Jeni berusia 20 tahun, memasuki tahun keduanya sebagai mahasiswi di sebuah universitas di Leicester, ketika ia pertama kali membuat dirinya sakit. Kekasihnya mendadak meninggalkannya, mematahkan hatinya hingga berdampak pada tingkat kepercayaan dirinya yang menurun. “Karena putus, saya kehilangan nafsu makan,” ungkap Jeni, “kemudian banyak orang berkomentar bahwa saya turun berat tubuh. Hal tersebut membuat saya merasa senang saat itu, karena kepercayaan dirinya sangat rendah. Lalu, saya memikirkan cara untuk mempertahankannya.”
Kemudian ia memulai pola konsumsi yang tidak sehat, mengonsumsi berbagai macam makanan dalam jumlah yang baik sebelum memaksakan dirinya untuk memuntahkan apa yang ia makan. “Saya pergi ke minimarket dan membeli banyak sekali makan, roti sandwich tiga lapis, keripik kentang ukuran besar, permen, dan minuman berkarbonasi, memakannya sesuai dengan urutan, kemudian mengeluarkannya tanpa sisi. Hal tersebut mengontrol hidup saya.”
Ketika Jeni berkonsultasi kepada dokter, ia diberitahu bahwa kandungan kaliumnya sangat rendah, akibat ketidakseimbangan elektrolit akibat dari pemuntahan, beresiko terkena penyakit jantung. Ia kemudian menjalani terapi tetapi kembali jatuh lima tahun kemudian, membuat dirinya sakit enam kali dalam satu hari.
“Saya merasa takut sehingga akhirnya, saya pergi ke dokter untuk meminta bantuan,” ungkap Jeni. “Namun, dokter saya mengatakan bahwa berat tubuh saya belum terlalu rendah untuk mendapatkan perawatan. Saya merasa hancur. Saya merasa seperti pembohong untuk mengalami gangguan makan dan bentuk tubuh saya tidak kurus, hal tersebut mengonfirmasi dugaan saya.”
Kini, di usianya 32 tahun, Jeni berada di tempat yang lebih baik secara mental, tetapi kerap muntah dari waktu ke waktu. Sama seperti banyak perempuan pada usia 30 tahun yang mengalami gangguan bulimia sejak usai muda, ia harus mengatasinya sendiri.
“Sejak Diana mulai alami bulimia pada 1981, seberapa banyak hal yang telah berubah?”
Pengalaman Jeni mungkin terdengar familier jika Anda telah menyaksikan musim terbaru dari serial The Crown, yang menggambarkan perjuangan Putri Diana melawan bulimia secara lebih detail. Serial tersebut menggambarkan seorang perempuan muda yang masuk ke panggung dunia, berada di bawah kritik banyak orang, dan berjuang untuk bertahan di tengah pernikahan yang hancur. Dampaknya, kami melihat sosok Diana yang rentan dan terganggu. Sang mendiang putri melampiaskannya dengan makan yang banyak dan kemudian memuntahkannya sebagai caranya mengatasi perasannnya, perlahan berdampak pada kondisi bulimia yang ia anggap sebagai selimut pengaman. Hal tersebut memberikannya kontrol atas situasi yang sebenarnya ia tidak memiliki kontrol.
Terlepas dari The Crown menghidupkan kembali perbincangan yang kerap terabaikan tentang bulimia, hal ini merupakan sebuah gangguan yang kerap disalahartikan. “Sayangnya, banyak stigma dan prasangka yang lekat pada bulimia,” ungkap Jessica Griffins, seorang kepala medis dalam organisasi gangguan makan Beat. “Ada asumsi bahwa orang-orang dengan gangguan makan berarti kekurangan berat tubuh atau orang-orang dengan bulimia adalah sosok yang rakus dan tidak dapat mengonrol jumlah konsumsi mereka. Namun, hal tersebut tidak berkaitan dengan kondisi fisik, bukan tentang disiplin ataupun niat, melainkan tentang pola pikir serta perasaan negatif yang luar biasa sehingga berdampak pada gangguan mental tersebut.”
“Dokter saya mengatakan bahwa saya berat tubuh saya tidak cukup rendah untuk mendapatkan perawatan. Saya merasa hancur.”
