Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Apakah Social Distancing Baik untuk Jiwa Manusia?

Manfaat psikologis dari himbauan social distancing selama masa pandemi COVID-19.

Apakah Social Distancing Baik untuk Jiwa Manusia?
Social Distancing

Pada waktu yang sama tahun lalu, tidak ada yang pernah mendengar istilah social distancing. Kini, justru sebaliknya. Hanya sedikit orang yang tidak memahami istilah dan maknanya. Guna melindungi diri dari penyebaran virus yang mendominasi kehidupan sehari-hari, kita semua menghindari kontak langsung dengan orang lain. Masker wajah dan sarung tangan membantu mencegah penularan selagi lingkungan kita dalam proses memulihkan diri. Pita mengindikasikan jarak aman, tanda panah berwarna neon, serta stiker bergambar jejak kaki digunakan untuk menandakan zona wajib menjaga jarak aman sejauh dua meter.

COVID-19 telah menimbulkan perasaan kehilangan akan kontak fisik dan bagi mereka yang merasa terisolasi, regulasi tersebut tampak kejam. Mulai dari pemijatan bayi hingga dampak buruk dari Touch Starvation atau dikenal dengan skin hunger, kami paham keinginan untuk menyentuh. Dengan aturan mengurangi kontak fisik, berpelukan di tempat umum, berciuman, atau bersentuhan terasa sangat signifikan. Dalam sebuah acara The Touch Test yang diadakan sebuah media, Claudia Hammond melakukan investigasi terkait topik ini.


Meski terasa seperti sedang berada di Ikea yang dipenuhi dengan panah penunjuk  arah, saya senang dengan ruang yang didesain ulang dalam sistem kita, sebuah sistem yang mengutamakan keselamatan banyak orang sebagai prioritas. Selama masa lockdown dan seterusnya, saya sangat menikmati kelonggaran dari dunia baru ini. Mungkin, karena saya tinggal di London, sebuah kota yang dipenuhi lebih dari sembilan juta orang atau karena saya berasal dari keluarga yang sangat dekat tetapi saya merasakan banyak manfaat dari berjaga jarak.

Rasa lega tadi saya rasakan ketika tidak harus bersempit-sempit seperti seekor rusa ketika mengendarai transportasi publik atau mencium aroma tidak sedap. Berbelanja sebuah cinderamata terasa lebih menyenangkan, tanpa harus bertabrakan dengan orang lain, walaupun mengenakan masker. Saya merasa orang-orang lebih memerhatikan produk yang mereka beli dan juga lebih memerhatikan satu sama lain.

“Saya sangat menikmati kelonggaran dunia baru.”

Istilah psikologi terkait ruang pribadi adalah Proprioception dan seperti indra penglihatan maupun pendengaran, adalah sebuah indra kunci bagi manusia. Menurut Profesor Carolyn Mair PhD, psikolog yang menekuni perilaku dan penulis The Psychology of Fashion. “Proprioception adalah sikap dari tubuh kita terhadap ruang yang kita gunakan, dan dapat melindungi serta mengontrol apa pun yang memasukki ruang pribadi tersebut. Hal ini bersifat subjektif, jadi bagi mereka yang memilih menjaga jarak lebih jauh dari orang lain, perasaan ini bekerja sebagai pelindung yang tak terlihat.” Proprioception dibangun secara sosial dan budaya. “Masyarakat Inggris tradisional kerap lebih pendiam dan kaku, memilih berjabat tangan ketika berkenalan sedangkan masyarakat Eropa lain memilih untuk berpelukan atau mencium dalam situasi yang sama.”

Dalam satu budaya tertentu, menyentuh tubuh perempuan tanpa izin dianggap normal, ada beberapa budaya yang memiliki dimensi gender terhadap ruang pribadi. Menepuk bahu, arm squeezing, dan mengelus perut ibu hamil, tampak tidak berbahaya, tetapi di budaya lain dianggap tidak sopan. Menyentuh tubuh orang lain tanpa izin juga menjadi poin yang ditekankan dalam gerakan #MeToo dan telah memberikan kesempatan bagi perempuan untuk menyatakan ketidaknyamanannya. Menyentuh tanpa izin tidak harus harus berbentuk kekerasan seksual untuknya dianggap sebagai sesuatu yang salah atau tidak nyaman.

“Bagi mereka yang membutuhkan ruang pribadi lebih besar, situasi ini telah mengizinkan mereka untuk tidak menyentuh atau memeluk tanpa alasan. Sebelumnya, mereka dianggap kaku, sebuah anggapan yang sayangnya masih muncul. Menurut perspektif feminisme, saya dapat melihat social distancing dapat diterima, meski beberapa laki-laki merasa canggung ketika berpelukan, mungkin perasaan yang akan muncul atau ingin menampilkan sosok yang macho,” tambah Carolyn.

Virginia Woolf mengidentifikasi konsep A Room of One’s Own dalam esai yang diterbitkan pada tahun 1929. Ia mengemukakan bahwa perempuan membutuhkan ruang secara finansial dan fisik untuk berpikir secara bebas dan membuat sesuatu tanpa interupsi keseharian. Hampir satu abad kemudian, pemikirannya menggerakkan banyak perempuan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ruang pribadi adalah ruang yang juga bergerak bersama kita, ibarat sebuah gelembung transparan tetapi tidak bisa dilewati. Saya, sebagai salah satu anggota keluarga yang paling muda, kerap terlalu sibuk dan sangat aktif, satu-satunya tempat yang menjadi pelarian saya adalah sebuah loft yang dingin dan tidak nyaman, tetapi menjadi ruang bagi saya untuk tidak diganggu.

“Virginia Woolf mengemukakan bahwa perempuan memerlukan ruang finansial dan fisik untuk berpikir bebas dan berkreasi.”

Carolyn mengungkapkan bahwa menjaga jarak dan ruang pribadi tidak berarti kita tidak bisa dekat dengan orang lain. “Kita hanya perlu bekerja lebih keras dalam mengekspresikan diri dalam berbagai bentuk komunikasi: teknologi, kata-kata, suara, ekspresi wajah, dan gestur. Ketika menuliskan email atau pesan, gunakan fitur bold atau italic untuk mengekspresikan kata-kata kunci lebih efektif, atau menggunakan emoji untuk mengurangi ambiguitas pesan. Surat dengan tulisan tangan juga menjadi cara yang baik untuk menunjukkan rasa terima kasih serta meningkatkan kondisi mental baik pengirim maupun penerima.” Kelak COVID-19 menjadi sebuah kenangan, saya akan terus menjaga jarak saya, dan menolak untuk masuk ke dalam keramaian. Saya bukan ikan sarden, saya seorang manusia.

(Penulis: Nilgin Yusuf; Alih Bahasa: Vanessa Masli; Artikel ini disadur dari BAZAAR UK; Foto: Courtesy of BAZAAR UK)