Batik dan fashion. Fashion dan batik. Sekadang keduanya bisa bersatu, fashion bisa memberikan gaya dan batik memberikan motif, warna dengan latar budaya.
Gerimis turun di kota Paris, tapi tidak menghalangi keinginan tamu-tamu untuk memenuhi ruang di kantor pusat UNESCO. Malam di awal bulan Juni ini, adalah malam pembukaan pameran Batik for the World atau judul dalam bahasa Prancis Le Batik S’ouvre au Monde, sebuah acara untuk peringatan 9 tahun batik Indonesia diakui menjadi warisan tak benda oleh UNESCO.
Sebuah persembahan tari Gebyar Batik dari grup Joged Nusantara ,dilanjutkan oleh kata sambutan dari Duta besar Indonesia, yaitu Bapak Hotmangaradja Pandjaitan dan M. Ernesto Renato Ottone Ramirez dari UNESCO membuka acara tersebut.
Beragam koleksi dari tiga perancang busana Indonesia hadir di atas pentas diiringi oleh musik modern dengan sentuhan nada-nada tradisional.
Mereka adalah Denny Wirawan, Edward Hutabarat. dan Oscar Lawalata.
Tampilan pertama adalah koleksi baju pengantin resort dari Edward Hutabarat yang unik dan romantis. "Setelah pengalaman saya membuat baju pengantin, ternyata pengantinnya jadi kelelahan, tenaga banyak keluar, uang juga keluar. Lalu kenapa tidak santai saja ?
Bagaimana jika membuat perkawainan dengan disaksikan alam seperti di Labuan Bajo ataupun di Capri, kemudian disaksikan bulan, bintang, dan tamu-tamu yang datang adalah orang-orang terdekat,
simple dan happy, show your love, that’s the era now"tutur Edo menjelaskan konsepnya langsung kepada Bazaar.
"Batik pesisiran ini adalah batik pantai, dan saya kembalikan lagi untuk di pakai di pantai" katanya sambil tersenyum.
Sedangkan gaya timeless dari Oscar Lawalata yang tampil chic dan elegan kali ini mengambil batik dari Jawa Timur. Di antaranya daerah Sidoarjo, Trenggalek, Kediri, Gresik, Madura, dan Ponorogo.
"Saya menggunakan warna-warna alam dan saya susupkan embroidery, sehingga koleksi ini bisa kita mix and match, dan batik jadi kelihatan 'ringan', mudah dipakai untuk musim panas," kata Oscar yang malam itu mengenakan jas hitam pendek dengan lilitan sarung batik.
Lain lagi dengan Denny Wirawan yang membawa delapan tampilan busana untuk evening wearbertema Wedari atau taman bunga yang merupakan motif asli dari Kudus, yang mana motif ini pernah berjaya di tahun 1920 -1950.
"Saya bangga sekali bisa membawa budaya Indonesia terutama batik. Saya kurang lebih sudah empat tahun berkerja sama dengan Bakti Budaya Djarum Fondation untuk mengangkat batik Kudus yang hampir punah, agar bisa lebih terkenal di Indonesia dan juga di dunia," cerita Denny Wirawan.
Coat, cape, pita oversize dengan paduan warna merah dan hitam dengan motif-motif besar, dan lilitan aksesoris karya EPA jewel memberi sentuhan yang feminin untuk koleksi ini.
Prakarsa dari Oscar Lawalata di dua tahun lalu, menyatakan bahwa untuk membawa konsep pameran ini menurutnya tidak mudah, karena UNESCO sendiri sangat selektif dalam pembuatan pameran.
"Bagaimana saya bisa membuat pameran heritage yang dimulai dari teman-teman pengrajin sampai ke teman-teman designer, bagaikan sebuah kompilasi bagaimana batik dibentuk dari proses budaya tradisional, produk pengrajin hingga menjadi produk fashion," ujar Oscar Lawalata di akhir acara.
Ketika saya bertanya, berapa jumlah orang yang datang dari Indonesia untuk kesuksesan acara ini? Oscar lantas menjawab sambil tersenyum, "mungkin sekitar 50 orang."
Sebanyak 100 batik dari Indonesia digelar dalam ruang pameran UNESCO selama satu minggu, yang memperlihatkan keragaman batik Indonesia serta kain tradisional yang ada sejak abad 17.
Kehadiran tamu-tamu di malam itu dan decak kagum atas 'savoir faire' artisanal Indonesia, seolah memperlihatkan bagaimana antusiasnya publik di Paris, semoga acara ini bisa menjadi parameter bagi industri batik dan fashion Indonesia di Prancis atau bahkan di dunia.
(Layout: Yellsa Nurilla; Foto: Courtesy of Rizal Halim)