Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Tangani Kesehatan Mental Anak di Masa Pandemi dengan Play Therapy

Kesehatan mental anak juga tak kalah penting dengan orang dewasa, terlebih di masa pandemi ini. Jika muncul problem mental, Anda mungkin dapat mencoba metode Play therapy untuk menanganinya.

Tangani Kesehatan Mental Anak di Masa Pandemi dengan Play Therapy

Di suatu sore di tengah pandemi ini, saya terpikir sesuatu. Jika bagi kita, orang dewasa, masa pandemi memberi dampak sedemikian rupa, bahkan hingga memengaruhi mental kita. Namun bagaimana dampaknya pada anak-anak? Faktanya sebagai orang Asia, kita sering kali menomorduakan penyakit mental dengan alasan sesuatu yang tidak nyata/terlihat. Padahal ada fakta bahwa sebelum masa pandemi ini bahkan World Health Organization (WHO) telah memperkirakan bahwa pada tahun 2030, depresi akan menjadi peringkat nomor 1 sebagai penyebab disabilitas dunia. Sedangkan angka gangguan mental di Inggris (negara maju yang sudah punya budget khusus untuk kesehatan mental warga negaranya) 1 dari 10 anak telah mengalami gangguan mental. Lalu 15 persen anak remaja yang berusia 15-19 tahun di negara berkembang (termasuk Indonesia) sudah berpikiran untuk melakukan bunuh diri. Berbekal fakta-fakta di atas, menurut Psikolog dan juga Praktisi Kesehatan Mental Alva Paramitha S.Psi, “Sebenarnya masalah kesehatan mental (terutama di negara kita) sudah seharusnya masuk status darurat kesehatan mental dan memperhatikan kesehatan mental anak-anak.”

 

Jika ditambah dengan status pandemi, maka apa yang dihadapi oleh anak-anak akan menjadi lebih berat. Menurut Alva hal yang paling menyedihkan di masa pandemi ini adalah ketika anak-anak akan sulit mendapatkan kebutuhan dasar yang harusnya dapat terpenuhi. Di antaranya adalah kebutuhan untuk berinteraksi, mendapatkan stimulasi lingkungan, bahkan kebutuhan untuk bermain, yang mana hal-hal tersebut memiliki kontribusi sangat besar bagi tumbuh kembang anak, terutama di periode golden age 0-9 tahun.

 

“Anak-anak terpaksa berada di rumah dalam waktu yang cukup lama (saat ini sudah hampir 10 bulan), sedangkan ada masa perkembangan dan pertumbuhan yang seharusnya mereka jalani dan hal ini tidak dapat diputar mundur. Selain itu hal yang perlu diwaspadai adalah ketika sensory kurang matang akibat stimulasi yang kurang, interaksi terbatas, serta belum lagi tekanan-tekanan yang juga dapat bersumber dari lingkungan atau pola parenting. Hal ini akan membentuk sebuah coping/daya tahan yang juga tidak utuh (tidak sempurna) sehingga kelak ini akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan mentalnya,” papar Alva.

Ia lalu kembali menjelaskan gangguan di masa perkembangan anak-anak ini berupa problem mental anak-anak saat ini kelak akan berpengaruh terhadap bagaimana mereka berperilaku, berinteraksi, berpikir hingga mengambil keputusan pada saat dewasa. Ketika stress bahkan depresi tidak tertangani sudah tentu hal ini kelak akan memengaruhi perilaku mereka kelak dewasa. Mulai dari pengambilan keputusan irasional, gangguan mood, dan emosi yang lebih ekstrem. Sehingga ketika mereka dewasa kelak di mana menjadi usia yang produktif, justru mereka tidak dapat menunjukkan perfoma maksimalnya sesuai potensi yang dimilikinya,” terang Alva. Dampak yang rupanya sangat signifikan.

 

Selain terenggutnya kebebasan anak-anak untuk bermain/beraktivitas di luar rumah, ada sumber stres atau yang dapat mengakibatkan depresi pada anak-anak ini adalah ketika mereka harus berdiam lama terutama ketika proses belajar semuanya harus dilakukan secara daring dan via digital. Alva pun mengingatkan “Sehingga apabila orang tua, atau anggota keluarga dapat meminimalisir kesulitan anak-anaknya di masa pandemi ini maka stres sudah tentu dapat dihindari. Namun kadang dilemanya, bukan hanya anak-anak saja yang stres dan depresi, bahkan orang tua tanpa disadari menyumbangkan stres paling besar terhadap anak-anak. Ketika orang tua mengalami stres (di masa pandemi) dan tanpa sadar hal ini pasti berpengaruh terhadap pola parenting mereka. Contohnya orang tua jadi mudah tidak sabar ketika harus berperan sebagai orang tua dan guru sekaligus ketika berada di rumah. Ledakan amarah, luapan emosi kadang bisa menambah buruk keadaan mental anak-anak di rumah.” 

