Isu Sustainability di Industri Modest Wear yang Perlu Anda Ketahui

Kini dunia global tengah menggaungkan isu sustainability di berbagai elemen kehidupan, termasuk di arena modest wear.

Courtesy of Purana


Kiprah berbusana santun dan bersahaja atau yang dikenal dengan istilah modest fashion semakin berkembang pesat dari sisi kreativitas dan bisnis. Hal ini terbukti dengan tingginya minat kaum urban melalui mesin pencarian Google dengan kata kunci “modest fashion” yang terus meningkat.

Fenomena tersebut tentu tak lepas dari fakta bahwa menguatnya daya beli wanita dari segala religi di dunia untuk tampil lebih modis dengan gaya modest, yang sekarang ini bukan sekadar untuk mewartakan tradisi keyakinan menutup diri dari ihwal duniawi, tetapi sudah menjadi pilihan gaya hidup berpenampilan sehari-hari.

Terbukanya dunia fashion terhadap modest wear memang sudah sejak lama. Terlebih dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah brand pun telah membidik modest fashion sebagai peluang bisnis.

Dari rumah mode ternama seperti Dolce & Gabbana, Tommy Hilfiger, dan Oscar de la Renta, kemudian label fast fashion seperti H&M, mereka memproduksi siluet abaya, hijab, maupun gaun tertutup dengan unsur kesederhanaan, hingga Nike yang pernah meluncurkan koleksi Pro Hijab.

Modest wear yang tengah hadir seolah menjadi cermin dari dunia mode universal, di mana banyaknya label busana santun dari berbagai kelas hingga melahirkan perhelatan panggung mode khusus modest, terutama di Indonesia. Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia atau APPMI misalnya. Organisasi ini sempat menyelenggarakan Indonesia Islamic Fashion Festival selama beberapa tahun.

Kemudian Muslim Fashion Festival (Muffest) pada tahun 2016 dan Modest Fashion Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF). Tak hanya merangkul berbagai segmen dalam pasar mode santun, sederet brand maupun desainer Tanah Air juga terlihat menyasar demografi wanita yang peduli pada isu sosial seputar bisnis mode.

Sejak label pakaian jadi seperti H&M, Zara, dan Topshop mengguncang bisnis mode dengan pakaian murah bervolume besar (fast fashion), kritik membanjiri industri mode atas penggerusan sumber daya lingkungan dan penekanan tarif pekerja.

Ide slow fashion atau sustainable fashion lantas mulai dilambungkan. Sebuah model bisnis yang selain lebih sadar lingkungan dan manusiawi, juga memungkinkan desainer lokal bersaing dengan label global.

Kini, tidak sedikit desainer Indonesia serta label modest fashion lokal yang mengarah pada konsep sustainable fashion. Ya, meski belum 100 persen sustainable tapi setidaknya sudah banyak yang peduli untuk menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan, seperti penggunaan serat alamani dibanding serat sintetis. Karena tentu saja, serat alami lebih mudah dicerna oleh bumi, dan ketika ia menjadi sampah atau buangan tidak perlu membutuhkan waktu beratus-ratus tahun lagi untuk dicerna oleh bumi.

Serat alami itu seperti rayon, viscose, katun, dan sutra. Namun sutra sebetulnya masih kontradiktif karena bisa dibilang ia juga merusak siklus hidup dari kepompong menjadi ulat sutra dan kupu-kupu. Selain itu, ada pula opsi lain dalam mendukung konsep ini, yaitu dengan pemanfaatan bahan baku lokal atau kain tradisional.

Di mana hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan bagi setiap perajin, sekaligus sebagai cara untuk melestarikan wastra Indonesia.

“Kenyataannya, untuk dapat mengeklaim kalau brand kita itu 100 persen sustainable nampaknya masih sulit, ya. Karena konsep ini juga harus mendapat sertifikasi bahwa materi yang digunakan benar-benar organik katun misalnya. Sehingga menurut saya, pendekatan lain agar dapat ‘cap’ sustainable itu bisa dengan cara me-repurpose kain tradisional dan menggunakan teknik pewarnaan alam seperti yang saya terapkan pada Purana. Selain itu, kita juga bisa mengusung desain koleksi yang seasonless sehingga bisa bertahan minimal 5 tahun lah. Supaya bisa jadi koleksi yang collectable items,” ungkap Nonita Respati, desainer dari label Purana yang modest friendly.

