6 Seniman di Balik Tas Capucines Louis Vuitton

Louis Vuitton menggandeng 6 seniman berbeda untuk mengkreasikan koleksi Tas Capucines terbaru.



Louis Vuitton sudah berkali-kali melakukan kolaborasi, dari merek streetwear Supreme hingga bersama Virgil Abloh ‘Si Raja Kolaborasi.’ Namun, lewat karya ikonis Nicolas Ghesquiere selaku direktur kreatif Louis Vuitton, kolaborasi terbaru ini dilakukan bersama 6 seniman berbeda untuk menciptakan kreasi tas Capucines terbaru. Enam seniman ini adalah Jonas Wood, Nicholas Hoblo, Tschabalala Self, Urs Fischer, Sam Falls dan Alex Israel.

Simak sesi tanya jawab bersama 6 seniman yang telah Bazaar rangkum berikut:

Jonas Wood


Apa yang memicu keinginan Anda untuk menjadi visual artist?

Jonas Wood (JW): Saya hidup bersama kakek saya dari kecil, dan ia adalah seorang kolektor seni. Selain itu, ayah dan ibu saya pun memiliki ketertarikan pada dunia seni yang membuat keduanya bertemu di sekolah seni di Yale. Berada di lingkungan ini memicu saya untuk menjadi visual artist.

Ceritakan tentang beberapa tema yang menjadi inspirasi karya Anda!

JW: Ketika saya lulus, saya memutuskan untuk melukis seperti para pelukis favorit saya. Maka dari itu, saya melukis hal-hal yang menarik perhatian saya. Istri saya adalah seorang perajin keramik, jadi saya juga suka melukis bejana karyanya sebagai objek still-life.


Nicholas Hlobo


Apa yang membuat Anda tertarik menjadi visual artist?

Nicholas Hlobo (NH): Sebelum menjadi seniman, saya bekerja di pabrik semen di Afrika Selatan. Saya selalu menggambar, dan salah satu kolega saya berkata kepada saya, "Nak, Anda berada di tempat yang salah.” Ia adalah satu satu orang yang memengaruhi keputusan saya untuk belajar seni, dan pada akhirnya saya memulai perjalanan menjadi seorang seniman.

Ceritakan proses kolaborasi Anda bersamaatelier Louis Vuitton di Prancis?

NH: Bagi saya, proses kolaborasinya adalah tentang menyatukan dua dunia yang berbeda. Louis Vuitton memiliki gagasan tentang kecantikan dan kesempurnaan. Saya memiliki standar tentang kesempurnaan itu sendiri, tetapi pendekatan saya tentang kecantikan ituberbeda: Saya lebih penasaran tentang keburukan yang ada tetapi tidak terlihat, namun tetap mampu memancarkan kecantikan. Karenakecantikan fisik manusia tidak selalu ditentukan oleh permukaan kulit; jadi lebih ditentukan oleh apa yang terjadi di bawah permukaan.


Tschabalala Self


Apa yang menjadi pedoman Anda ketika mau mengangkat tema untuk berkarya?

Tschabalala Self (TS):Saya sudah membaca beragam referensi dari pemikiran para aktivis yang tertulis pada buku-buku tentang feminisme dan identitas politik. Tema karya saya pun perlahan tumbuh dari situ dan juga dari diskusi secara akademis bersama teman-teman saya. Inti dari pernyataan misi artistik saya didasarkan dari pengalaman pribadi, dan apa yang ingin saya capai dalam tiap karya saya.

Bolehkan Anda menggambarkan secara spefisik tentang kolaborasi Anda dengan Louis Vuitton?

Tschabalala Self (TS): Saya sangat senang bisa bekerja sama dengan Louis Vuitton dan bisa mengolah berbagai macam bahan eksotis, kulit dan juga warna. Selain itu, saya juga kagum dengan hasilnya yang begitu akurat dan sesuai ekspektasi seperti padaproposal saya.


Urs Fischer


Tas Capucines hampir seperti ‘benda yang baru ditemukan’, kanvas kulit yang polos. Apa yang ingin Anda tambahkan secara fisik?

Urs Fischer (UF): Ada 6 elemen yang ingin saya gantungkan sebagai dekorasi pada tas Capucines. Elemen ini terdiri dari berbagai macam sumber, dari alam seperti buah-buahan, sayur-sayuran, telur, dan benda-benda buatan manusia seperti sepatu kets atau ban mobil. Beragam benda yang saya pilih memiliki bentuk yang unik dan sempurna, jadi tidak ada yang perlu ditambah atau dimodifikasi.

Apakah Anda melihat proyek ini sebagai karya seni atau fashion?

Urs Fischer (UF): Saya tidak mengenali batas antara karya seni atau fashion. Jika saya berpikir tentang seni, saya biasanya tidak memikirkan karya individu, tetapi tentang orang-orang yang berkarya selama hidup mereka. Sementara fashion memiliki pergantian yang jauh lebih cepat dan pada dasarnya seperti buah, Anda berpakaian lewat gaya untuk berkomunikasi. Jadi, itu merupakan komunikasi secara fisik.


Sam Falls


Apa yang menjadi inspirasi Anda dalm menentukan tema dalam berkarya?

Sam Falls (SF): Alam. Walaupun tidak disengaja awalnya, alam langsung menjadi subjek yang penting bagi saya setiap mau memulai proyek baru. Medianya berubah, tetapi konsepnya tetap sama sehingga saya bisa pergi ke tempat-tempat yang berbeda seperti padang pasir, tepi laut atau pegunungan.

Ceritakan elemen terpenting dalam proses kolaborasi ini?

Sam Falls (SF): Elemen yang paling menyenangkan adalah saya dapat merasakan akses Louis Vuitton terhadap bahan dan proses di dunia tekstil. Mereka juga mengirimkan sampel linen dan sulaman tangan yang sangat cantik. Kami mulai dengan mereplikasi beberapa tanaman menggunakan sulaman, lalu mengembangkan prosesnya menjadi bagian dari permukaan tas.


Alex Israel


Apa yang menginspirasi Anda dalam berkarya?

Alex Israel (AI): Los Angeles adalah jantung dari pekerjaan saya. Kota ini didorong oleh inovasi dan imainasi, dan banyak sekali hasil kreatif terus-menerus dihasilkan di sana. Kota ini juga adalah tempat orang-orang menemukan jati diri dan dimana everything is possible. Perasaan bahagia yang dikelilingi oleh kreativitas sehingga menjadi inspirasi bagi saya dan karya saya.

Ceritakan tentang kreasi Anda untuk Tas Capucines ini?

Alex Israel (AI): Saya merasa bahwa gelombang itu membutuhkan papan selancar untuk melengkapinya, jadi saya menambahkan sepasang sirip pada siluet tas Capucines. Sirip tersebut juga bisa menjadi cermin dan juga sisir, keduanya dapat dilepas. Ada satu elemen terakhir yang saya tambahkan ke dalam interior tas, yaituSelf-Potrait saya. Itu tidak langsung terlihat jelas karena seakan tersembunyi dan berada di balik ritsleting sebagai signature rahasia.


(Penulis: Evelyn Sunyoto; Foto: Courtesy of Louis Vuitton)