 

Ada sebuah metode yang dapat menjadi solusi problem mental pada anak, yaitu Play therapy. “Play therapy adalah sebuah metode intervensi untuk membantu anak-anak terkait dengan gangguan sosial, emosi, perilaku hingga mental. Play therapy merupakan sebuah intervensi non-verbal yang ternyata sangat efektif sebagai metode penyembuhan karena pada dasarnya trauma, kejadian shock, luka batin, apabila terekam di otak kita berbentuk non-verbal. Ini mengapa kadang anak-anak yang mengalami stres dan depresi tidak dapat curhat tapi justru diekspresikan dengan gangguan perilaku (seperti gangguan konsentrasi, gangguan belajar, dan gangguan emosi/mood akut). Sehingga dibutuhkan intervensi yang bentuknya juga non-verbal untuk mencairkan ini. Sehingga secara penelitian Play therapy ini telah terbukti secara neuroscience membantu proses ‘healing’,” jelas Alva.

 

Sesuai dengan namanya, sesi Play therapy ini diisi oleh 45 menit waktu bermain (special time) didampingi oleh terapis. Di sesi ini, anak-anak akan berekspresi secara bebas melepaskan dan memenuhi kebutuhannya. Konon di sesi ini, mereka berproses terhadap masalah-masalah yang terjadi di alam bawah sadarnya. Biasanya di ruangan Play therapy telah tersedia beragam mainan, yang memiliki tujuan untuk memfasilitasi area-area masalah yang terjadi pada anak. Misalnya tersedia sand play (untuk emosi alam bawah sadar), puppet untuk kemampuan merawat diri, rumah boneka, atau beragam mainan role play untuk social relationship, musik untuk komunikasi, art untuk kreativitas, serta beragam mainan yang dapat memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan motorik.

Alat seni menjadi salah satu permainan di Play therapy
Alat seni menjadi salah satu permainan di Play therapy

Berbicara efektivitasnya, Alva menjawab jika metode ini menjadi salah satu cara yang cukup efektif untuk merilis emosi yang ditampung anak. “Di sesi Play therapy ini anak akan melepaskan stres atau luka batin yang berada di alam bawah sadar melalui permainan-permainan yang ia pilih dan mainkan. Terapis sebetulnya berfungsi sebagai mirror yang membangun refleksi pada anak ketika proses sesi berlangsung. Sehingga biasanya pada proses Play therapy ini 98 persen bersifat non-verbal (karena memang untuk meng-healing luka batin yang sifatnya non-verbal tadi). Terlebih anak-anak, biasanya ketika mengalami stres, mereka tidak akan berteriak berkata “Hei… saya stres.” Tapi justru memperlihatkan perilakunya yang mengajak orang tuanya bermain. Inilah kenapa anak-anak berbicara melalui proses bermain.”

Sand pkay menjadi salah satu permainan di Play therapy
Sand play menjadi salah satu permainan di Play therapy

Sebagai panduan bagi para orang tua di rumah, Anda dapat mengobservasi perilaku anak Anda, apakah ada perubahan perilaku yang sedang dialami anak. “Semuanya dapat terlihat dari gangguan perilaku. Misalnya gangguan belajar, konsentrasi, keadaan emosi ekstrem (marah atau sedih yang mendominasi), tidak bersemangat atau kehilangan motivasi, perilaku menarik diri atau perilaku-perilaku yang sudah menganggu keseharian mereka. Bahkan ada beberapa anak sudah menunjukkan perilaku ekstrem seperti keinginan untuk melukai diri sendiri,” ujar Alva.

 

Alva menutup perbincangan kami dengan saran untuk para orang tua, “Orang tua selaku pendidik pertama di rumah dan utamalah yang memiliki peran yang sangat amat besar bagi kesehatan mental anak-anaknya. Dilemanya ya itu tadi, terkadang tanpa disadari justru orang tua sebagai pelaku toxic terhadap hubungan orang tua—anak yang juga merupakan hal terpenting. Sehingga penting sebagai orang tua, untuk juga berusaha tetap bahagia dan mengelola emosi agar secara selaras orang tua dapat menularkan energi yang positif bagi anak-anaknya. Ciptakan suasana yang menyenangkan di dalam rumah serta hangat. Ingat kehangatan akan tercipta dari keadaan batin yang juga sehat. Selain itu ciptakan kegiatan-kegiatan anti-stress misalnya secara berkala bermain bersama dengan anak, terlibat secara penuh dan sadar (tinggalkan gadget sejenak) di kegiatan-kegiatan mereka. Ciptakan hobi baru atau kegiatan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Lakukan kegiatan outdoor yang bertanggung jawab secara rutin, misalnya olahraga, membawa binatang peliharaan ke taman. Dan yang terpenting komunikasi, dukungan, kasih sayang dan bonding yang konon akan selalu membuat mereka merasa aman sehingga mereka selalu dapat bertumbuh.”

 

(Foto: Courtesy of Alva Paramitha, Stanley Allan – PPF Photography)