Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Ketika Kita Semua "Jatuh Cinta" Pada Fitur untuk Filter Wajah

Kehadiran filter dalam dunia digital tidak hanya menghadirkan penampilan cantik yang instan, tetapi juga kepercayaan diri yang menurun pesat.

Ketika Kita Semua

Berawal dari sebuah kesenangan, filter-filter lucu di Instagram, menambahkan bulu mata semakin lentik atau memberikan freckles palsu pada area wajah, dilengkapi penampilan wajah yang berkilau tanpa noda atau bekas jerawat. Namun, dengan cepat kesenangan tersebut memasuk teritori baru – mengubah tulang pipi, mempertegas garis rahang, serta menghaluskan kulit tanpa pori-pori seperti boneka.

Jika kita seolah "memfilter" diri sebelum masuk dunia online, masa pandemi mendorong semua orang mengenal sebuah dunia baru tentang peningkatan artifisial. Mulai dari rapat virtual melalui aplikasi Zoom di Senin pagi hingga pesta virtual melalui Instagram, kita tidak menghabiskan banyak waktu untuk memerhatikan kondisi wajah.

Layar telepon genggam kita menjadi cermin yang tidak pernah lepas dari genggaman, ditambah dengan koneksi yang terus terhubung membuat kekhawatiran meningkat terkait estetika atau penampilan diri. (Mungkin alis Anda terlalu lurus? Apakah kening Anda mulai terlihat kerutan?)

Secara digital, merias kembali wajah kita terasa seperti hal yang biasa, sekadar untuk menutupi beberapa isu-isu penampilan yang minor, semsal Anda sedang mengalami breakout atau menutupi discoloration tanpa harus menggunakan concealer, tetapi perilaku ini menjadi faktor terkait isu yang lebih besar.

“Tanpa ragu, media sosial berperan besar dalam kehidupan kita dan bagi banyak orang, termasuk semakin khawatir tentang pandangan pengguna media sosial terhadap penampilan kita,” ungkap Martina Paglia, psikolog dari The International Psychology Clinic. “Filter menjadi ruang umum para pengguna media sosial dan sayangnya, semakin jarang melihat – khususnya para perempuan – yang tidak menggunakan filter. Bahkan Zoom menghadirkan fitur penambahan filter.

Martina menekankan pentingnya dampak dunia yang penuh filter yang dialami oleh para pengguna internet, menurunkan kepercayaan diri seseorang sangat cepat. “Secara tidak sadar, kita diberitahu bahwa: sekali pun orang yang paling cantik tidak cukup sempurna untuk menunjukkan penampilan asli mereka. Kami semua ingin tampil sebaik mungkin, tetapi ketika menolak untuk tampil apa adanya, merupakan indikasi rendahnya kepercayaan diri dan menanamkan pola pikir bahwa Anda tidak merasa cukup baik untuk menerima diri Anda sebenarnya.”

Serial foto bertajuk Selfie Harm karya Rankin pada 2019 mengungkapkan kekhawatiran ini. Terlibat dalam proyek Visual Diet produksi M&C Saatchi dan MT Art Agency, sang fotografer meminta para remaja untuk melakukan photoshop pada foto-foto mereka sesuai dengan tingkat yang mereka anggap dapat diterima di media sosial. Ditempatkan berdampingan, foto sebelum dan sesudah adalah gambaran pikiran remaja yang mengalami masalah ketidakpercayaan diri yang tinggi.

“Filter pada kamera ponsel tampak menyenangkan dan tidak bermasalah, tetapi ada sisi gelap di baliknya dan itu menakutkan saya,” ungkap Rankin. “Dengan aplikasi seperti Facetune, Anda dapat melakukan perbaikan yang benar-benar mengubah siapa diri Anda. Pilihan untuk mengubah bagian pada wajah, menekan tombol simpan, dan menyimpan di galeri. Setelah disimpan, Anda akan melihat ‘wajah baru’ setiap kali membuka lensa kamera. Seolah-olah mendorong Anda untuk memodifikasi diri, mengajarkan orang-orang bahwa mereka tidak cukup bagus.”

Martina telah melihat dampaknya secara langsung, dengan peningkatan jumlah pasien yang menganggap bentuk tubuh tidak ideal sehingga mudah mengalami gangguan mafsu makan dan obsesi terhadap operasi plastik, ia mengungkapkan bahwa cara tersebut dianggap perbaikan terbaik. Namun, apa yang berusaha kita perbaiki dan mengapa?

“Lebih cepat untuk menggunakan filter, dibandingkan merias seluruh wajah.”

“Tentu, bukan tampilan luar yang perlu diperbaiki, tetapi emosi dan kepercayaan diri yang telah hancur oleh perlakuan masyarakat terhadap orang-orang yang dianggap penampilan fisiknya tidak sempurna,” jelas Martina.

Lebih cepat untuk menggunakan filter dibandingkan merias seluruh wajah, dan tentunya lebih mudah daripada menumbuhkan kepercayaan diri Anda. Dengan lebih banyak waktu yang kita habiskan di depan layar, mengirim kembali penerimaan diri ke tingkatan paling rendah dan cepat. “Semua terasa menyenangkan hingga tidak lagi terasa demikian,” tambah Rankin. “Kita perlu memikirkan bagaimana dan mengapa kita tertarik dengan aplikasi yang memberi ruang untuk modifikasi tampilan wajah. Di balik kesenangan dan keseruannya, hal ini benar-benar menakutkan.”

