Menuturkan Perjuangan Sultan Agung dalam Film

Seperti apa cara Hanung Bramantyo menarasikan sejarah lewat format film drama kolosal?



Tentu tidak mudah untuk menuturkan rangkuman peristiwa sejarah yang telah terjadi berabad-abad lamanya dalam sebuah film berdurasi dua jam. Tantangan inilah yang dihadapi oleh sineas Hanung Bramantyo dengan film terbarunya yakni Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, dan Cinta.

Dibintangi oleh Ario Bayu, Adinia Wirasti, Putri Marino, Marthino Lio, Lukman Sardi, Meriam Belina, dan Christine Hakim, film ini mencoba untuk mengupas seluk beluk kehidupan dan perjalanan Sultan Agung sebagai sosok pemimpin dari Mataram yang berjuang melawan Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC).

Film diawali dengan kisah kehidupan Sultan Agung muda atau Raden Mas Rangsang yang diasingkan ke sebuah padepokan untuk menimba ilmu. Di padepokan ini, identitasnya sebagai keturunan raja harus dirahasiakan. Ia pun berkawan dengan seorang perempuan tangguh bernama Lembayung yang tak lain adalah tokoh fiktif untuk mewarnai film semi-biopik ini.

Raden Mas Rangsang harus segera meninggalkan padepokan pasca wafatnya sang ayah, Panembahan Hanyokrowati. Ia pun lantas menyandang gelar Sultan Agung Hanyakrukusuma dan menggantikan peran sang ayah sebagai pemimpin Mataram dalam usia yang masih muda belia.

Sultan Agung mengemban sebuah tugas besar semasa kepemimpinannya yakni menyatukan adipati-adipati di tanah Jawa yang tercerai-berai oleh politik VOC yang dipimpin Jan Pieterszoon Coen. Perjuangannya tentu tidak berjalan mulus karena ia harus berhadapan dengan sejumlah pengkhianatan dari berbagai pihak.

Dibantu oleh kawan lamanya, Lembayung, Sultan Agung terus berjuang untuk memenangkan perlawanan terhadap kolonial Belanda yang berpusat di Batavia. Mengikuti perjalanan perjuangan Sultan Agung akan memberikan gambaran kualitas heroik apa yang kemudian menjadikannya sebagai salah satu pahlawan nasional.


Film ini bukanlah kali pertama Hanung Bramantyo mendokumentasikan kisah sejarah dalam medium populer seperti film layar lebar. Sebelumnya ia telah memfilmkan biografi pahlawan nasional lainnya seperti Soekarno maupun Kartini.

Kehadiran sosok Lembayung sebagai tokoh fiktif terasa bagaikan bumbu penyedap yang memberikan impresi tersendiri pada film kolosal satu ini. Hanung menggambarkan Lembayung sebagai perempuan Jawa yang kuat, mandiri, cerdas, dan pandai bertarung.

Ditambah dengan kemampuan akting yang cemerlang dari dua pemeran Lembayung yakni Adinia Wirasti dan Putri Marino, sosok Lembayung pun terasa pantas untuk dinobatkan sebagai pahlawan dan pendekar yang sesungguhnya.

Dengan segenap kompleksitas narasi sejarah yang ingin disampaikan, usaha Hanung Bramantyo untuk menyederhanakan kisah sejarah lewat film patut diapresiasi. Ini adalah bentuk penghormatan akan sejarah bangsa yang dapat dilakukan oleh generasi penerusnya.


(Foto: dok. Mooryati Soedibyo Cinema, courtesy of Putri Marino)