Tak sekadar rutin menggelar fashion show di tiap musim,beberapa desainer Indonesia ini berhasil mendapatkan tempat di hati para penikmat mode tak hanya di Indonesia tapi juga dalam skala internasional.
Perjalanan yang panjang dengan cerita pengalaman yang menginspirasi, tangan kreatifnya berhasil membawa perubahan yang membanggakan dalam urusan fashion Tanah Air.
Mereka juga telah menorehkan prestasi di kancah global. Ini dibuktikan dari sejumlah desainer yang berhasil membawa pulang beragam penghargaan dunia atau yang koleksinya dikenakan beberapa selebriti internasional.
Lantas siapa sajakah mereka yang telah mengharumkan nama Indonesia?
Berikut Bazaar rangkum 10 desainer Indonesia paling berpengaruh sepanjang masa.
1. Biyan
Desainer kelahiran Surabaya ini merupakan salah satu perancang Indonesia yang konsisten berkarya sejak lama. Ia merintis karier sejak tahun 1983, ketika magang di rumah mode Enrico Coveri, Florence, Italia. Sekembalinya dari studi di Eropa, Biyan mulai merilis koleksi ready-to-wear yang diangkat dari namanya, Biyan, pada tahun 1984. Rancangan yang kaya akan detail ornamen menjadi andalannya. Koleksinya sarat akan romantisisme, elegan, tetapi praktis dikenakan perempuan urban.
Kemudian di tahun 1995, ia meluncurkan label kedua, Studio 133 Biyan. Lewat label keduanya ini, ia persembahkan koleksi dengan desain yang cenderung kasual dan harga yang lebih terjangkau namun tetap menonjolkan DNA miliknya, yaitu detail bebatuan.
Sementara itu, di saat Indonesia terkena krisis ekonomi Asia pada bulan Mei tahun 1999, Biyan justru meluncurkan label yang dirancang untuk anak muda, (X)S.M.L. Potongan asimetris dan dekonstruksi menjadi ciri khas label tersebut. Untuk materialnya, label (X)S.M.L menggunakan bahan katun yang cocok dikenakan sehari-hari.
Di tahun 2004, lahirlah rancangan yang dipersembahkan secara eksklusif untuk pengantin, yaitu Biyan Bride. Melalui label ini, ia membuka layanan personalisasi gaun yang bisa disesuaikan dengan karakter calon pengantin.
Tak hanya dari ranah fashion saja, Biyan juga menggemari produk-produk interior. Lewat kecintaannya tersebut, ia merilis produk interior sendiri dengan nama Biyan Living pada tahun 2006.
Perancang dengan pendidikan formal dari The London College of Fashion tahun 1981-1983 ini selalu mengambil inspirasi dari kekayaan tropis dan keragaman suku dan budaya Indonesia. Desainnya feminin, bersemangat global dan kekinian. Rancangan dari label Biyan pun bisa ditemukan di berbagai kota-kota besar di Indonesia, bahkan retail ternama internasional di Hong Kong, Taipei, maupun toko online multilabel, seperti Moda Operandi dan Net-a-Porter.
2. Sebastian Gunawan
Menjadi salah satu desainer Indonesia yang berhasil memadukan kreativitas dan bisnis, Sebastian Gunawan mengawali karier di tahun 1993 sepulangnya dari belajar fashion di Milan.
Ia memulai dengan label eponimnya, Sebastian Gunawan, yang bergaya adibusana dan dibuat berdasarkan pesanan. Kehadiran awal Sebastian berhasil menarik perhatian berkat rancangan yang anggundan mewah. Apalagi permainan detail seperti kristal, sulam, dan pemakaian kain yang halus, terutama berjenis sutra kerap ia tampilkan.
Tahun 1995, Sebastian yang dikenal akrab dengan panggilan Seba ini, merilis koleksi siap pakai bertajuk Votum sebagai label sekundernya. Ia bekerja sama dengan sang istri yang berasal dari Italia, Christina Panarese. Kemudian di tahun 2000, keduanya membuat koleksi siap pakai dengan sentuhan adibusana yang diberi nama Sebastian Red.
Karier Seba terus bergerak maju dan tahun 2006 lahirlah label Sebastian Sposa untuk rancangan gaun pengantin. Kemudian pasangan Seba dan Christina ini mendesain baju untuk anak-anak dengan label Bubble Girl.
Seba begitu tertarik akan dunia fashion, hingga pada tahun 1984 ia mengambil langkah untuk kursus di Lembaga Pengajaran Tata Busana Susan Budihardjo yang kemudian dilanjutkan di Fashion Institute of Design and Merchandising, Los Angeles, Amerika Serikat tahun 1987 dan Istituto Artistico dell'Abbigliamento Marangoni, Milan, Italia tahun 1989.
Sebelum memulai bisnis mode, Sebastian sempat menjadi asisten PR Manager di perusahaan pemasok peralatan kelautan di Jakarta, kemudian menjadi asisten desainer di Park's Tuxedo and Bridals di Los Angeles, Amerika Serikat tahun 1987-1988, dan desainer paruh waktu di Egon von Fusternberg, Milan tahun 1990-1991. Saat ini karya Sebastian Gunawan hadir di sejumlah mal dan memiliki butik sendiri di kawasan Harmoni, Jakarta.
