Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Bicara Soal Kestabilan Karier Hingga Jodoh Bersama Maudy Koesnaedi & Maudy Ayunda

Definisi "jodoh tidak akan ke mana" yang diperjelas secara daring oleh Maudy Koesnaedi dan Maudy Ayunda untuk film Losmen Bu Broto punya makna mendalam.

Bicara Soal Kestabilan Karier Hingga Jodoh Bersama Maudy Koesnaedi & Maudy Ayunda
Maudy Koesnaedi dan Maudy Ayunda untuk Bazaar Indonesia difoto oleh Andre Wiredja - NPM Photography

Harper’s Bazaar Indonesia (HBI): Kami penasaran, momen apa yang mempertemukan Maudy Koesnaedi dan Maudy Ayunda?

Maudy Koesnaedi (MK): Sri, kita itu ketemu waktu acara UNICEF bukan, sih?

Maudy Ayunda (MA): Betul. Waktu itu aku masih berumur sepuluh tahun. Aku ingat sekali mama tarik aku, lalu memperkenalkan ke Maudy Koesnaedi.

MK: Terus aku bertanya, “Ini yang main di film Mas Garin (Nugroho), ya?"

MA: Itu membekas banget. Lalu, Ibu kan rambutnya khas banget. Rambutnya panjang, hitam. Ketemu lagi itu kapan ya, Bu? Habis project ini ya?

MK: Belum. Kita ketemu di Om Iwan Fals. Aku jadi MC, kamu nyanyi. Kita sama-sama pakai kebaya.

MA: Oh, iya. Benar.

MK: Tapi enggak mengobrol banyak. Foto bareng aja. Abis itu baru deh (Losmen) Bu Broto.

MA: Itu pun ketemunya di Zoom! Karena waktu itu aku lagi kuliah di luar negeri. Tapi harus reading, dan memang lagi pandemi juga. Jadi semua reading online. Jadi, mau reading, mau scene berantem pun juga online sih.

MK: Iya, agak memusingkan, sih. Drama se-intense itu, kita reading-nya by Zoom. Dan ketemunya H-2 atau H-1, yang kita blocking di lokasi.

HBI: Waktu membangun chemistry online, lebih sulit dibanding kalau ketemu tatap muka?

MA: Pastinya. Karena kalau di Zoom itu ada sedikit lagging ya. Itu yang pertama. Terus, kita enggak beneran bisa eye contact. Apalagi kalau kita latihan adegan drama di atas meja makan. Itu ada 4-5 orang. Bayangin dengan lag, no eye contact, dan enggak face to face, energi yang kita berikan juga terkadang enggak bisa membaca satu sama lain. Timbal baliknya juga susah. Tapi menurut aku, waktu latihan kita itu cukup. Untungnya mungkin karena di adegan yang berat itu ada gap ya, antara Ibu dan Sri. Jadi adanya emotional gap pun masih berguna dalam konteks itu. Karena memang lagi merasa “jauh”.

MK: Itu masih mending daripada tidak reading sama sekali. Tapi memang dengan Zoom itu yang lebih penting menurut aku adalah memang membangun karakter masing-masing, sih. Bu Broto itu seperti apa, ke Sri itu bagaimana, ke Pur itu gimana. Lebih banyak diskusi. Dan ternyata saat ketemu H-2, sudah “dapat”. 

HB: Apa daya tarik industri ini sehingga Anda berdua mau berkarier di dalamnya?

MA: Ibu dulu. Soalnya aku berangkat dari musik.

MK: Kalau aku sama sekali enggak ada bayangan bisa terjun ke industri film. Bahkan, sinetron yang membawa nama Maudy Koesnaedi menjadi Zaenab di tahun 1994 pun tidak dalam bayanganku. Jadi pada dasarnya aku senang sekali kalau dikasih kesempatan belajar. Ternyata kesempatan membawakan hal-hal yang seru dan memberi banyak pengalaman. Tapi, to be honest, tidak punya bayangan bahwa aku akan jadi aktris, itu enggak ada. Semua learning by doing sih, berusaha belajar, dengerin apa yang diarahkan. Makanya semakin banyak main dengan orang lain, teman-teman lain, semakin membuat aku belajar lebih banyak lagi. Seperti bermain dengan Maudy Ayunda dan Putri Marino. Banyak hal yang bisa aku dapat untuk aku “bawa” ke Bu Broto.