Ya, jika ditelusuri, kesadaran untuk memperkenalkan koleksi pakaian modest yang diproduksi secara berkelanjutan dan ramah lingkungan memang sudah terlihat. Dalam artian, prosesnya tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sekitar.

Salah satunya dengan penggunaan pewarna alam pada proses pewarnaan kain, proses batik, dan pembuatan kain tenun. Dalam proses produksi ini kematangan konsep yang dapat meminimalkan limbah atau sisa kain pun turut diperhatikan. Mulai dari membuat pola yang tidak membuang banyak bahan, hingga memanfaatkan sisa bahan kembali.

Dalam menyasar isu ini, sejumlah perusahaan tekstil juga turut andil dalam menawarkan material yang digadang ramah lingkungan. Tidak hanya ramah lingkungan dalam tiap rantai produksi, tetapi dilengkapi pula dengan beberapa sertifikat pendukung. Seperti yang ditawarkan oleh Lenzing Group, produsen serat alami untuk tekstil Tencel™ yang berkolaborasi dengan sejumlah desainer modest untuk memenuhi kebutuhan konsumen akan pakaian nyaman dan adem yang cocok dengan cuaca tropis di Indonesia terutama saat masa pandemi ini. Kemudian produsen serat viscose rayon, Asia Pacific Rayon (APR) sebagai penjembatan antara penyalur dengan desainer untuk dapat mengolah serat tekstil menjadi koleksi yang menarik, dinamis, dan urban.

Lantas, apa sebenarnya serat viscose rayon? Definisi dasar rayon adalah serat yang bisa didapatkan dari selulosa atau serbuk semua jenis kayu, termasuk bambu. Viscose lebih khususnya adalah rayon yang berasal dari pohon akasia, dan lebih populer di Amerika Serikat.

Karena lentur dan halus namun tidak rapuh, serat rayon banyak diolah menjadi beberapa merek dagang seperti Modal, yang sering didapati pada baju yoga premium, dan Tencel, yang dipakai Sejauh Mata Memandang untuk sejumlah koleksinya. Oleh sebab itu untuk mendukung popularitas serat tekstil yang ramah lingkungan, diperlukan kerja sama lintas sektor dan kesadaran para desainer. Seperti Ali Charisma yang turut menunjukkan kepiawaiannya di atas material viscose rayon dengan layering tertata dan teknik kerut yang halus. Tetap santun tanpa keluar jauh dari jejak desainnya.

Namun, apakah konsep ini secara komersial akan diterima pasar? Kembali lagi, semua tergantung pada kekuatan daya beli dan kesadaran konsumen akan dampak lingkungan dari pakaian yang dibelinya. Seperti yang diutarakan dalam perayaan 10 tahunnya baru-baru ini, label busana santun Ria Miranda pernah mencoba koleksi eco-conscious namun kurang disambut hangat, tersandung harga tekstilnya yang lebih tinggi.

Fakta ini menarik, mengingat sebagai salah satu pemrakarsa komunitas hijabers, Ria Miranda adalah salah satu penguasa pasar modest Indonesia. Dengan kekuatan solid Ria Miranda Loyal Community (RMLC) yang bukan saja setia membeli tiap koleksi yang dikeluarkan label-label Ria Miranda dalam setahun, namun juga ludes menyerbu koleksi kapsul seperti dengan Cotton Ink dalam hitungan jam.

Maka dapat disimpulkan bahwa pasar busana santun Indonesia ini masih dalam fase pertumbuhan, penuh potensi bisnis sekaligus peluang edukasi. Sehingga yang perlu didorong kini bukan hanya kreativitas desain, namun juga inovasi teknologi dalam produksi dan tanggung jawab sosial.

(Teks: Yudith Kindangen; Foto: Courtesy of Purana)