Kebangkitan operasi media sosial

Tentu, melihat diri kita dengan ukuran hidung yang lebih kecil, kulit lebih halus, atau alis yang rapi dalam sekejap mendorong peningkatan dari operasi wajah, apalagi sebuah studi terbaru menemukan bahwa pencarian terkait rhinoplasty dan operasi hidung tahun ini telah melampaui total pencarian tahun 2019 sejak akhir Juli.

Dokter kecantikan dan pemilik klinik estetika Victor & Garth setuju bahwa filter telah mengubah bagaimana pasien mereka memandang diri sendiri. Ketika sebelumnya, seorang klien masuk dengan membawa foto seorang selebriti, kini mereka membawa foto diri yang telah diedit menggunakan aplikasi filter. “Filter-filter ini membuat sebuah versi yang tidak realistis dari diri mereka, sebuah pandangan yang melenceng dari kesempurnaan. Tidak ada orang yang memiliki wajah simetris atau menjalani hari dengan wajah yang selalu berkilau, apakah kami harus terus berjuang untuk mencapai hal ini pada pasien kami?”

Selain itu, dengan peningkatan inovasi teknologi, standar kecantikan di media sosial semakin tidak realistis, kini aturan pada Instagram Face mendikte bahwa kami harus memiliki garis rahang yang tegas, mata simetris, serta kulit yang berkilau. Hal-hal ini tentunya tidak masuk akal: kulit tidak dapat (dan tidak seharusnya) tanpa pori, dan paha Anda tidak dapat memiliki ukuran yang sama dengan lengan Anda.

Namun tampilan visual seperti ini masih tertanam di alam bawah sadar kita, memutar pemahaman kita tentang kecantikan, dan mengurangi kepuasaan diri apa adanya. Jika berbicara tentang menghindari standar kecantikan yang baru, perlu melalui proses yang panjang.

Kematian nilai individualitas

Lebihnya lagi, fakta bahwa kita menginginkan tampilan wajah yang sama, berarti kita semua berjuang untuk menyesuaikan diri dengan definisi kecantikan yang serupa: mata yang besar, bulu mata yang panjang, dan bahkan bibir yang lebih tebal. Lalu, apakah peningkatan standar kecantikan di Instagram mendorong hilangnya individualitas? Hal ini dikarenakan peningkatan operasi kosmetik yang dinamakan "Kylie Jenner package" yang banyak diminati, dengan harapan klien mendapatkan penampilan wajah seperti Kylie, tanpa mementingkan apa yang harus diubah dari penampilan alami hingga struktur tulang mereka.

Bangkitnya mereka yang menentang

Tekanan untuk mencapai standar kesempurnaan dunia maya yang homogen mungkin semakin berat, tetapi ada ruang untuk melawan. Influencer tentang kepercayaan diri pada penampilan tubuh, Alex Light, menekankan pentingnya memerhatikan hal-hal yang Anda konsumsi.

“Saya sempat mengikuti akun-akun yang mengunggah foto hasil editan, dan kepercayaan diri saya sedang rendah saat itu. Saya terus menerus membandingkan diri saya dengan potret tidak realistis di media sosial. Ketika saya mulai memahami bahwa teknik editing sangat umum dilakukan, saya fokus untuk mengkurasi apa yang ada di laman saya, termasuk mengikuti yang mendorong penipuan digital dan mempromosikan kepercayaan diri terhadap tubuh.”

Ia mengatakan bahwa perubahan ini memberikan dampak besar bagi kesehatan mentalnya.

Lou Northcote telah menjadi perbincangan atas konten-kontennya yang jujur sejak meluncurkan tagar #freethepimple pada 2019. Sang model mengunggah foto dirinya tanpa filter yang berhasil menginspirasi banyak perempuan di seluruh dunia untuk meningkatkan hubungan mereka dengan kulit mereka sendiri. Hal serupa dilakukan oleh penata rias Sasha Pallari yang dengan cepat dikenal melalui kampanye #filterdrop yang dilakukannya, mendorong konsumen dan brand untuk kembali ke realita, dan membuat pengguna menyadari ketika sebuah filter telah digunakan untuk konten promosi.

Manfaat yang dirasakan dari perubahan dalam media sosial ini tidak hanya sekadar hal biasa, studi menunjukkan mengurangi penggunaan media sosial dapat bermanfaat bagi mereka yang mengalami masalah kekhawatiran dan suasana hati rendah. Martina adalah salah satu orang yang mengadvokasi tentang kembali mengontrol apa dan berapa banyak paparan konten online bagi Anda. “Sebagai seorang psikolog, serta menggali lebih dalam untuk mengetahui alasan utama di balik rendahnya kepercayaan diri klien saya dan membantu mereka beradaptasi dengan kritik yang ada di otak mereka, saya juga merekomendasi pengurangan konten digital setiap hari dan kembali menata apa yang Anda konsumsi di akun masing-masing, untuk mengikuti akun-akun yang tidak menggunakan filter dan mengirimkan pesan positif terhadap penampilan fisik. Saya mendorong para klien untuk memilih realita dibandingkan kebohongan.”

(Penulis: Roberta Schroeder; Alih Bahasa: Vanessa Masli; Artikel ini disadur dari BAZAAR UK; Foto: Courtesy of BAZAAR UK)