film kapan berarti?
LS: Dulu sekali mulai di umur tujuh tahun. Enam tahun malah! Lalu berhenti lama dan kembali lagi di tahun 2004.
DS: Itu berarti eranya siapa?
LS: Kalau sutradara lagi zamannya Wim Umboh, Sjuman Djaya, Teguh Karya. Teman-teman ayah saya. Hingga akhirnya saya main berakting pertama kali di filmnya Wim Umboh. Saat itu beliau sedang membutuhkan pemain anak laki-laki untuk menjadi anaknya Cok Simbara di film Kembang-Kembang Plastik. Lalu lanjut hingga delapan film dan berhenti saat SMA.
DS: Film Indonesia juga sudah mulai redup saat itu.
LS: Film yang diproduksi saat itu juga tidak ada yang untuk peran anak-anak. Setelah puluhan tahun akhirnya saya main lagi di film Gie.
DS: Cerita dong, apa yang berbeda ketika kembali ke dunia film yang sedang bangkit kembali? Apa yang beda dari kedua zaman itu?
LS: Sebenarnya saya tidak pernah kepikiran untuk kembali ke film.
DS: Kenapa?
LS: Karena saat itu saya sedang bekerja di Cikal sebagai manajemen dan guru. Selang satu tahun, saya mendapatkan tawaran untuk casting di film Gie. Akhirnya saya berkunjung ke tempat Mira Lesmana. Di sana saya diminta untuk membaca bukunya terlebih dahulu. Film Gie itu merupakan kedua kali saya bekerja dengannya. Sinetron Enam Langkah di tahun 1994 adalah yang pertama. Akhirnya saya berperan sebagai Herman Lantang di Gie. Saat itu, ketika saya sedang berbincang dengan Mira, Riri Riza dan Yuri Datau. Di momen tersebut saya sadar bahwa secara tidak langsung Mira sudah menarik saya kembali ke passion saya.
DS: Seperti perkataan kalau jodoh tidak akan kemana, ya? Begitukah panggilan Anda di dunia ini?
LS: Betul. Itu dan juga pertaruhan. Setelah mengundurkan diri dari Cikal, saya memutuskan untuk fokus di film. Setelah Gie, saya ikut dalam filmnya Rudi Soedjarwo yang berjudul 9 Naga. Nah, dari situ saya tidak berhenti. Berlanjut ke Berbagi Suami, Jakarta Undercover, Nagabonar Jadi 2, dan seterusnya.
DS: Hingga akhirnya ada sebutan khusus untuk Lukman, yaitu aktor segala film. Istilah tadi menjadikan dia sebagai lambang perfilman Indonesia, sebagai lambang keaktoran.
LS: Makanya saya selalu bilang i’m a lucky bastard. You know why? Setelah lama tidak main film, saya kembali dalam film Gie, di mana orang-orang di balik layarnya adalah mereka yang membangkitkan film Indonesia. Berlanjut ke karakter yang berbeda sekali di 9 Naga, seorang pembunuh bayaran yang dalam sekali karakternya, lalu menjadi pria beristeri empat di Berbagi Suami. Ketiga film tadi membentuk karakter kuat dalam diri saya. Gie memberikan saya pelajaran yang benar mengenai reading, workshop, riset, dan observasi. Di sana saya berperan sebagai Herman Lantang, seseorang yang masih hidup, sahabatnya Gie. Mau atau tidak, saya harus observasi dia, ngobrol sama dia, sehingga menjadi kebiasaan.
DS: Apa yang berbeda dari cara sutradara yang tadi disebut dengan generasi zaman sekarang?
LS: Jelas beda sekali. Dulu, sutradara tidak ada monitornya. Mereka sangat mempercayakan sang Director of Photography (DP). Viewfinder juga dulu hanya hitam putih. Lalu, dubbing. Sekarang, dubbing dilakukan untuk kepentingan mengkoreksi. Kalau dulu, dari awal hingga akhir film pasti menggunakan dubbing, karena tidak ada direct sound. Sekitar satu bulan saat selesai syuting, akan ada panggilan untuk dubbing. Proses ini dilakukan di studio seperti PFN (Produksi Film Negara) yang menggunakan layar besar. Saat menjalani ini semuanya harus pas dan sync. Kadang-kadang pulang sekolah langsung ke tempat sana, paling sama bokap itu diizinin hingga jam tujuh. Dubbing itu prosesnya beberapa hari. Yang beda adalah mereka itu proses pra-produksinya panjang. Latihan itu harus serius dan detail karena kan seluloid, kalo salah melulu, kan mahal ya? Semua orang itu berusaha agar kesalahannya jangan terlalu banyak karena seluloid itu.
