Sebagai sebuah daerah istimewa yang gigih dalam upaya melestarikan kebudayaannya, Yogyakarta selalu mendapat sorotan, dan mau tidak mau juga dianggap sebagai panutan bagi kota-kota lain di Indonesia.
Bazaar pun berkesempatan mewawancarai GKR Mangkubumi, putri pertama Sri Sultan Hamengku Buwono X, untuk melihat Yogyakarta dari sudut pandang salah satu tokoh utama dari kerajaan ini.
Harper's Bazaar Indonesia (HB): Apa arti dari menjadi anak pertama Sultan Hamengku Buwono (HB) X? Apakah ada perbedaan peran antara Ibu dan adik-adik Ibu?
GKR Mangkubumi: Peran itu banyak diberikan kepada saya setelah menikah, dan tentunya tanggung jawabnya lebih besar daripada adik-adik saya. Saya bertanggung jawab atas, antara lain, upacara-upacara yang sifatnya disokong oleh wanita, seperti persiapan makanan, labuhan, dan Isra Miraj. Saya menjabat sebagai Lurah Putri, seperti ibu saya. Bedanya, ibu saya membawahi perempuan (istri dan ipar-ipar) dari Sultan HB I sampai Sultan HB X. Sedangkan saya membawahi anak-anak perempuan dari Sultan HB I sampai Sultan HB X.
HB: Apakah semua tugas-tugas itu masih dilakukan sampai sekarang, dan adakah tugas tambahan lain?
GKR Mangkubumi: Tentu masih. Organisasi di dalam keraton mirip dengan struktur pemerintahan, ada presiden, menteri-menteri, dan lain-lain. Di keraton yang duduk sebagai penghageng (menteri) adalah anak-anak sultan. Karena anak Sultan HB X ada lima, jadi sekarang ada lima departemen, dan saya duduk di dalam departemen Kawedanan Hageng Parwo Budoyo, yang tugasnya melestarikan dan mengembangkan seni budaya tradisi, menjaga dan merawat makam, petilasan, dan masjid milik keraton.
HB: Apa saja pekerjaan atau kegiatan Ibu di luar tugas-tugas keraton?
GKR Mangkubumi: Saya aktif di bidang sosial, karena saya memang memilih untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Saya juga aktif di organisasi-organisasi nasional, yaitu sebagai pembina di KNPI, Karang Taruna, dan beberapa yayasan bidang pendidikan dan lingkungan. Sedangkan organisasi di mana saya turun langsung sebagai ketua adalah di forum CSR Kesejahteraan Sosial Nasional di bawah Kementerian Sosial. Saya bersama beberapa dokter juga mendirikan Yayasan Lupus, karena kami prihatin di Yogyakarta penderita lupus itu meningkat. Tidak hanya itu, HIV/AIDS juga meningkat, kanker kasus tertinggi, sakit jiwa juga. Kasus bunuh diri juga tinggi. Kalau untuk yang satu itu saya masuk sebagai pribadi, karena ingin mengabdikan diri di situ.
HB: Ibu pernah membawa proposal untuk menjadikan DI Yogyakarta sebagai provinsi cyber pertama di Indonesia, pada event The Education World Forum 2012 di London. Bisakah dijelaskan tentang provinsi cyber ini?
GKR Mangkubumi: Cyber province sudah dicanangkan ayah saya sejak tahun 2012, karena di Yogyakarta ada banyak anak muda dan IT cukup maju. Karya-karya yang dihasilkan oleh mereka juga sudah cukup membanggakan, contohnya film-film animasi yang viral dan digemari sampai ke manca negara. Industri ekonomi kreatif di Yogya juga salah satu yang tertinggi di Indonesia, bersaing dengan Bandung. Jadi potensi industri ekonomi kreatif inilah yang ingin digerakkan.
HB: Seperti apa support yang diberikan oleh keraton Yogya?
GKR Mangkubumi: Kami bantu mempromosikan potensi-potensi tersebut, terutama ke sister province Yogya, antara lain yang ada di Jepang, Korea, China, dan Amerika Serikat (California). Basis dari sister province ini adalah pendidikan, seni dan budaya, ekonomi, dan mereka menjadi yang utama dalam men-support DIY dengan berkolaborasi.
HB: Bagaimana keraton memanfaatkan internet, yang adalah teknologi modern, untuk melestarikan budaya Yogya?
GKR Mangkubumi: Keraton sekarang lebih terbuka, dalam arti kami sudah mempunyai media sosial yang kami pergunakan untuk mensosialisasikan, menginformasikan, dan memberi edukasi kepada masyarakat luas tentang tradisi budaya yang ada di keraton Yogyakarta. Itu semua bisa dilihat di Twitter, Instagram, dan Facebook lewat akun@kratonjogja. Yang mengerjakan adik saya, GKR Hayu.
HB: Apa visi Ibu untuk Yogyakarta di masa depan?
GKR Mangkubumi: Sebagai pekerja sosial, saya ingin permasalahan sosial makin berkurang, dan Yogya tetap menjadi City of Tolerance. Walaupun Yogyakarta sebagai small Indonesia, Kota Pelajar, dan tujuan wisata, tentunya tidak terhindar dari permasalahan sosial dan lingkungan. Kami juga sedang memperjuangkan Yogyakarta menjadi World Heritage, mengingat banyaknya tradisi yang masih dipegang teguh, mempunyai filosofi yang tinggi, yang masih kami pegang sejak Sultan HB I.
(Wawancara lengkapnya dimuat di majalah Harper’s Bazaar Indonesia edisi April 2018)
(Foto: Rakhmat Hidayat.Stylist: Ardhana Utama. Makeup & Hair: Team Artistik Sariayu Martha Tilaar menggunakan Color Trend 2018 Inspirasi Jakarta)