Lewat kata sandi "jadilah diri sendiri," edbe menjelaskan mimpi berbasis siluet busana asimetris. Oleh Dewi Utari.
Terdiri dari empat susunan huruf, nama edbe (baca: e.di.bi) sudah tidak asing lagi di telinga. Dikenal sebagai lini kedua milik perancang busana kawakan, Eddy Betty, edbe mengambil jalur kontemporer dengan mayoritas material berupa kain batik, hasta karya pengrajin tradisional Indonesia. Khusus untuk pementasan Bazaar Fashion Celebration Langgam Tiga Hati pada 13 Desember 2011 lalu, edbe kembali hadir lewat kreasi elaborasi di ajang pentas penuh tradisi, dan Eddy kembali menafsirkan kreativitasnya di antara kreasi busana yang terbukti fleksibel untuk segala usia, jenis kelamin, dan siluet tubuh.
Tampil sebagai pembuka gelaran, secara bertahap edbe hadir menawarkan mimpi. Mimpi tersebut adalah refleksi Eddy ketika hendak menciptakan koleksi, bahwa tidak ada batasan dari segi garis jahit, dan tidak ada batasan untuk mengolah segala macam motif yang terbilang jenaka. Arti jenaka dalam kamus edbe adalah boneka Jepang, tribal, hingga bentuk nominal yang dicitrakan sebagai figur pemeran utama dari koleksinya. Meskipun demikian, nyawa di balik koleksi edbe tetap berupa kain tradisional, dan kali ini adalah batik Kudus dukungan Djarum Apresiasi Budaya yang diracik hingga tampil sangat kini.
Sebagai penetralisir efek tradisional yang kental, Eddy bersikap konsisten dengan meramu kreasi edbe dalam lingkup gaya racang ala Jepang. “Garis jahit khas Jepang yang tidak kaku secara otomatis membuat pernyataan mode yang khas, serta langsung menjadi pusat perhatian,” ujar sang desainer.
Apabila membahas lebih detail mengenai garis jahit edbe pada pergelaran akbar yang berlangsung di Ritz Carlton Jakarta Pacific Place pada akhir tahun lalu, maka asimetris adalah sebutan yang paling akurat. Terbukti koleksi busana yang terdiri dari gaun, atasan, hingga celana panjang, terkesan unik serta ‘di luar kotak’. Aksi jahit tidak sejajar, teknik patchwork yang dramatis, merupakan daya tarik edbe di antara paduan material sutra sampai katun berciri eyelet yang dijahit berdampingan dengan kain tradisional. Belum lagi hadirnya elemen ekstra seperti fringe yang semakin menegaskan koleksi edbe di jalur kontemporer.
“Tidak ada area abu-abu,” adalah sepenggal kalimat yang sempat dilontarkan oleh Eddy Betty tentang koleksi edbe yang terlahir menyandang ciri khas. Oleh karena itu Eddy Betty tidak pernah terbata-bata apabila hendak memilih pulasan warna di antara material kainnya. Sebut merah, hijau, biru, kuning, hingga hangatnya cokelat, menjadi pilihan Eddy Betty di antara koleksinya pada malam itu. Tanpa aturan keserasian, Eddy Betty mengolahnya secara tabrak motif dan tabrak warna di setiap potongnya.
Unik sekaligus ramah dipandang adalah kesan akhir yang terpancar dari seluruh koleksi edbe. Wacana berupa mimpi multi warna seakan bertugas sebagai angin segar dalam industri busana siap pakai nasional. Namun hanya intuisi Eddy Betty yang membuatnya semakin menarik, bahwa tidak ada rujukan pasti dalam mengawinkan setiap helai karyanya. Bagi Eddy Betty, edbe tercipta untuk semua orang yang notabene memiliki gaya serta selera berbusana yang tidak selaras. Maka pedoman “just be yourself,” adalah seruannya untuk peminat edbe se-Indonesia. ? Foto: Insan Obi, Rinal Wiratama