Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Realita Kemewahan Tas Palsu

Bagi kalangan tertentu, tiruan tas mewah memiliki popularitas lebih tinggi dibandingkan yang orisinal.

Realita Kemewahan Tas Palsu

“QC (Quality control) untuk tas Loewe Mini Gate ini, please,” ujar salah satu member Reddit dengan unggahan detail unboxing kompartemen baru itu dari berbagai sudut, termasuk embossMade in Spain”. Ada beberapa yang memberi komentar, “Beautiful, bisakah Anda membagi nomor penjual?” dan juga “Dari mana dan berapa? Love this bag.” Ia menjawab dengan kontak sang seller dan, “Saya bayar 265 dolar Amerika (sekitar 4.100.000 rupiah),” sekaligus menyebut nama pabrik pembuatan tas tersebut untuk dibantu pengecekan kualitasnya. Saya lanjut menggulirkan diskusi lainnya di suatu sub-Reddit yang sudah memiliki 57 ribu pengikut dengan slogan “komunitas sejak tahun 2016 untuk kita semua dapat menikmati mode di tingkat mana pun”, dan semakin ke bawah semakin banyak saya menemukan permintaan-permintaan unik, seperti “Mencari tas Gucci 1955 dalam kulit buaya warna hitam” sampai backpack Louis Vuitton Palm Springs edisi terbatas seri Infrarouge, dengan balasan jitu alamat dan nomor telepon “gerai andalan”. Permintaan yang saya temukan barusan merujuk pada produk-produk “premium” replika dalam kualitas terbaik. Suguhan seperti ini nyatanya sudah begitu meroket di internet. Meski beberapa platform seperti Instagram senantiasa menyaring counterfeit goods yang terus beredar pada fitur belanja maupun unggahan bersifat jualan, tetap saja sangat sulit untuk mengelolanya apalagi sekadar dari visual saja.

Pakemnya, untuk mengenali barang palsu diperlukan pihak profesional yang memahami petunjuk-petunjuk kecil seperti ketidakteraturan jahitan, penempatan logo, detail janggal, dan kualitas bahan. Namun, kemajuan teknik manufaktur yang semakin canggih dan akses terhadap bahan berkualitas tinggi telah sanggup mengaburkan batas keduanya. Istilah superfakes pun akhirnya muncul. Tak heran jika kasus panas rumah mode Louis Vuitton (masih ingat penggerebekan prosedur anti pemalsuan di seluruh dunia pada tahun 2010, yang menghasilkan
penyitaan ribuan produk imitasi serta putusnya sejumlah jaringan kriminal?) dan Chanel begitu menggebu-gebu, termasuk dalam menindak luxury consignment store yang mungkin tanpa sadar menjual barang palsu.

Ada masa dampaknya di mana luxury resale terlepas sejenak dari atensi publik, kemudian bangkit lagi (more than ever) dengan peningkatan teknologi pemeriksaan, kencangnya isu mode berkelanjutan, euforia treasure hunting, dan banyak faktor lain, sehingga solusi baru muncul: rumah mode itu sendiri bekerja sama dengan toko-toko ini. Sebut saja
Gucci dan online marketplace The RealReal (situs web yang sempat jadi kontroversial sebelumnya), atau Valentino dengan Pauline Vintage di Milan.

Tetapi Anda mungkin ingat adegan dari serial Sex and the City saat Samantha “manifesting” Fendi palsu
gapaiannya di Los Angeles dan mengajak Carrie untuk coba berbelanja langsung dari bagasi mobil seseorang yang ia kenal di “The Valley”.

Perilaku yang dianggap tabu oleh generasi-generasi sebelum ini, kini justru malah tambah mencuat dan “wajar” bagi sebagian konsumen muda zaman sekarang. Tidak jarang kemunculannya melewati unggahan di TikTok yang menampilkan obsesi mereka akan “penemuan” tas branded kw, apalagi jika desainnya langka.

Namun perlu diingat bahwa kunci sejati dari predikat prestisius ada di savoir-faire atau know-how yang menjamin keterampilan para artisan (bahkan sudah turun-temurun dari generasi ke generasi) dan proses pengerjaan produk. Barang bajakan tergolong ilegal karena menentang undang-undang hak cipta dan merek dagang, walaupun rancangan "terinspirasi oleh” maupun salinan yang cukup mencolok, sudah menjadi masalah yang berbeda (walau etika Anda pastinya dipertanyakan). Di sisi lain, bayangkan saja, barang-barang duplikat ini dibuat dari material-material yang belum lolos pemeriksaan keamanan. Ya benar, Anda perlu khawatir bahan-bahan yang dipakai, cat warna yang dipakaikan, zat-zat apa saja yang menempel di
barang itu. Biarpun banyak di antaranya mengaku berasal dari pabrik yang sama dengan para rumah mode itu. Belum lagi membahas proses di baliknya, semisal bagaimana mereka memperlakukan para pekerja? Dan ke siapa (sumber) pemasukan pendapatan tersebut berujung? Lalu bagaimana kontribusi pemasukan tersebut bagi kehidupan sosial?

Saya masih ingat jelas perjalanan untuk mendapatkan luxury bag pertama saya, Louis Vuitton Neverfull, dengan inside lining warna merah menggoda. Seketika koleksi itu muncul di tahun 2007, orang-orang sekitar saya sudah langsung memakainya dan saya tentu semakin FOMO.

Sekian lama dan seribu cara untuk menabung, masa adolescence saya terbentuk bersama kompartemen itu, terutama tentang pembentukan diri dan penerimaan sosial. Saat mendapatkan sang tas idaman, benar-benar serasa prestasi diri telah tercapai. Hubungan emosional dan pengalaman ini tentu lebih dari sekadar tas itu sendiri, yang berlanjut ke identitas persona akan apresiasi nilai kemewahan dan gaya, layaknya juga akses pintu untuk komunitas atau kelompok individu yang berpikiran dan minat sama.


Setelah memiliki aksesori impian, Anda tentu ingin merawatnya agar tas tersebut senantiasa dalam kondisi prima. Atau jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan, Anda bisa membawa kembali ke gerai resmi, dengan catatan Anda membeli di butik resmi. “Kami selalu menyarankan kepada customer untuk selalu berbelanja di authorized retailer atau butik resmi untuk peace of mind karena bukan hanya barangnya sudah pasti terjamin asli, tapi juga lebih mudah dan convenient untuk After Sales Service-nya,” ujar Shannon Hartono selaku Executive Vice President Time International. Poin ini tentu jadi alasan signifikan why you better buy the original one.


Maraknya superfake handbag merefleksikan perpaduan kompleks antara teknologi, perilaku konsumen, dan perdebatan hukum. High-end brand tertantang menavigasi lanskap rumit ini terlebih lagi menjaga status prestise mereka di zaman ketika para pemalsu lebih canggih dari sebelumnya. So, what’s your choice?

(Cover Layout: Tevia Putri. Foto: Courtesy of Valentino, Louis Vuitton, Dok. Bazaar; semua foto tas pada artikel ini adalah produk orisinal)