Banyak kritikan tentang “pansos” (panjat sosial) atau bahasa kerennya “social climber”. Benarkah yang mengkritik tak pernah melakukan “pansos”? Menurut saya, “pansos” adalah realita hidup yang dialami oleh hampir semua orang di dunia. Karena setiap manusia selalu ingin memiliki pencapaian yang lebih baik, termasuk dalam hal image dan status. Walau sudah terlahir dengan status sosial yang tinggi, tetap saja ada keinginan untuk menggapai yang lebih lagi.
Jadi penghakiman atas “pansos” sebenarnya sama saja dengan menunjuk diri sendiri. Walau bibir berkata tidak, tapi keinginan untuk mendapat pengakuan tetap terselip di hati.
Pijakan “pansos” masing-masing orang pun berbeda. Ada yang menganggap selebriti prestisius. Ada yang menganggap sosialita bergengsi. Ada yang menganggap pejabat bermartabat, ada yang menganggap ningrat terhormat.
Jadi tiap orang pun melakukan “pansos”-nya dengan cara dan motivasi yang berbeda. Ada yang ingin tampil di majalah, ada yang “pansos” untuk masuk TV. Ada juga yang “pansos” agar populer di media sosial, ada yang “pansos” untuk “kalangan sendiri” saja. Memuaskan hati saja, merasa bangga dan secure jika bisa diterima oleh kalangan yang dianggap bergengsi
Karena motivasinya berbeda, beda pula jalan yang dipilih. Cara paling mudah memang merapat dengan sosok yang sudah ternama dan terpercaya di bidangnya. Caranya? Macam-macam. Bisa pilih yang instan dengan bumbu norak dan halusinasi. Atau pilih yang elegan tapi pastinya butuh lebih banyak waktu dan usaha.
Jalur kilat yang paling banyak dipakai adalah foto bersama sosok ternama dan diunggah di Instagram dengan caption semi halusinasi sampai super halusinasi, seolah berteman dekat. Foto bareng berbagai sosok tenar ini pilihan yang paling mainstream. Hasilnya? Lumayan, terutama karena di Indonesia, warga internet cukup lugu dan mudah kagum.
Ada juga yang membabi buta mendatangi berbagai event untuk bersosialisasi. Merapat ke berbagai media gaya hidup. Bahkan penghargaan pun ada yang berbayar. Saya sering banget mendapat surat elektronik yang menawarkan penghargaan asal bersedia membayar sejumlah uang.
Tentunya untuk kampanye dalam sosialisasi, perlu juga modal tongkrongan. Kalau perempuan pastinya seputar tas, sepatu, baju, perhiasan, dan jam tangan. Istilahmya, ada starter kit-nya agar saat berfoto terlihat keren, elit, dan penting.
Sayang beribu sayang, ada yang terlupa. Attitude atau sikap alias perilaku dan selera. Dandanan sudah mentereng tapi tak disertai dengan sikap yang memadai. Terlihat sekali hasrat norak dan ingin eksis. Walau new comer dan hati sudah tidak tahan buat tampil, tapi please, "jaim" (jaga image) sedikit. Rem hasratnya, jika tak ingin terlihat vulgarnya.
Selera memang tak bisa dibeli. Tapi bisa dipelajari. Over dress memang mencuri perhatian. Tapi akan diikuti dengan bisik-bisik kritik di belakang. Percayalah, makeup, hairdo, dan outfit sepantasnya saja. Tak perlu berlebihan. Dan pastikan, barang yang dipakai asli, bukan kaleng-kaleng.
Oh ya, rajin-rajin baca dan menonton hal-hal yang informatif, karena cerdas itu penting. Agar kalau ngobrol ada isinya. Belajar cara duduk, cara bicara, cara menyapa yang benar. Tata krama dan etika.
Kalau datang ke acara, hargai host dan event-nya. Tepat waktu, duduk manis kalau acara sudah dimulai. Masih ingin foto? Nanti sesi foto bisa dilanjutkan kalau acara selesai. Bertepuk tangan pada waktu yang pas juga merupakan bentuk penghargaan.
Jangan sibuk selfie apa lagi menerobos demi berfoto dengan sosok ternama. Duduklah di tempat yang sudah disiapkan. Tak perlu memaksa duduk di front row, apalagi menduduki kursi orang. Kalau datangnya terlambat, dimohon pasrah duduk di belakang.
Itu etika paling dasar dalam pergaulan. Topik obrolan harus dipelajari. Bicarakan topik yang tepat di saat yang pas. Ketulusan itu penting, karena hal ini membawa energi positif yang akan dirasakan oleh orang sekitar kita.
Seorang sahabat saya, penulis senior, Dwi Sutarjantono, punya perumpamaan yang saya sangat suka: mendaki bukit dengan high heels. Tak mudah memang... butuh ketahanan, keseimbangan, dan keterampilan.
Bagaimana dengan Anda?
(Foto: Ryan Tandya for Harper's Bazaar Indonesia; Fashion editor: Michael Pondaag)
- Tag:
- Wanda Ponika