3. Didi Budiardjo
Pria kelahiran Malang tahun 1970 telah melalui evolusi desain dalam perjalanan kariernya. Sepulang ke Tanah Air dari belajar mode di Atelier Fleuri Delaporte, Paris tahun 1991, Didi memproduksi rancangan siap pakai bergaya kontemporer yang dipasarkan melalui sejumlah department store di Jakarta.
Sebelumnya di tahun 1989, Didi berhasil menjuarai Susan Budihardjo Designer Contest ketika dirinya mengenyam pendidikan fashion di Lembaga Pengajaran Tata Busana Susan Budihardjo.
Rancangan yang elegan dan mengikuti lekuk tubuh wanita menjadi identitas Didi ketika merancang gaun malam maupun gaun pengantin.
Tak hanya glamorama dari sehelai gaun, lewat label eponimnya, Didi juga mewujudkan kecintaannya terhadap seni dan budaya Indonesia dengan mempersembahkan koleksi berupa kebaya.
Berbagai prestasi pun berhasil ia raih. Ia mendapatkan penghargaan Piala Redaktur Mode 1993 sebagai New Comer Fashion Designer of the Year 1991 dari para redaktur mode Jakarta yang tergabung dalam Redmod. Kemudian, Didi juga menerima penghargaan "Fashion Designer Awards 2000" dari Fashion Cafe Jakarta, dan sejumlah penghargaan lainnya.
Didi juga kerap menampilkan kreasinya dengan mengikuti ajang internasional, seperti pekan mode Hong Kong World Boutique pada tahun 2006 dan 2007, kemudian rancangannya menjadi salah satu yang ditampilkan dalam pembukaan Asian Games 2006 di Doha, Qatar.
4. Ghea Panggabean
Desainer ini mendapat julukan Ratu Etnik karena konsisten menggunakan elemen dari suku-suku berbagai belahan dunia ke dalam desain busana dan aksesorinya.
Setelah belajar fashion di Lucie Clayton College of Dressmaking Fashion Design, London (1976-1978) dan Chelsea Academy of Fashion, London (1979), Ghea kembali ke Jakarta dan langsung menarik perhatian pencinta fashion karena karakter desainnya yang menggunakan berbagai unsur budaya masyarakat lokal, terutama dari Indonesia.
Ghea mempopulerkan kembali jumputan dan lurik ke dalam fashion dan sampai kini tak berhenti menggali kekayaan Tanah Air, antara lain kain simbut yang merupakan batik kuno dri Banten, busana pengantin Jawa berupa kebaya panjang beludru hitam dengan kutu baru, hingga aksesori dari Sumatra Barat dan kain tenun Indonesia Timur.
Beberapa penghargaan yang telah ia terima adalah "Best Asian Designer Award" tahun 1987 di Singapura, Apparel Trophy sebagai desainer pakaian siap pakai terbaik Indonesia tahun 1987 dari Redaktur Mode, dan Adikarya Wisata Award tahun 1987. Selain dipasarkan di sejumlah gerai toko di Jakarta, karya Ghea juga dapat ditemukan di Aseana Boutique di Kuala Lumpur, Malaysia yang kemudian dipasarkan lagi hingga ke Amerika, Prancis, dan Belgia.
Tahun 2009, Ghea memperkenalkan peralatan makan keramik bercorak jumputan Palembang yang bekerja sama dengan Kedaung Group.
5. Didit Hediprasetyo
Tumbuh dan besar di Boston, Amerika Serikat, Didit Hediprasetyo memulai kariernya sebagai perancang busana ketika dirinya tinggal di Paris, Prancis.
Didit belajar desain mode selama 4 tahun di Parsons School of Design, New York dan École Parsons à Paris. Ia juga mengambil kursus melukis, fotografi, dan sejarah seni.
Didit meraih penghargaan Silver Thimble 2006 untuk karya modenya saat masih berstatus sebagai pelajar, dan lulus pada tahun 2007. Saat ini, karya-karyanya rutin diperagakan di panggung Pekan Mode Paris. Ia tercatat sebagai salah seorang perancang busana yang masuk daftar Official Calendar Paris Fashion Week yang secara konsisten menggelar peragaan dalam ajang tersebut, menjadi satu dari sedikit desainer Indonesia yang berhasil menembus pagelaran mode bergengsi tersebut.
Didit juga tercatat sebagai salah seorang perancang interior mobil BMW Inpidual Series 7.
Karya rancangannya antara lain pernah dipakai oleh penyanyi Kanada, Carly Rae Jepsen, saat menghadiri MTV Video Music Awards 2013. Sejumlah aktris Indonesia pun sering mengenakan gaun-gaun rancangan Didit, di antaranya Anggun, Bunga Citra Lestari, dan Velove Vexia.
