Mengaku seorang extrovert by nature, sosok aktor muda Roy Sungkono mengawali kiprah gemilangnya yang kian berkembang sejak tahun 2010 dengan, dalam kata-katanya sendiri, “modal kenekatan.” Lebih dari satu dekade menyelami dunia hiburan, awalnya via rute sinetron dan modeling, kini ia perlahan mengukir namanya sebagai salah satu aktor paling berbakat dalam dunia perfilman Tanah Air dengan film-film seperti Noktah Merah Perkawinan dengan lawan main Vino G.Bastian serta Marsha Timothy, kemudian Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, dan yang menjadi buah bibir tahun ini, Buya Hamka.
Sebelum pemotretannya dengan Bazaar kali ini, kami berbincang seputar pencetus dan awal seluk-beluknya memasuki industri perfilman Tanah Air hingga kehidupan barunya yang ditempuh dengan sang istri, Michelle Tahalea, sosok model yang juga kini bergelut di dunia seni peran. Turut didampingi oleh Michelle di hari itu, pembawaannya pun nyaman dan apa adanya. Rileks dan kerap diselingi tawa dan kontemplasi.
Saya sempat berpikir, ‘Dia aja bisa, masa gue enggak bisa.’
Harper’s Bazaar Indonesia (HBI): Boleh ceritakan sedikit awal karier Anda memasuki dunia perfilman?
Roy Sungkono (RS): Hmm.. saat itu, sekitar tahun 2010, saya sedang mempertimbangkan antara melanjutkan pendidikan ke luar negeri, atau mencoba memulai karier di Tanah Air. Saat itu saya punya seorang teman orang asing yang bahasa Indonesianya kurang fasih, tapi dia mendapatkan peran di FTV. Peran utama pula. Saya sempat berpikir, ‘Dia aja bisa, masa gue enggak bisa.’ Jadi saya memutuskan untuk tetap di Indonesia dan mencari celah untuk perlahan mulai. Awalnya sebenarnya di dunia modeling, tapi lewat pengalaman itu saya mengikuti program kelas akting dengan om Didi Petet. Lalu saya mendapatkan kesempatan untuk tampil sebagai cover boy dalam majalah Aneka, lalu ditemukan dengan manager saya hingga saat ini dan dikenalkan ke dunia sinetron. Rasanya saat itu dunia film masih terasa di luar jangkauan. Mungkin setelah sekitar lima atau enam tahun, saya baru mulai memasuki dunia film dan bisa dibilang jatuh cinta.
HBI: Jadi antara FTV dan film, bisa dibilang sekarang Anda lebih memilih berkarier di dunia film? Apa ada genre favorit? Bagaimana dengan preferensi antara skrip orisinal dan adaptasi?
RS: Iya. Menurut saya, di setiap industri itu karakter orangnya beda-beda. Dari film, sinetron, sampai teater. Masing-masing ada cara-cara bicara dan sifatnya masing-masing. Kebetulan saya paling nyaman dengan orang-orang di lingkungan industri film. Kalau genre, saya paling suka drama dan action. In terms of script, masing-masing sebenarnya ada tantangan dan reward-nya sendiri. Cuman mungkin saya lebih bergravitasi pada skrip orisinal. Biasanya kerja sama dengan sutradaranya lebih eksploratif dan kolaboratif, bisa secara bersamaan membentuk karakter itu dari awal. Tapi dengan film adaptasi, novel misalnya, itu juga ada kesenangan sendiri karena biasanya film-film ini sudah digodok dengan matang dan waktu yang lama. Biasa sutradaranya juga sudah punya visi yang crystal clear mengenai arahan dan karakternya, which is interesting buat saya untuk kemudian menginterpretasikan.
HBI: Lebih pilih syut malam, atau pagi seperti kita sekarang ini?
RS: Malam sih pasti. Saya anaknya memang kalong. Biasa paling produktif dan berenergi itu jam 7 sampai 12 malam. Kalau sudah lewat jam dua pagi mungkin sudah agak capek. Tapi dulu pas masih di sinetron, pernah sih ngerasain jadwal syuting mulai dari jam 9 pagi sampai 9 pagi lagi. 24 jam! Bukan kejar tayang lagi, kadang rasanya kayak kejar setan.
Bukan kejar tayang lagi, kadang rasanya kayak kejar setan.
HBI: Anda juga sempat berkarier sebagai musisi di grup musik Arah. Apa itu akan ada kelanjutannya?
RS: Sebenarnya itu akarnya di sebuah proyek web series dengan nama yang sama. Lalu, long story short, direalisasikan dalam dunia nyata. Tapi hati saya tetap selalu kembali ke dunia akting. Menjadi aktor mengajarkan saya banyak hal tentang diri sendiri dan orang lain. Bagaimana menjadi manusia. Bisa dibilang akting itu menyelamatkan saya sih. Menariknya, web series Arah itu proyek serial pertama Sabrina (Rochelle) yang beberapa tahun kemudian mengajak saya lagi untuk bekerja sama, kali ini berperan di proyek film perdananya, Noktah Merah Perkawinan.
Menjadi aktor mengajarkan saya banyak hal tentang diri sendiri dan orang lain. Bagaimana menjadi manusia. Bisa dibilang akting itu menyelamatkan saya sih.
HBI: Adakah aktor atau sutradara yang Anda ingin ajak bekerja sama tapi belum dapat kesempatannya?
RS: Saya sangat suka Reza (Rahadian), tapi saya beruntung sudah bekerja sama dengan beliau sih. Mungkin Abimana, ya. Saya rasa pendalaman dia sangat hebat. Dari matanya saja sudah bisa kelihatan sedihnya. Untuk sutradara, saya ingin sekali bekerja sama dengan Joko Anwar, Timo Tjahjanto, dan Hanung Bramantyo.
HBI: Saat wrap syuting, atau mungkin setelah film tayang di bioskop, apakah ada ritual atau tradisi tertentu untuk merayakan?
RS: Enggak sih ya. Cuman saya biasa itu tanya-tanya opini dan kritik dari teman dekat, especially yang di industri. Kalau perihal jumlah penonton atau hal-hal seperti itu, saya tentu bersyukur kalau banyak yang nonton dan filmnya sukses. Tapi yang paling penting adalah reaksi dan input dari orang-orang sekitar saya yang memang saya percayai dan bisa konstruktif ke depannya.
HBI: Ganti arahan sedikit, Anda baru saja menikah di awal tahun ini. Apa rasanya sejauh ini? Ada pergeseran prioritas kah?
RS: Jujur banyak yang bertanya soal ini. Saya merasa tidak terlalu beda, masih seperti saat masa pacaran. Mungkin karena masih baru dan segar ya. Perbedaan utamanya adalah sekarang setiap pagi bangun ada sosok Icel (Michelle Tahalea). Lalu, yang di mana dulu saya kemana-mana sukanya sendiri, sekarang saya lebih suka kalau bersama Icel. Prioritas utama saya tetap nomor satu itu keluarga, yang di mana sekarang termasuk Icel, lalu karier, dan juga keuangan.
HBI: Selain modeling, sekarang Michelle juga merangkap menjadi aktor. Apakah ada dinamika tertentu di masa-masa persiapan film? Sering saling kritik atau memberi pendapat kah?
RS: Biasa saya selalu menunggu aba-aba dari Icel, atau kalau diminta pendapat. Karena menurut saya, aktor yang baru memulai biasa memiliki kemampuan berakting yang lebih natural dan autentik. Second nature mereka yang sesungguhnya itu bisa lebih terpancar. Kadang kalau sudah keseringan dan terlalu banyak main, ada kemungkinan tidak dapat “hati”nya. Kalau ditanya, saya baru memberi masukan. Kalau tidak, biasa saya membiarkan ia menjalaninya sendiri.
HBI: Apa yang Anda dan Icel lakukan untuk menghibur diri saat waktu senggang?
RS: Kita orangnya rumahan banget. Biasa hanya makan di rumah, ngobrol, lalu paling nonton. Netflix and chill aja. Santai, melakukan hal-hal biasa.
HBI: Apa yang menjadi pencapaian paling berarti bagi Anda sejauh ini?
RS: Yang selalu di hati itu FFI (Festival Film Indonesia.) Kalau lagi berkesempatan menghadiri, rasanya itu senang sekali. Senang bisa berhasil di bidang yang memang menjadi passion saya, dan saya dalami selama ini.