MA: Aku mirip sekali dengan Ibu. Awalnya banget aku masuk ke dunia entertainment itu karena film. Di sekolah ikut teater. Kalau alasan suka teater itu memang suka team work. Kerja bareng, ramai-ramai, itu sesuatu yang sangat kreatif dan juga intelektual. Menurutku acting sangat intelektual karena kita harus bisa memosisikan diri sebagai karakter tersebut, dan harus membangun konteks dan dunia dalam kepala kita.

MK: Jadi, setiap project, seperti kemarin Losmen Bu Broto itu hangat, seru.

Maudy Koesnaedi dan Maudy Ayunda
Maudy Koesnaedi dan Maudy Ayunda

HBI: Film tersebut disambut dengan baik sekali oleh penonton Indonesia. Bagaimana dengan para pemainnya sendiri? Milestone apa yang didapat dari film ini?

MA: Pokoknya ini pertama kali aku menjadi nominasi salah satu kategori Piala Citra. Lalu soundtrack yang aku tulis juga dinominasikan. Dari sisi itu, film ini memberikan aku kesempatan untuk mengasah kedua kegemaran aku, bercerita melalui musik dan acting. Gimana kalau Ibu?

MK: Milestone buat aku secara pribadi adalah memberanikan diri untuk keluar rumah (pada saat pandemi). Dan ketika melihat hasilnya lebih happy lagi. Merasa keputusan yang diambil itu benar. Dengan berani mengambil kesempatan ini, belajar menjadi lebih dewasa. Situasi yang terjadi pada saat itu, menurutku sangat menyenangkan.

MA: Iya. Aku kepikiran, kalau buat pemain, cerita itu ada yang lebih memberi ruang dan ada yang tidak. Dan aku merasa cerita ini, konteks keluarga dan Bu Broto, dinamika antara tiga perempuan ini memberikan ruang untuk aku, Ibu, dan Mbak Pur untuk berkarya, bermain dalam dinamika antara manusia.

MK: Soalnya karakter itu, terkadang juga jodoh-jodohan ya. Kadang mau tapi enggak dapat. Yang menyenangkan juga adalah di lokasi syuting itu, akhirnya, aku dan Sri itu bisa berbincang yang mengenai pengalaman kita waktu di posisi Sri. Ya, Sri, ya? Itu sebenarnya membantu untuk hubungan ibu dan anak.

MA: Waktu itu aku banyak nanya ke Ibu juga. Soalnya kan aku baru mau menikah. Jadi aku ingat sih kita sempat berbincang soal itu.

HBI: Maudy (Ayunda) baru menikah. Maudy (Koesnaedi) sudah menikah. Ada yang saling ditukarkan barangkali? Mungkin dalam karier atau petuah?

MA: Aku ada cerita enggak sih waktu itu mau nikah, atau belum?

MK: Enggak. Kamu tidak cerita mau nikah, hanya minta pandangan aku soal menetapkan pilihan kita. Karena, kadang-kadang orang tua ada pandangannya sendiri ingin apa. Aku cerita pengalamanku dengan Erik, suamiku. Ibuku itu tidak pernah terbayang punya menantu bule. Terus aku cerita ke Sri, bagaimana awalnya, bagaimana meyakinkan keluarga. Terus, apa yang kita berdua lakukan, gitu sih. Tapi belum sampai ke kehidupan setelah menikah.

MA: Iya, konteksnya waktu itu masih yang dalam proses bagaimana menetapkan hati, menetapkan pilihan. Masih itu topiknya. Namun karena kita ada elemen perbedaan budaya. Jadi relate. Aku sempat bertanya-tanya. Jadi lumayan dapat petuah-petuah.

