Kata androgyny dan garis desain gender fluid semakin memainkan peranan penting di koleksi desainer dan rumah mode dunia masa kini. Lantas banyak orang yang sudah merasa tidak asing mendengar kata tersebut dan menganggap itu hal yang modern.
Hal itu tentu tidak terjadi begitu saja, dan memerlukan sosok yang memulai gebrakan ini terdahulu. Apabila kita membahas tentang kemunculan busana androgyny di indonesia, desainer Tri Handoko adalah sosok yang perlu dibicarakan atas keberaniannya mendobrak aturan berpakaian wanita di Indonesia saat itu, dan memopulerkan busana androgyny di antara busana feminin saat itu.
Tri Handoko adalah sosok yang hobi menari di masa kecilnya yang ia habiskan di Blitar, Jawa Timur. Di mana ia banyak bersentuhan dengan tari Jawa tradisional, kontemporer hingga tari balet.
Kegemarannya menari di atas panggung membuatnya terus mengeksplorasi fashion design di mana ia merancang kostum menarinya sendiri saat ia akan menari di atas panggung.
"Saya memiliki dua pilihan yaitu antara belajar koreografi atau fashion. Awalnya saya bimbang, karena dua hal itu ada di dalam diri saya. Namun saya memutuskan untuk mendalami fashion dan mendaftarkan diri di sekolah mode milik Susan Budihardjo," ungkapnya.
Tri yang dahulu mengakui dirinya termasuk anak yang manja, kemudian mengunjungi Australia untuk menghadiri wisuda sang kakak yang memengaruhinya untuk melanjutkan studi mode di Australia.
Atas permintaan keluarganya yang menganggap Australia lebih dekat dengan Indonesia, Tri pun kemudian menimba ilmu di Sydney yang sayangnya kurang menginspirasi dirinya.
"Pengalaman saya sebagai fashion student di Sydney memang kurang berkesan, mungkin karena Sydney bukan kota mode. Namun ada pelajaran yang dapat saya ambil dari pengalaman saya di sana, saya belajar tentang hidup. Setidaknya level manja saya menjadi berkurang," jelasnya.
Sehabis menyelesaikan studinya, Tri memilih untuk menggali lebih banyak pengalaman dengan menjadi seorang asisten desainer dibandingkan langsung mendirikan label miliknya sendiri.
Setelah itu, ia melanjutkan pekerjaannya di sebuah lini pakaian yang berbasis di provinsi Bali. Ia pun menghabiskan waktu selama 8 tahun lamanya di sana sambil bersenang-senang.
"Saya banyak membuang waktu dengan bermain ke sana ke mari. Kalau melihat teman-teman saya yang sudah berada di puncak karier mereka, saya pikir sudah tidak mungkin lagi untuk mengejar mereka. Pada waktu itu saya sudah berada di zona nyaman," jelasnya.
Teman-teman Tri yang merasa dirinya memiliki talenta dan dapat menjadi seseorang yang berpengaruh, kemudian mendorongnya untuk lebih keluar dari zona nyamannya dengan kembali ke Ibu Kota, di mana ia memulai kembali segalanya dari awal dan mulai mendirikan label miliknya sendiri.
"Karena belum percaya diri, saya sampai tidak berani menggunakan nama saya sebagai label. Maka saya menggunakan nama Frantho," lanjutnya.
Karakter Tri yang memang eksentrik, membuatnya tak ingin mengikuti pola tren mode dan menjadikan tren mendikte karya-karyanya. Ia pun kemudian menggebrak dunia mode yang pada saat itu sedang di puncak segala busana wanita glamorama, lewat sebuah show koleksi tunggal yang hanya menyajikan potongan sederhana tanpa adanya elemen payet maupun bordir.
"Pada saat itu, saya ingin mengedukasi para insan mode Indonesia bahwa baju pesta tak seharusnya selalu terbuat dari material chiffon yang bertaburkan payet. Tren yang sangat seragam itu, perlu dihentikan," ungkap Tri melalui sebuah wawancara dengan Bazaar edisi Januari 2013.
Lewat koleksinya pada saat itu, Tri menyentak industri mode Indonesia dengan membuat setiap model di pergelarannya mengenakan desain bersih, structured, dengan injeksi nuansa maskulin yang memberi angin segar di industri mode Indonesia sekaligus menjadi perspektif baru dalam berbusana di tengah lautan gaun pesta yang feminin.
Di tahun 2004, talenta Tri sebagai desainer semakin dikenal hingga ia berhasil menyabet penghargaan The Upcoming Designer yang diselenggarakan oleh Nokia Fashion Award dan The Most Favorite Designer dari Mercedes Benz Fashion Festival.
Ia pun menyikapi pencapaiannya tersebut merupakan hasil dari konsistensi dirinya sebagai desainer yang memiliki benang merah di setiap koleksinya.
"Kekuatan label saya adalah kejujuran yang ada dalam setiap rancangan, bandingkan saja busana yang saya buat untuk perlombaan di tahun 1989 dengan koleksi terakhir saya, keduanya dipastikan memiliki garis yang sama", paparnya.
(Foto: Courtesy of Harper's Bazaar Indonesia & Tri Handoko)