Stigma tersebut membuat banyak orang tidak berani bersuara dan meminta bantuan. Gangguan pola makan menjadi sebuah rahasia dan justru menimbulkan rasa malu. Semakin banyak Anda menganggap perasaan orang lain tidak berharga, semakin banyak dari mereka yang berjuang dalam diam. Itulah alasannya saya tidak pernah membicarakan tentang perjuangan saya dengan bulimia hingga beberapa waktu lalu, setelah menyaksikan musim keempat dari serial The Crown. Sama seperti Jeni, saya masih duduk di bangku kuliah ketika saya masuk ke dalam siklus makan dan muntah tersebut, mengizinkan perasaan benci terhadap diri saya dimanifestasikan kepada sesuatu yang saya kira telah saya kuasasi. Setelah hampir satu dekade berjalan, saya masih muntah sewaktu-waktu, terlepas dari kondisi mental saya yang kian membaik, dan paling penting, saya tidak pernah merasa hal tersebut adalah sesuatu yang dapat saya bicarakan dengan orang lain. Sebab, tidak banyak gejala bulimia yang terlihat secara kasat mata, penderita kerap berada pada berat tubuh normal mereka, berbeda dengan penderita anoreksi sehingga lebih mudah untuk menjadi bulimia sebagai sebuah rahasia.
Bagi Anda yang akhirnya terbuka, mendapatkan bantuan untuk mengatasi bulimia dapat menjadi sebuah pertarungan yang jauh berbeda. Roshani (24), mulai memuntahkan makanannya ketika memasuki tahun terakhirnya di sekolah akibat musim ujian yang membuat stres sehingga mengubah pola makan sehatnya. Ia kemudian merasa malu karena makan terlalu banyak. “Saya ingat betul, ketika waktu istirahat di asrama saya saat ujian, tersedia kue cokelat dan saya makan sangat banyak, lalu masuk ke kamar dan memuntahkannya. Hal tersebut terasa seperti dua hal terbaik di dunia, saya dapat menikmati makanan dan mengeluarkannya sehingga tidak merasa bersalah lagi.”
Gangguan bulimia dialami Roshani selama 18 bulan dan ia tidak memberitahu siapapun selain dokter umum jaga di tempat asalnya, Buckinghamshire, yang merekomendasi dokter di London dekat universitasnya, tetapi ia tidak pernah mendapatkan respon.
“Saya kemudian mengalami bentuk tubuh yang buruk dan terus mengonsumsi obat diare karena pencernaan saya yang buruk,” ungkapnya. “Saat itu, saya membuat saya merasa sakit sebanyak tiga kali dalam satu hari. Saya benar-benar membutuhkan pertolongan sehingga saya menemui dokter umum di universitas saya. Saya kemudian mendapatkan resep fluoxetine dalam dosis yang tinggi.”
Ketika Roshani mengira bahwa pengobatan dapat meredakan emosi negatif yang berkaitan dengan bulimia, ia tidak percaya hal tersebut adalah cara terbaik. “Satu-satunya alasan saya masih mengonsumsi fluoxetine hingga sekarang karena saya sangat takut akan kemungkinan yang terjadi jika saya berhenti mengonsumsinya,” ungkap Roshani. “Siapa saya tanpa obat tersebut? Apakah saya akan kembali dengan kebiasaan memuntahkan makanan? Saya tidak tahu. Sebuah posisi yang menakutkan.”
“Kita harus mengenali gejala bulimia pada perempuan di atas 30 tahun”
Hal yang mudah untuk memikirkan bulimia dan gangguan pola makan secara umum, dialami oleh masyarakat lebih muda. Namun pada kasus Jeni, perempuan di usia 30 hingga 40 tahun yang berjuang melawan bulimia setiap hari, tetapi karena stigma masyarakat dan rendahnya dukungan klinis, banyak yang kemudian mengalami gangguan tersebut secara kronis selama lebih dari satu dekade, seperti yang dialami Diana. Faktanya, sebuah riset yang dilakukan oleh University College London menemukan bahwa tiga persen dari perempuan di Inggris mengalami gangguan makan pada usia tengah, tetapi kurang dari 30 persen mendapatkan perawatan.
“Bulimia kerap dipandang sebagai sesuatu yang dialami anak muda, tetapi hal tersebut merupakan gangguan mental yang serius dan berdampak bagi semua orang di segala usia, dan kita harus mengenali gejala bulimia pada perempuan di atas 30 tahun,” ungkap Rebecca Willgress, kepala komunikasi dari Beat. “Miskonsepsi tentang siapapun yang mengalami gangguan pola makan dan berdampak pada penyakit serius kerap diabaikan atau bahkan diberikan diagnosa yang salah, menghambat orang untuk mendapatkan bantuan yang benar-benar sangat mereka butuhkan.”
