Lewat busana, Lulu merangkai cerita tentang pengalaman dan perjalanan hidupnya. Perancang busana yang tinggal di Yogyakarta ini menghadirkan peragaan mode koleksi Spring/Summer 2020 bertajuk Sewindu Bercerita di Jogja National Museum (JNM) pada September 2019 kemarin dan melibatkan sekitar 50 peragawati. Tema besar yang dipilih, Sewindu Bercerita, menyelipkan nilai bersahaja yang sarat makna dan dekat dengan keseharian. Motif lurik dan batik tak lepas dari tangan pria yang membuka workshop dan butik di Pekaten Kotagede. Seperti motif Baur Rupa, Langit Senja dan Duka Luruh yang sangat ikonik. Lewat Sewindu Bercerita, Lulu mengajak para sahabat untuk merayakan doa dan gelap terang perjalanannya selama ini.
“Bagi saya, perayaan Sewindu Bercerita ini adalah momen syukuran dan doa bersama untuk merayakan rasa terima kasih, bahwa perjalanan berkarya selama delapan tahun ini telah memberikan banyak sekali pelajaran hidup dengan segala gelap dan terangnya. Fashion show yang disertai pameran karya berjudul Sewindu Bercerita dipilih karena dalam tiap koleksinya, Lulu selalu mengangkat cerita sederhana yang dekat dengan kesehariannya, sehingga narasi yang ia angkat menjadi tidak berjarak bagi penikmatnya.
Koleksi Sewindu Bercerita terangkum dalam 70 looks. Seluruh tampilan menggunakan motif-motif lurik dan batik yang pernah Lulu ciptakan, seperti Baur Rupa, Duka Luruh dan Langit Senja. Memang setiap motif lurik maupun batik yang diciptakannya selalu mempunyai nama yang sarat makna. Dengan tidak meninggalkan teknik draping (kain dapat dililit, ditumpuk atau diikat), serba longgar dan asimetris, Lulu mengolah kembali potongan lurik yang pernah diciptakan bersama batik sisa yang ia kumpulkan selama delapan tahun proses kreatifnya sebagai perancang mode.
Perca lurik dan batik dipotong kecil dan memanjang, kemudian ditenun kembali di antara benang pakan dan lungsi yang dikerjakan memakai ATBM (alat tenun bukan mesin) berbahan kayu yang bergerak secara manual dengan tenaga manusia. Menurut Lulu, menyatukan perca adalah cara menenun kembali kenangan, rasa dan cerita dalam gulungan kain, sehingga bisa membagi kenangan ini kepada semua orang yang memakainya.
Selain peragaan mode, Lulu Lutfi Labibi juga membuat pameran karya berkolaborasi dengan Santi Ariestyowanti dari kelompok seni Indieguerillas selaku Art Director pameran. Medium pameran dipilih untuk meruangkan karya-karya Lulu selama delapan tahun yang dibagi ke tiap ruangan di lantai pertama Jogja National Museum. Setelah beberapa koleksi awal, Lulu mulai menciptakan karya yang lebih personal dalam “Jantung Hati” (2015), “Gedangsari Berlari” (2016), “Hypecyclus”, sebuah kolaborasi dengan Indieguerillas (2017), “Perjalanan” (2017), “Tirakat” (2017), “Persimpangan” (2018), “Tepian” (2019), dan “Murakabi” (2019).
Di tangan Lulu, busana tak berhenti sebagai komoditas mode. Ia justru menjadikannya sebagai alat bernarasi dan menyampaikan gagasan, bahkan mungkin menyentil realitas sosial. Bagi Lulu Lutfi Labibi, mungkin tak soal apa pun medianya, ia akan selalu menemukan cara dan tempat untuk bercerita.
(Teks: Wenny Pramesti, Foto: Courtesy of Wenny Pramesti & Dok. Lulu Lutfi Labibi)