MK: Iya. Ketika aku di posisi Maudy (Ayunda) sebelum menikah, itu ngapain. Terus, sekarang jadi ibu bagaimana.

MA: Oh, waktu itu Ibu juga cerita soal your own role as a mother now terus dilema-dilemanya. Jadi secara enggak langsung kita sempat mengobrol dari kedua sisi, anak dan ibu. Lalu konteksnya kita juga anak dan ibu.

MK: Iya. Tapi sekarang, bagaimana Sri?

MA: Aku senang banget sih.

MK: Kelihatan sih senang banget.

MA: Aku merasa lebih independent. Aku enggak tahu juga ya, cuma ternyata aku ada personality yang “keluar” dari diriku. Aku merasa lebih lepas.

MK: Iya aku melihat itu pas kamu jadi Sri. Kamu bermain jadi Sri itu kamu jujur sekali. Terus dengan langkah-langkah berikutnya. Akhirnya berani menikah, membuka diri, dan memperkenalkan. Itu sudah benar-benar Maudy Ayunda gitu, yang memang kamu pilih.

MA: Hah, memangnya iya ya?

MK: Aku sih melihatnya seperti itu, Sri. Enggak ya? Kamu pacaran lama juga kan kamu enggak kasih tahu ke siapa-siapa, enggak boleh kasih tahu.

MA: Iya.

MK: Dan, akhirnya kamu sudah nikah, sudah memberi tahu. Itu aku merasanya kamu seperti enjoy yourself as Maudy Ayunda yang kamu bentuk sendiri. Kalau Ibu melihatnya sih Sri. Sorry kalau aku salah.

MA: Enggak, justru aku penasaran. Karena benar itu yang aku rasakan. Jadi kalau Ibu ngomong gitu, aku merasa tervalidasi. Ternyata pada saat kita jujur dalam hidup, dan kita merasa nyaman, akhirnya itu berpengaruh ke karya kita, yang keterbukaan dan kejujuran itu.

MK: Like you said once, waktu kita lagi Zoom.

MA: Aku mau tanya ke Ibu. Waktu itu aku sempat berdiskusi ke Kak Hagai soal artikel ini. Dan salah satu topik yang buat aku tertarik adalah sustainability di industri ini. Kita sempat bilang bahwa selalu ada pressure untuk mengikuti tren atau untuk viral atau untuk ambil project yang terjamin akan populer, terlepas akan cocok atau tidak sama kita. Ada elemen itu, dan juga keinginan untuk bisa sustain, bisa memilih atau lebih selektif sama project yang lebih autentik sama diri kita sendiri. Nah, Ibu kan sudah lebih berpengalaman dalam industri ini. Menurut Ibu dalam memilih project itu bagaimana, sih?

MK: To be honest, waktu aku nikah, aku bertanya sama suamiku, “Apakah aku harus berhenti syuting?” Lalu suamiku bilang, kalau masih punya kesempatan, ditawarin sama produser, suka proyeknya, ya dijalankan. Tapi tetap selalu diskusi sama suami. Aku lumayan picky, jadi setelah menikah itu selalu berpikir apakah ini bermanfaat untuk aku, memberi dampak bagi orang lain, bagaimana orang lain akan melihatnya. Lebih banyak pertimbangan. Bukan overthinking, tapi meyakinkan diriku bahwa itu aman, baru habis itu aku bisa all out. Contohnya Ave Maryam. Itu sangat bukan Maudy Koesnaedi. Itu pertimbangannya banyak sekali, lama banget. Itu menjadi hal yang membuat aku kalau memang iya, ya harus bagus banget. Kalau enggak, jangan sampai menyesal. Tapi dari segala pertimbangan, yang tidak terpikir adalah apakah itu akan berpengaruh pada karierku. Jadi, kalau memang aku ok, dan memberikan citra yang buruk itu tidak ada dalam pertimbangan aku. Suamiku yang selalu mengingatkan bahwa orang-orang melihat aku dengan image yang baik. Tapi aku merasa bahwa aku manusia, yang punya emosi, yang punya pikiran, yang kadang tidak sesuai dengan harapan dan potret masyarakat. Jadi aku tidak berpikir apakah ini berdampak, nanti aku jadi tidak laku. Enggak ada. Pertimbanganku lebih ke kemampuan dan apakah bagus untuk aku dan dampak ke lingkungan. Dan juga tanggapan anakku terhadap karakter yang telah aku perankan. Itu aja sih, jadi kalau soal sustainability, enggak ada. Tidak pernah terpikir ke sana. Jadi, aku malah harus tanya ke kamu Sri.