"I'm a lucky bastard." - Lukman Sardi
DS: Bagaimana Anda menggambarkan hubungan antara kita, as a professional and as friends. Gimana sih mas? Karena kalo saya melihatnya itu sangat questionable dengan kesibukan kita yang beragam kita masih bisa maintain pertemanan dan professional relationship.
LS: Kalau kita kan kenal, lalu kerja berbarengan di 7/24, di mana kita berdua lagi sibuk-sibuknya. Tapi menurut saya yang menggambarkan hubungan kita itu best friend.
Sambil tertawa Dian lalu menjawab dengan cepat.
DS: Kalau best friend waktu di hubungi lewat WhatsApp itu tidak butuh waktu satu atau dua jam untuk membalas.
LS: Menurut gue teman baik itu it's not about WhatsApp.
DS: Ngerti, tapi ga minggu depan juga balasnya!
LS: Gini, kita punya prinsip yang berbeda akan konsep teman baik. Saya modelnya gini, best friend itu care. Gue peduli dengan teman-teman gue, tapi juga punya teman-teman yang susah ketemu dan sama-sama sibuk tapi tetap care.
DS: Oke, kalo profesional?
LS: Melihat dari karier, Anda itu berjalan dengan proses yang luar biasa. Pernah berhenti, dan saat kembali lagi memiliki komitmen yang solid. Apalagi sekarang juga berperan sebagai produser, berarti Anda juga mempunyai niat untuk untuk mempelajari segala hal tentang film. Saya yakin ini bukan titik terakhir Anda belajar dan berkarya di film, akan ada terus.
DS: Nah, sekarang gantian. Saya melihat mas Lukman itu sebagai family-friend yang selalu ada setiap lebaran, paham kan? Kita mulai punya hubungan profesional saat kerja di film 7/24. Itu adalah film pertama setelah saya setelah hiatus enam tahun. Sempat saya merasa itu titik saya udahan. Sebelum 7/24, saya tidak pernah berpikir untuk kembali lagi ke film. Setelah syuting yang hanya dua minggu di studio, saya juga melihat perubahan industri ini. So, thanks to you, karena jika saya tidak main di 7/24, kemungkinan saya belum kembali lagi di dunia perfilman. Tidak akan main Ada Apa Dengan Cinta 2. Dari situ juga lanjut ke Kartini, The Night Comes for Us, Aruna & Lidahnya. Di momen itu, saya mulai menemukan hal yang bisa saya gunakan ke dalam film juga. Akhirnya saya mulai menjajaki kesempatan producing. Dan sepertinya tidak mau membatasi itu aja, saya mau belajar menulis juga, direct juga.
LS: Benar kan, tidak akan berhenti di situ kalo Dian.
DS: Lanjut ya, kenapa sih melihat film adalah dunia lo, dan kenapa seni peran?
LS: Dulu saya itu belajar musik, sampai ada di titik cinta sekali dengan musik. Namun tekanan dalam diri saya itu sangat tinggi untuk menjadi seorang anak Idris Sardi. Setiap ujian di sekolah, semua orang ekspektasinya tinggi. Meskipun tidak pernah dapat nilai jelek, saya selalu bertanya apakah ini benar yang ingin saya lakukan. Akhirnya saya juga merasa beban terlalu tinggi di dunia musik. Kalau mau main biola, levelnya harus sama dengan bokap atau di atasnya dia. Karena tidak mungkin saya di bawahnya dia, saya akan selalu menjadi bayang-bayang dari bokap kan. Makanya seperti yang saya katakan tadi, saya menemukan passion di sini. Saya diperkenalkan ke dunia film lagi oleh Mira Lesmana, Riri Riza, dan lainnya. Saya ketemu dengan orang yang tepat. Kalau waktu itu tidak ketemu mereka, mungkin sekarang saya masih kerja di tempat lain.
DS: Apa yang ditemukan di film akhirnya membuat tidak bisa lepas?