Salah satu alasan mengapa bulimia kerap mendapatkan penanganan yang salah karena rendahnya pendanaan dan sumber daya dalam hal kesehatan mental. “Dokter umum hanya mendpatkan dua jam pelatihan terkait gangguan pola makan, kerap menimbang pasien dan jika berat tubuh mereka dikatakan normal, mereka tidak akan merekomendasikan pasien kepada layanan spesialis atau hanya menulis resep obat antidepresan,” jelas Jessica. “Namun, sesuai dengan panduan NICE (National Institute for Health and Care Excellence), orang-orang yang mengalami bulimia harus ditangani secara psikologis. Memang sistem kami lebih memprioritaskan kesehatan fisik dibandingkan kesehatan mental, dan sampai mereka dirawat secara menyeluruh, penderita bulimia akan kembali pada kebiasaan yang sama.”
Banyak orang yang berjuang untuk berubah, Hope Virgo (30) adalah seorang penulis dan aktivis tentang kesehatan mental yang meminta pemerintah untuk kembali mengoreksi panduan terkaita gangguan pola makan yang disampaikan oleh tenaga medis, meningkatkan pendanaan terkait layanan dan pelatihan terkait gangguan pola makan bagi tenaga medis profesional.
“Dokter umum hanya mendapatkan dua jam pelatihan terkait gangguan pola makan.”
Kampanye yang ia lakukan #DumpTheScales, terinspirasi dari pengalaman pribadinya berjuang melawan anoreksia, ketika ia diberitahu bahwa ia tidak cukup kurus untuk mendapatkan bantuan, telah ditandatangani hampir 110 ribu kali dalam situs Change.org. Kampanye tersebut telah diketahui oleh parlemen yang mendukung, tetapi terhambat akibat kurang perhatian dari Menteri Kesehatan Mental, hal tersebut disampaikan oleh Hope.
“Tidak hanya masalah pendanaan, kita membutuhkan banyak pendidikan untuk memastikan bahwa semua orang mendapatkan dukungan yang tepat di waktu yang tepat,” jelas Hope, melalui Instagram, membagikan surat anonim dari dokter umum yang menolak untuk berikan perawatan, sebagian besar dianggap indeks massa tubuhnya dalam batas normal.
Ketika saya bertanya kepada Hope terkait jumlah penderita bulimia yang pernah ia temui telah mendapatkan penolakan terhadap perawatan yang dilakukan karena berat tubuh mereka, ia mengungkapkan bahwa jumlah penderita sekitar 500 orang.
“Kami tahu diagnosa awal sangat kritis untuk menentukan kesuksesan penanganan gangguan pola makan,” ungkapnya. “Jika kita ingin menjaga pendanaan NHS, menghindari biaya rumah sakit dan menolong banyak nyawa, kita harus segera memastikan bahwa terdapat implementasi penuh terhadap panduan klinis terkait diagnosa tersebut.”
Terlepas dari keinginan untuk berubah, ada bantuan yang tersedia. “Saya ingin mendorong orang-orang untuk menghubungi Beat untuk mencari bantuan,” ungkap Jessica. “Kami juga dapat membantu Anda membangun kepercayaan diri untuk membicarakannya kepada dokter umum Anda, dan memberikan informasi terkait dukungan yang Anda butuhkan.”
Ketika orang-orang seperti saya berterimakasih kepada The Crown yang telah mengangkat isu penyakit yang menyakitkan ini dan menolak untuk mendramatisasi sesuatu yang diderita banyak orang, sangat menyakitkan untuk berpikir: jika Diana pertama kali mengalami bulimia pada 1981, berapa banyak hal yang telah beruba? Sama seperti Diana, banyak orang masih berjuang dalam diam, mungkin ada yang satu dekade atau bahkan lebih, takut akan stigma sosial terkait gangguan pola makan dan kesehatan mental. Sekalipun mereka berani untuk meminta bantuan, mereka jarang mendapatkannya. Hingga ada peristiwa yang mengubah cara untuk menangani gangguan pola makan, orang-orang akan terus menanggung beban bulimic seorang diri. Sama seperti yang Diana lakukan semasa ia hidup.
(Penulis: Ali Pantony; Alih Bahasa: Vanessa Masli; Artikel ini disadur dari BAZAAR UK; Foto: Courtesy of BAZAAR UK)