Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Bagaimana Ozempic Mengubah Perayaan Thanksgiving

Berkat revolusi GLP-1, keluarga di seluruh negeri kini mencari cara baru untuk terhubung selama musim liburan.

Bagaimana Ozempic Mengubah Perayaan Thanksgiving
Foto: Courtesy of BAZAAR US

Saat tumbuh besar, berkumpul di rumah Bibi Odessa selalu identik dengan kue. Better Than Sex cake miliknya, sebuah loyang aluminium besar berisi kue cokelat, karamel, susu kental manis, dan Cool Whip sudah menjadi legenda di keluarga kami. Namun pada tahun Paman Bobby didiagnosis diabetes, sesuatu berubah. Rasanya seperti selera makan saya menolak secara fisik dari sesendok besar kue di mulut saya. Bibi mengganti gula dengan pemanis buatan. Sepertinya saya bukan satu-satunya yang menyadarinya, karena sejak itu di setiap acara spesial, Bibi selalu membuat dua kue: satu untuk Paman Bobby dan satu lagi untuk kami semua.

BACA JUGA: "Ozempic Face" Memang Nyata, Tapi Ada Skincare yang Bisa Mengatasinya

Saat kita memasuki musim liburan di era GLP-1, banyak orang berada dalam posisi yang sama seperti Bibi Odessa, merasakan ketegangan antara tetap setia pada resep keluarga yang dicintai dan menyesuaikannya dengan perubahan pola makan orang-orang terkasih atau bahkan diri mereka sendiri.

Pakar obesitas, nutrisi, wellness, dan disparitas kesehatan, Fatima Cody Stanford, mencatat bahwa GLP-1 seperti Ozempic dan Mounjaro, seperti yang ia tulis dalam sebuah email, “secara halus namun signifikan mengubah dinamika pertemuan keluarga, terutama saat liburan.” Ia menjelaskan kepada Bazaar, “Secara tradisional, momen-momen ini berpusat pada hidangan besar yang disantap bersama. Kini, banyak pasien yang menggunakan GLP-1 mengalami penurunan nafsu makan dan cepat kenyang, yang dapat membuat porsi makan lebih kecil, berkurangnya minat pada beberapa hidangan, dan kadang melewatkan sejumlah makanan sama sekali.”

Dampaknya berbeda pada tiap keluarga. Quanisha Green, 41 tahun, dan suaminya sama-sama menggunakan GLP-1. Setiap tahun, mereka berkendara dari Philadelphia bersama dua putra mereka ke rumah sepupunya di Virginia untuk merayakan Thanksgiving. Memasuki musim liburan pertama mereka saat menggunakan obat ini pada 2023, Green mengatakan kekhawatiran terbesarnya hanyalah apakah ia akan tetap minum dosisnya atau tidak.

Ia juga berhati-hati agar tidak makan berlebihan dan menjadi sakit, tapi ia tidak merasa tertekan oleh penilaian keluarga. Sejak sepupunya mengambil alih tugas Thanksgiving dari nenek mereka pada 2016, semua resep keluarga tetap dipertahankan, namun kebiasaan mengomentari isi piring atau tubuh orang lain ditinggalkan. Quanisha berkata, “Mereka bukan tipe yang memaksa makan. Kalau Anda makan sedikit, mereka tidak akan bilang, ‘Cuma itu yang Anda makan?’ atau ‘Piring Anda cuma segitu?’ Jadi saya tidak merasa ada tekanan sosial untuk makan.”

Foto: Courtesy of BAZAAR US

Thanksgiving tahun lalu, sepupunya sedang dalam masa pemulihan dari masalah kesehatan, sehingga keluarga Quanisha merayakannya di rumah. Quanisha dan suaminya akhirnya mempertimbangkan resep mana yang akan dipertahankan, mana yang dimodifikasi, dan mana yang dihapus sama sekali. Protein mac and cheese tidak jadi dimodifikasi: “Kami tidak mau. Kami tidak mau mengutak-atik macaroni and cheese.” Hidangannya tetap dibuat seperti biasa, dan mereka hanya makan lebih sedikit, lalu membekukan sisanya untuk disantap di lain waktu.

Meskipun Elizabeth Livingston tidak memikirkan soal imigrasi, ia juga merasakan bahwa politik bukan GLP-1 yang justru mengubah dinamika pertemuan keluarganya. Perempuan 41 tahun itu tinggal di Houston, tetapi secara rutin bepergian ke Louisville, Kentucky, untuk merawat kedua orang tuanya yang kini berusia 70-an. Biaya kesehatan cepat sekali membengkak: “Mereka bilang resepnya bisa sampai 400 dolar per bulan. Saya bilang, ‘Maaf? Itu sudah pakai asuransi?’”

Elizabeth berharap bisa lepas dari kutukan turun-temurun dan biaya terkait diabetes tipe 2. “Saya berpikir, ‘Ya, saya akan lanjut dengan GLP-1, mengendalikan ini, memperbaiki hubungan saya dengan makanan,’” katanya. Meskipun ia termasuk yang pertama dalam keluarga besarnya memakai GLP-1, ia mengatakan keluarganya cukup menerima, mengibaratkannya seperti mengubah pola makan setelah operasi pengangkatan kantong empedu, sesuatu yang sudah akrab bagi keluarganya.

“Saya merasa seperti sekarat, dan sekarang saya merasa hidup kembali.”

Ia juga berusaha mengenalkan berbagai jenis makanan dan cara memasak baru kepada orang tuanya. Ibunya sempat mencibir harga daging domba yang mahal, dan ayahnya bertanya-tanya ketika ia mengganti ham pada collard greens mereka dengan kaldu ayam, namun ternyata ia menyukai hasilnya. “Hanya karena sesuatu selalu dilakukan dengan cara tertentu bukan berarti harus terus begitu,” ujarnya. “Kita selalu bisa memulai tradisi baru.”

Fatima Cody Stanford mendukung pandangan Elizabeth, dengan mengatakan, “Penting untuk menyadari bahwa perilaku yang mendukung kesehatan dan tradisi budaya dapat berjalan berdampingan, meski mungkin membutuhkan dialog terbuka, kreativitas, dan kesediaan untuk mendefinisikan ulang apa arti merayakan dan terhubung. Publik harus memahami bahwa obat-obatan ini adalah alat untuk kesehatan, bukan penghalang bagi kasih sayang atau tradisi, dan bahwa keluarga dapat menemukan cara baru untuk menghormati warisan sekaligus menjaga kesejahteraan mereka.”

Dalam emailnya, Fatima mengingatkan bahwa penggunaan GLP-1 bukan hanya tentang individu; ini juga menyangkut keluarga. “Satu hal penting adalah perlunya rasa kasih dan fleksibilitas saat keluarga menghadapi perubahan ini,” katanya. “Munculnya GLP-1 bukan sekadar fenomena medis, ini adalah fenomena budaya yang mengubah cara kita memandang makanan, kesehatan, dan kebersamaan.”

BACA JUGA:

Serena Williams Berbagi Tentang Perjalanan Penurunan Berat Badan dengan Ozempic

7 Jenis Beras yang Baik untuk Diet dan Bantu Turunkan Berat Badan Secara Sehat

(Penulis: Minda Honey; Artikel ini disadur dari: BAZAAR US; Alih bahasa: Amadea Saskia Putri; Foto: Courtesy of BAZAAR US)