Saya tak pernah bosan membahas media sosial, karena media sosial benar-benar mengubah tatanan kehidupan masyarakat dari segala umur dan semua kalangan. Melihat media sosial rasanya sepenting mengecek jawaban WhatsApp dari klien. Apa yang dilihat dari media sosial? Yang paling sering tentunya “mengintip” apa yang terjadi di antara orang-orang yang kita kenal.
Mereka sedang dimana? Sedang di event apa? Apa ada yang ulang tahun? Di mana pestanya? Apa dress code-nya? Siapa yang hadir? Lagi ada arisan? Lagi pada ngumpul-ngumpul kuliner? Atau lagi jalan-jalan ke luar negeri? Sama keluarga atau sama geng? Pakai baju apa mereka selama jalan-jalan? Makan apa saja, menginap di mana? Seberapa keren jalan-jalannya? Fotonya bagus tidak? Pakai fotografer profesional atau modal kamera smartphone? Fotografernya cari di lokasi atau boyong dari Jakarta? Oh itu toh suaminya? Anaknya sudah gede ya. Kok anaknya tidak keren seperti mamanya? Mukanya kok beda? Atau mamanya sudah operasi plastik? Kok tidak pernah posting foto suami? Itu lagi di event ada tokoh penting siapa aja? Kok bisa dia diundang? Acaranya bagus tidak? Rame tidak ya? Banyak medianya? Oh itu di pesta wedding. Kerenkah pestanya? Pakai baju apa pengantinnya? Mamanya seberapa cetar? Kompak tidak sama besan? Dekorasinya ala Cinderella atau bagaimana?
Itu berbagai pertanyaan yang berkecamuk dalam hati. Sungkan diucapkan tapi apa daya, tak tahan untuk tidak penasaran. Perempuan memang ditakdirkan untuk punya kadar kepo lebih banyak dari pada laki-laki.
Jika pertanyaan selanjutnya yang membatin: "Kok aku tidak diundang ya?"; "Apa aku kurang penting?"; "Besok atau minggu depan ada acara apa?"; "Bagaimana caranya agar aku diundang?"
Artinya Anda ada dalam fase FOMO, fear of missing out. Takut ketinggalan, takut tidak diajak, khawatir kurang eksis,
Sebenarnya fenomena ini sudah ada sejak dulu, hanya sekarang semakin subur dan meledak dengan adanya media sosial. Karena setiap orang bisa meng-update sikon terbarunya langsung lewat Instagram story dan live di Instagram. Dan semua orang bisa mengintipnya langsung, diikuti beragam komentar.
Di kelompok masyarakat yang mementingkan eksistensi, reputasi sering diukur berdasar kegiatan sosialisasi yang dihadiri seseorang. Kebahagiaan hidup ditakar dari senyum keriangan di Instagram. Ini menyuburkan perasaan FOMO.
Yang masih suka eksis mati-matian mempertahankan eksistensinya. Yang baru ingin merangkak eksis, mati-matian menerobos segala pintu untuk menggapai sang eksistensi. Yang pernah eksis dan mulai pudar, sibuk berakrobat untuk tidak ketinggalan dalam segala peristiwa keramaian.
Tapi tak tak semuanya begitu. Ada yang lebih suka JOMO. Joy of missing out. Merasa bahagia dalam dunianya sendiri, jauh dari keramaian. Memahat kegembiraan dalam versinya sendiri. Bahkan ada yang meringis ngeri melihat foto keriaan dan keramaian itu.
Meringis membayangkan lelahnya berbasa basi, saling puji padahal bergosip di belakang. Belum lagi pegalnya otot pipi untuk terus tersenyum, keringnya gigi karena terus tertawa demi foto yang cantik. Lelah membayangkan waktu yang dihabiskan untuk makeup dan hairdo. Letih membayangkan high heels dan korset yg harus dipakai demi penampilan maksimal.
Dalam fase JOMO, menikmati 'me time' jadi menu utama. Melakukan hal yang murni menyenangkan diri dan hati tanpa peduli apa kata orang. Tanpa peduli apa yang terjadi di luar sana. Memilih segelintir orang untuk menghabiskan waktu bersama tanpa sempat berfoto, karena larut dalam percakapan mendalam dan tawa yang berderai- derai. Lupa boomerang karena sibuk menikmati makanan yang lezat tiada tara.
Fase manakah yang menghampiri kita kebih dulu? Tiap orang bisa berbeda. Ada yang dulu suka menyendiri, kemudian berkenalan dengan riuhnya society dan merasa enjoy bahkan ketagihan.
Ada yang sudah kenyang mengalami keriuhan itu, bahkan dalam fase enek, sehingga memilih menarik diri dan bahagia dalam rajutan kepompongnyanya.
Banyak pula yang galau-galau sedap. Lihat orang ramai bersosialisasi, langsung merasa FOMO. Ingin eksis. Tapi sampai di lokasi keramaian, merasa lelah dan rindu JOMO.
Ada pula yang sebenarnya JOMO, tapi karena tuntutan pekerjaan harus bertahan eksis.
Setiap manusia itu berbeda. Beda fasenya, beda kadarnya, beda segalanya. Apapun yang dipilih tentunya kembali ke sikon kehidupan pribadi masing-masing. Tak ada yang benar dan tak ada yang salah. Asal tak merugikan orang, tak menelantarkan keluarga dan pekerjaan. Semua hanya tentang pilihan. Melakukan apa yang sesuai dengan kata hati, apa yang membuat bahagia.
Yang terbaik FOMO atau JOMO? Keputusan masing-masing. Selama FOMO dinikmati, bukan melakukannya karena tekanan media sosial. Jangan pernah kelakukan hal karena tekanan. Dan silakan asal ingat, bahwa tiap manusia membutuhkan momen soliter untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri dan tentunya tugas pekerjaan serta keluarga.
Dan satu lagi, selain detoks makan, mungkin kita juga perlu detoks media sosial. Istirahat sejenak dari dunia maya, sehingga bisa fokus pada yang nyata.
Dan berkumpul dalam grup kecil bersama orang-orang yang satu frekuensi atau bahkan bergaul dengan orang berlatar belakang berbeda untuk refreshing, menambah warna dan wawasan.
Ada di fase mana Anda sekarang?
(Foto: Hadi Cahyono for Harper's Bazaar Indonesia; Fashion editor: Michael Pondaag)
- Tag:
- Wanda Ponika