Selama bulan Maret ini, Harper’s Bazaar Indonesia terus memberikan dedikasi pada sineas-sineas Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan mengundang dan berbincang dengan berbagai aktor-aktris bertalenta Indonesia untuk turut menyuarakan aspirasi yang dimiliki.
Pada episode Brunch with Dave Hendrik kali ini, tamu yang dihadirkan adalah aktor muda Indonesia yang bakatnya tak perlu diragukan lagi, yaitu Giorgino Abraham.
Sesuai dengan edisi Maret yang fokus mengupas dunia perfilman, Dave Hendrik melontarkan berbagai pertanyaan seputarnya kepada sang aktor. Salah satu di antaranya adalah terkait ragam pengalamannya di dalam dunia seni peran, baik itu layar lebar maupun layar kaca.
Penasaran, Dave Hendrik bertanya pada aktor yang kerap dipanggil Gino ini, “Sudah banyak sekali filmografi yang Anda lakukan. Kalau diminta memilih, layar kaca atau layar lebar?” Giorgino menjawabnya dengan berkata, “Kalau harus memilih salah satu, jujur ini sangat sulit. Tetapi karena diminta untuk menjawabnya, aku memilih layar lebar,” jawab Giorgino dengan yakin.
Salah satu alasan utama dari pilihan tersebut adalah faktor karakter. Menurutnya, terdapat kontras besar antara karakter yang ia perankan di layar lebar dan layar kaca. Karakter untuk layar lebar yang lebih beragam membuatnya senang sekaligus tertantang.
“Aku menemukan karakter-karakter yang sangat kontras dengan karakter-karakter yang aku temukan di layar kaca. Bukan berarti aku memihak bahwa layar lebar lebih bagus daripada layar kaca, karena aku belajar banyak tentang akting dan pendalaman dari layar kaca,” jelas pria yang menghabiskan empat tahun masa kecilnya di Australia ini.
“Aku lebih suka dengan layar lebar karena karakter-karakternya lebih diulik, dan itu terasa seru bagi seorang aktor. Kita lebih ada diskusinya, berani untuk keluar dari jalur, dan take the risk. Itu semua bisa aku rasakan di layar lebar,” lanjutnya.
Walaupun begitu, ia tak ragu untuk mengakui bahwa ia mencintai keduanya, baik layar lebar maupun layar kaca. Hal tersebut dikarenakan oleh keunggulan yang dimiliki masing-masingnya.
Untuk layar lebar, keunggulan yang ia temukan adalah perihal timeline atau penjadwalan. Proyek layar lebah telah memiliki penjadwalan yang lebih tertata dan terstruktur, jika dibandingkan dengan layar kaca, mulai dari tanggal untup tiap shooting-nya, pembacaan naskah, hingga masa promosi.
“Semua sudah disiapkan timeline-nya. Which is good karena kita bisa melihat semua bayangannya dan mempersiapkan segala hal untuk proyek ini,” ungkap aktor yang membintangi serial Turn On.
Namun, di sisi lain, layar kaca juga memiliki kelebihan yang tak bisa didapatkan dari layar lebar. Salah satunya adalah belajar untuk serba instan dan cepat. Berbagai tayangan layar kaca erat kaitannya dengan istilah kejar tayang, di mana banyak hal perlu diselesaikan dalam rentang waktu yang sempit. Melalui kondisi tersebut, aktor-aktris diminta untuk mampu menyesuaikan diri sehingga meningkatkan keterampilan mereka dalam berbagai hal, seperti perubahan emosi, penghafalan naskah, dan stamina.
“Sering sekali kita bertemu dengan momen di mana kita shooting hari ini dan hari ini kita baru terima skenario, misalnya (berisi) 60-70 scene. Kita harus bisa cepat-cepat mengerti jalan ceritanya dan hafal dialognya. Di hari yang sama kita mengeksekusi adegan tersebut,” papar Giorgino.
“Kita terlatih untuk switch emotion dengan cepat. Dengan waktu yang sangat singkat, intens, dan hectic. Terkadang, di scene ini harus nangis dan sedih, tetapi setelah itu akan ketemu scene di mana harus merasa senang-senang saja,” tambahnya.
Simak cerita Giorgino Abraham selengkapnya di tayangan Brunch with Dave Hendrik pada kanal YouTube Harper's Bazaar Indonesia.
(Penulis: Fatimah Mardiyah; Foto: Courtesy of Instagram)
Baca juga:
Sebelum Menekuni Dunia Akting, Ternyata Giorgino Abraham Ingin Menjadi Atlet Sepak Bola
Jika Diberi Kesempatan, Giorgino Abraham Ingin Berakting dalam Film Internasional
Giorgino Abraham Mengklarifikasi Hubungannya dengan Clara Bernadeth dan Membahas Seputar Pasangan Hidup Ideal Baginya
Menurut Giorgino Abraham, “Hidup Enak dan Mudah” Adalah Mispersepsi Terbesar terhadap Generasi Milenial