MA: Aku merasa terinspirasi, Ibu ada idealisme yang cukup kental. Jadi, waktu memilih make sure everything is right. Karena yang menurutku aneh juga, dari dulu aku juga tidak pernah terpikir soal sustainability. Justru sekarang lebih terpikir. Kalau dulu hanya berpikir suka atau enggak, cocok atau tidak. Aku merasa bisa add value atau enggak ke film ini. Hanya itu. Aku ingat waktu mau pergi sekolah. Berkali-kali, orang-orang, mau itu dari manajemen atau orang sekitar bilang, “Nanti enggak sayang kariernya ditinggalin selama tiga tahun?” Jadi, kalau di bawah payung career sustainability sebenarnya aku suka nyeleneh. Aku tetap menjalankan apa yang pada saat itu nyaman. Atau apa mungkin karena kita tidak terlalu memikirkan sustainability, jadinya it allows us to be more patient juga ya Bu? Dalam arti, sabar untuk peran-peran yang memang berjodoh dan meant to be for us juga. Karena ada elemen yang mungkin lebih selective itu.

MK: Iya. Makanya kalau ditanya resep, aku suka bingung. Karena tidak ada. Hanya aku merasa bersyukur masih dikasih kesempatan.

HBI: Satu pertanyaan terakhir. Dari sudut pandang aktor, what made a great movie?

MK: Wow. A lot of things. Aku merasa naskah itu penting. Karena bisa ide ceritanya oke, namun saat dituangkan dalam naskahnya kurang enak. Kemudian, cast, sutradara, pemain itu bisa tergantung sih. Kalau pemainnya bisa membangun chemistry harusnya bisa membangkitkan karakter. Lalu dari semua elemen, DOP untuk gambar yang menghidupkan, dan semua musik itu. Elemen-elemen itu saling menghidupi. Sulit lho kalau memilih satu. Tapi kalau emang harus banget memilih, mungkin naskah.

MA: Aku juga setuju. Sepertinya naskah, ceritanya, dan the way the story is being told itu penting. Aku tambahin saja. Kalau disuruh pilih satu, film yang bagus itu film yang evoking emotions mungkin ya. Film yang kalau kita tonton kita …

MK: Hanyut.

MA: Kita hanyut, kita ikut merasakan sesuatu. Obviously, rasa itu beda-beda. Film horor mungkin KPI-nya adalah rasa takut. Untuk film-film lain itu mungkin rasa geli, rasa tertawa, dan sebagainya. Tapi kalau kita sudah berhasil menyampaikan rasa dari sebuah scene, dari sebuah karya film, kayaknya itu kalau untukku.

Portofolio ini:
Fotografi oleh: Andre Wiredja - NPM Photography
Fashion Editor: Michelle Othman
Digital Editor: Sabrina Sulaiman
On Maudy Koesnaedi: Keseluruhan busana:Tangan Prive
Anting:Tulola
Makeup: Atika Sakura
Hair: Edy Hairstylist
On Maudy Ayunda
Keseluruhan busana dan stockings: Toton
Coat dan sepatu: Didi Budiardjo
Makeup: Sissy Sosro
Hair: Eva Pical
Asisten fotografer: David Andriana
Artikel orisinal ini muncul di Harper's Bazaar Indonesia 2023, Movie Issue.