LS: Saya menikmati prosesnya. Mulai dari riset, explore, hingga ketemu banyak orang. Saya menyebutnya dengan nafkah batin. Saya bisa mendapatkan banyak hal hanya dengan duduk di lokasi syuting dan mengamati orang. Makanya ada satu titik di mana saya merasa, kalau saya berhenti di dunia film, itu sama saja seperti saya berhenti bernafas. Ini semua seperti nafas saya setiap hari. Sudah segitunya. Saya juga berterima kasih dengan ayah saya. Karena beliau bilang, begitu saya memilih satu hal, saya harus bertanggung jawab terhadap pilihan tersebut. Itu juga membawa saya untuk selalu belajar. Dia juga berkata, di seni itu tidak ada yang nomor satu. Karena setiap orang memiliki pendapat yang berbeda-beda. Makanya jangan sombong.
DS: Film sebagai seni. Di keluarga Anda, art is in the blood. Menurut Anda, kenapa seni itu penting untuk orang banyak?
LS: Susah mendeskripsikannya karena itu hal yang abstrak. Menurut saya, seni itu membuat jiwa saya utuh. It feels your heart and soul.
"Dia (Idris Sardi) juga berkata, di seni itu tidak ada yang nomor satu. Karena setiap orang memiliki pendapat yang berbeda-beda. Makanya jangan sombong." - Lukman Sardi
DS: Menurut Anda, apa arti aktor?
LS: Life. Kehidupan untuk saya. Menjadi seorang aktor adalah eksplorasi yang tidak ada habisnya, makanya saya juga ikut seni teater.
DS: Gue ingat kapan pertama kali kita kerja bareng! Justru waktu di teater! Inget ga?
LS: Yang dengan mba Leila S. Chudori. Ingat!
DS: Jadi, waktu itu Leila S. Chudori mau meluncurkan novelnya yang berjudul 9 dari Nadira. Lalu, cara dia meluncurkan buku tersebut adalah dengan pertunjukan kecil, fragment dari buku itu. Itu pertama kali saya tampil di teater.
DS: Balik lagi, apa artinya piala untuk Anda?
LS: Piala itu bonus. Bukan berarti tidak penting. Piala adalah sebuah motivasi untuk menjadi lebih baik lagi, bukan tujuan akhir. Kembali lagi ke yang tadi, saya main film untuk menafkahi batin saya.
DS: Anda kan pernah jadi sutradara. Seberapa banyak insting sebagai aktor ternyata berguna saat Anda sedang men-direct atau sebaliknya?
LS: Seperti berdansa, semua itu ada waktunya. Akting adalah aksi dan reaksi. Asal tahu ritmenya, jadi sama sama enak. Maksud saya, aktor itu tidak hanya jago akting. Hal-hal seperti tadi juga menjadi bagian dari pekerjaannya aktor. Director kasih visinya, dan kita sebagai aktor mengikuti arahan dia. Dari sana lah kita tau ritme kita tadi.
DS: Bagaimana cara Anda menetralisir diri? Pernahkah kehilangan Lukman Sardi-nya?
LS: Pernah di beberapa film. Sekarang terbantu dengan hadir ya anak-anak. Momen bertemu mereka itu bisa melunturkan peran manapun secara perlahan.
DS: Apakah masih ada peran yang ingin Anda mainkan dan belum kesampaian?
LS: Ada, tapi sudah dalam proses.
DS: Apa harapan untuk film Indonesia dan generasi muda yang tertarik dengan seni peran?
LS: Menurut saya, mereka adalah orang-orang yang tidak seharusnya banyak mengeluh. Semuanya kini sudah serba mudah. Ini adalah momen mereka untuk berkembang tanpa batas. Hanya kemauan dan mental yang diperlukan untuk maju. Untuk para generasi muda, pekerjaan seorang aktor itu lebih dari akting. Aktor patut memiliki wawasan yang luas, empati, kemauan beradaptasi, mau berkembang, jangan cepat puas, dan yang terpenting adalah jaga sikap.
-
Portofolio ini:
Keseluruhan busana, Louis Vuitton
Makeup: Angelika Samara
Hair: Desy Untadi
Retoucher: Ragamanyu Herlambang
Pengarah gaya: Astrid Bestari