Kota Paris selalu siap membuka pintunya kepada para seniman yang akan berbagi visinya. Seperti contoh sebuah pameran yang diselenggarakan oleh l’Institute des cultures d’Islam yang berjudul Java – Art Energy, yaitu sebuah pameran kolektif seni kontemporer dari seniman-seniman Indonesia yang baru saja dibuka di awal musim gugur ini.
Melalui berbagai medium seperti instalasi, video, fotografi, komik, sampai lukisan, para seniman-seniman Indonesia ini mengolah kreatifnya dengan membawa berbagai pesan dan tema.
Mohamed Yusuf «Framer Framed» (détail)
© Maarten van Haaff
Linogravure sur papier, 2017
Bérénice Saliou yang menjadi komisaris pameran ini menjelaskan bahwa ia melihat dalam kancah seni di Indonesia, para seniman mempunyai energi kreatif dengan terus menerus berkarya dan berani, sehingga mereka menghasilkan karya-karya yang unik.
Komisaris muda ini lebih lanjut juga mengatakan, bahwa hampir tidak mungkin untuk membuat panorama art Indonesia. Sehingga dia lebih berkonsentrasi untuk kancah seni di Pulau Jawa yang menjadi pusat artistik dan ekonomi dengan banyaknya seniman yang beraktifitas.
Di malam pembukaan pameran itu, beberapa seniman khusus hadir dari Indonesia dan tampak berbaur dengan para undangan yang datang dari berbagai kalangan seperti para pecinta seni ,komunitas Indonesia di Paris dan juga jurnalis. Sekitar 13 karya dari seniman Indonesia digelar selama beberapa bulan seperti karya Eko Nugroho, Muhammad Ucup Yusuf, Agung "Agugn" Prabowo dan lain lain.
Beberapa karya memang khusus dibuat untuk acara ini, dan beberapa dari karya-karya tersebut juga merupakan pertama kalinya ditampilkan di Eropa. Sebut saja karya Eddy Susanto yang berjudul La liberté Giyanti, sebuah lukisan di atas kanvas dengan tinta China dan akrilik.
«La Liberté Guidant le peuple»
©Eddy Susanto
Lukisan ini yang mereproduksi lukisan Eugène Delacroix yaitu La liberté guidant, lukisan yang terkenal menjadi simbol republik Prancis, di mana terlihat pada sentral lukisan seorang wanita mengibarkan bendera di antara tumpukan prajurit yang wafat.
Eddy Susanto mengganti warna cat dengan tulisan-tulisan jawa berdasarkan puisi babad Giyanti oleh Yasadiputra di awal abad 19. Sebuah pendekatan dari dua kejadian yang berbeda zaman dan tempat tetapi mempunyai arti yang sama yaitu bersatunya rakyat melawan ketidakadilan.
Contoh lain, seniman Soni Irawan yang menutup sepotong fasad pojok gedung dengan papan- papan iklan dari Yogjakarta buatan tangan yang berbentuk grafiti, seperti: papan iklan kayu bertuliskan jual umpan pancing, permak jin, dan lain lain. Fasad gedung yang unik kontras dengan gedung batu khas Paris sehingga membuat sebuah panorama yang unik di distrik ini.
Instalasi seniman Mella Jaarsma, yang berjudul High Tea, di mana para penonton disajikan secangkir teh oleh 2 orang "pelayan" yang dituang dari teko yang dicat tangan dengan style Mooi Indië. Teh yang dibawa oleh VOC merupakan teh yang berkualitas, sedangkan saat itu, orang lokal hanya menggunakan teh yang kurang baik. Hanya saja hingga sekarang, teh berkualitas baik tidak banyak tersedia di Indonesia.
Traditional Medicine-Load Series
©Mella Jaarsm
Dengan membawa pandangan yang beraneka ragam seperti, ekologi, spritual, beban sejarah masa lalu, dan juga naiknya Islam radikal, seniman-seniman Indonesia memperkenalkan karyanya yang membuat tema pameran ini variatif.
Dengan preparasi sekitar 1 tahun yang lalu, Bérénice Saliou mengatakan bahwa dia tidak menemukan banyak kesulitan untuk pelaksanaan acara ini. Ada semacam semangat kolektif dari berbagai pihak yang mendukung agar pameran ini dapat berlangsung.
Di sebuah distrik di kota Paris di mana street art banyak menghiasi jalan-jalan, dengan populasinya yang beragam, pameran Java Art Energy dan berbagai acara akan berlangsung hingga 24 Febuari 2019 , yang menyangkup juga beberapa programasi film, workshop, dan lain lain.
«Jump for peace»
©Agung
Pochoir manuel, marbrure, dessin, peinture acrylique sur plexiglass, 2017
Mohamed Yusuf «Framer Framed» (détail)
© Maarten van Haaff
Linogravure sur papier, 2017
Memahami dan masuk ke dalam dunia seni Indonesia bukanlah sesuatu yang mudah, memperkenalkannya di Eropa juga diperlukan waktu dan kesabaran agar seniman-seniman Indonesia lebih mudah memasuki dan dihargai di dalam kancah internasional.
(Layout: Asya Hadisuryo; Foto: Courtesy of Rizal Halim)