Gaun adibusana karya Didit juga pernah dipublikasikan oleh majalah Vogue Inggris. Ia menjadi satu-satunya desainer Indonesia yang mencatatkan namanya di situs majalah mode tersebut.
6. Adrian Gan
Memulai karier sejak tahun 1986, Adrian Gan memiliki karakter desain yang kuat melalui penggunaan struktur.
Ia kerap bereksperimen dengan bentuk dan materi baru tanpa melupakan unsur daya pakai dan penampilan yang menarik. Misalnya, membuat koleksi yang berangkat dari teknik origami dalam pergelaran tunggal tahun 2006 dan bentuk arsitektur rumah Padang dalam pergelaran bersama Bazaar's Fashion Concerto tahun 2008 lalu.
Bagi desainer lulusan Lembaga Pengajaran Tata Busana Susan Budihardjo Jakarta ini, identitas desain adalah jati diri dari seorang desainer. Maka tak heran jika rancangannya begitu diapresiasi.
Ia juga berhasil menerima banyak penghargaan. Salah satunya menjadi juara pertama kompetisi siswa sekolah LPTB Susan Budihardjo tahun 1985 yang membuka peluang dirinya untuk terus berkarya hingga saat ini.
Jahitan yang rapi, eksplorasi budaya, detail sulaman yang kaya membuat Adrian banyak menerima pesanan khusus. Dan yang paling khas dari rancangannya, ia kerap menampilkan DNA miliknya tanpa mengesampingkan sisi idealis dirinya.
Koleksinya menjadi andalan para pengantin yang begitu jeli mengutamakan kualitas desain.
7. Edward Hutabrat
Biasa disapa dengan sebutan Bang Edo, ia dikenal melalui rancangannya yang selalu bersentuhan dengan budaya Indonesia. Desainer kelahiran Medan dan berkarya di Jakarta ini belajar fashion secara otodidak. Ia pernah menjadi finalis Lomba Perancang Mode (LPM) dan memulai karier sebagai desainer sejak tahun 1981. Tahun 1985 ia mendalami tenun ulos dan sempat mengadakan pameran di Belanda bersama Prajudi Atmodirdjo.
Tahun 1990, Edo mendalami songket dan batik Jambi yang membawa dirinya untuk melakukan pameran di London pada tahun 1992. Kemudian di tahun 1996, ia membuat busana nasional Indonesia dan dikenal sebagai pembuat kebaya berkelas. Riset atas kain tradisional dan seni kriya Indonesia melahirkan buku Busana Nasional Indonesia tahun 1999 dan diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Meskipun bukan pembatik, kecintaannya pada batik membuat dirinya untuk merilis buku kedua, Batik Indonesia pada tahun 2006.
Tahun 2007, ia membangkitkan kembali gairah pada busana berbahan batik melalui rancangan bermerek Part One yang bergaya muda dan urban global dengan memadukan batik katun atau corak kotak-kotak, bergaris, atau berbunga yang kemudian diikuti banyak orang.
Upaya ini memberikan ia penghargaan Fashion Icon Award 2008 dari Asosiasi Perancang Pengusaha Mode atau APPMI sebagai penggagas kembalinya batik tenun.
Edo rutin berkeliling ke berbagai tempat di Indonesia, selain untuk mempromosikan busana nasional dan pemakaian kain tradisional, terutama batik sebagai gaya hidup sehari-hari, juga untuk bekerja sama dengan perajin kriya di berbagai tempat.
8. Sapto Djojokartiko
Lulusan Esmod Jakarta ini dilahirkan dan dibesarkan di Solo, kota yang memadukan antara aristokrasi dan feodalisme Jawa dan kolonialisme Belanda, sehingga memberikan banyak pengaruh bagi seorang desainer Sapto Djojokartiko. Kekayaan latar budaya pun kerap diangkat menjadi inspirasi terbesarnya.
Sapto meluncurkan label dengan namanya sendiri pada tahun 2007. Semula ia lebih banyak membuat pakaian berdasarkan pesanan, terutama kebaya. Namun di tahun 2009, ia mulai memproduksi busana siapa pakai.
Material lace dengan sulaman bordir menjadi identitas rancangannya sejak awal. Ia senang mengeksplorasi sisi kecantikan wanita melalui berbagai palet warna lembut. Siluet yang rileks dan craftsmanship berkualitas tinggi diolah secara cermat. Nuansa santun dengan keseksian yang tersirat begitu terasa ketika melihat rangkaian koleksi siap pakainya.
Tepat 10 tahun sudah desainer ini berkarya. Jajaran busana dihadirkan dengan mengedepankan kekuatan teknik bordir tampil semakin modern dan elegan namun tidak berlebihan.
Sapto Djojokartiko juga banyak menggunakan material yang luwes dan ringan mengikuti alur gerak pemakainya. Pemilihan bahan ini terasa tepat untuk diaplikasikan ke dalam sebuah koleksi busana siap pakai, khususnya untuk musim panas.
9. Bin House
Rumah mode milik Josephine Komara ini terinspirasi dari objek di sekelilingnya, seperti kombinasi warna, bentuk, motif, dan juga penataan. