Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Sejarah Fashion Tahun 1910 - 1930

Awal mula pengaruh elemen maskulin dan busana siap pakai

Sejarah Fashion Tahun 1910 - 1930

Beranjak memasuki awal abad ke-19, busana wanita di Paris maupun Amerika mulai mengalami perkembangan baru seiring pengaruh kebudayaan yang datang dari luar. Munculnya perang dunia pertama ternyata memberikan kontribusi terbesar akan lahirnya istilah busana siap pakai yang kita kenal saat ini.

 

Periode Pre-War dan World War I (1910 – 1919)

Berkat pengaruh Ballets Russe yang berasal dari Rusia, korset tidak lagi dipakai dalam elemen busana wanita.

 

Siluet rok menyempit di bagian bawah sehingga memunculkan istilah baru yaitu hobble skirt. Wanita yang mengenakannya hanya bisa berjalan dengan langkah-langkah kecil supaya rok tidak sobek. Sebaliknya, siluet aksesori topi justru semakin lebar. Sehingga tampilan terlihat seperti segitiga terbalik. Salah satu desainer topi atau millinery yang terkenal adalah Coco Chanel.

Salah satu ikon di tahun 1910 adalah Isadora Duncan. Penari asal Amerika ini mengenakan gaun ala Grecian style rancangan Madeleine Vionnet. 

 

Ilustrasi gaun rancangan Paul Poiret tahun 1908

'Delphos' dress rancangan Mariano Fortuny yang menginspirasi gaun lipit Issey Miyake.

Lahirnya perancang busana yang berpengaruh, yaitu Paul Poiret dan Mariano Fortuny Y Madrazo. Poiret dikenal melalui rancangannya yang menggabungkan unsur Art Nouveau dan modern dengan inspirasi busana Jepang hingga Eropa Timur.

Ia juga memperkenalkan Directoire Line, yaitu gaun dengan siluet lurus dari garis pinggang ke bawah hingga 5 cm di atas permukaan tanah. Sedangkan Fortuny, dikenal melalui inovasi teknik lipit yang kemudian diadaptasi oleh desainer Issey Miyake untuk label Pleats Please.

 

Wanita mulai mengenakan pakaian dalam dan celana dari bahan linen dan renda sebelum mengenakan busana luar. Fungsinya untuk menggantikan korset dan rok, sekaligus alasan higienis.

Pekerja pabrik di UK tahun 1910

 

Salah satu model rambut yang terkenal adalah pompadour hairstyle dengan rambut yang dipelintir ke belakang.

Menjelang Perang Dunia I, terjadi pergeseran budaya busana secara drastis. Wanita tidak lagi merasa perlu untuk berdandan yang berlebihan. Gaya menjadi lebih maskulin, topi semakin kecil, bersamaan dengan berkurangnya ornamen dekoratif.

 

Akibat wanita yang harus bekerja ketika masa perang, lahirlah busana seragam atau utility garment.

 

 

Periode Twenties (1920 – 1929)

Dikenal sebagai era Jazz Age atau The Flappers.

 

Masih terpengaruh dari tahun sebelumnya, siluet longgar kini semakin bervariasi panjangnya. Flapper dress yaitu dress lurus dengan panjang medium di bawah lutut, dikenakan dengan coat, kimono, atau selendang bulu, dan dipercantik dengan perhiasan kalung mutiara dan pita. Style ini lebih populer di Amerika dan Inggris.

 

Sedangkan di Prancis, siluet bebas yang menggambarkan spirit bebas wanita, merujuk pada istilah baru yaitu La Garconne. Dimana wanita tampil lebih maskulin dengan gaya androgynous. Wanita kerap mengenakan busana pria dengan lipstik dan pensil alis.

 

Meskipun siluet bertambah sederhana, material kain yang digunakan justru semakin dekoratif. Terinspirasi dari Russian Folk Art, desain textile tampil semakin ‘kaya’ dengan ornamen fringe, bordiran, aksen hand painted, dan sulaman beadings.

 

Salah satu ciri khas 20’s adalah potongan rambut bob pendek yang diaplikasikan oleh hampir sebagian besar wanita.

 

Lahirnya one piece swimwear dan tanning oil di tahun 1924.

 

Puncak kesuksesan bagi desainer wanita dengan label busana dan bisnis mereka. Tiga nama besar diantaranya adalah Gabrielle Coco Chanel, Jeanne Lanvin, dan Jean Patou.

 

Periode Thirties (1930 – 1939)

Di awal tahun 30-an, gaun malam semakin panjang dan elegan. Dengan tambahan aksen trail ringan di belakang rok, siluet pinggang kembali normal, garis bahu lebih lebar daripada panggul, dan lengan dibuat lebih panjang.

Terdapat tiga kategori busana wanita. Untuk keseharian biasanya panjang gaun 10 inches dari tanah, celana pendek untuk gaya sporty, dan malam hari gaun panjang menutupi jari kaki.

 

Memasuki masa The Great Depression, menimbulkan dampak pada mode yaitu pergeseran kualitas material. Akibat krisis, desainer mulai memperbanyak produksi lini ready to wear. Penggunaan ornamen dekoratif mahal mulai dikesampingkan.

Akibatnya, perbedaan busana antara kelas atas dan menengah mulai melebur. Terutama dengan ditemukannya material sintetik yaitu Nylon, Rayon, dan latex, untuk mengurangi cost dasar produksi baju.

 

The Hollywood Glamour. Di tengah keterpurukan, industri film menjadi satu-satunya penghiburan. Sehingga Hollywood pun melahirkan bintang-bintang yang menjadi style icons.

Busana dan aksesori rancangan desainer yang dikenakan oleh aktris seperti Greta Garbo, Gloria Swanson, dan Marlene Dietrich, secara cepat ditiru untuk produksi dan dijual oleh department store besar Amerika. Sehingga kota mode kini telah berpindah dari Prancis ke Amerika.

 

Masa kejayaan untuk desainer Elsa Schiaparelli, Madeleine Vionnet, dan Madame Gres. Schiaparelli memberikan nafas baru bagi mode yang tengah terpuruk, dengan menghadirkan rancangan unik. Ia berkolaborasi dengan seniman avant garde untuk menghasilkan busana dan aksesori yang memutar balikkan dunia haute couture.

Ia adalah desainer pertama yang menggunakan resleting pada gaun, menciptakan teknik trompe l’oeil (diaplikasikan oleh Alessandro Michele untuk koleksi Gucci Spring/Summer 2016 lalu), memperkenalkan shoulder pads, merancang aksesori topi berbentuk sepatu, dan dekorasi peniti di baju (diadaptasi kembali oleh Versace).

 

Baca juga: 

Sejarah Fashion Tahun 1850 - 1900

 

(Foto: diambil dari buku 100 Years Of Fashion)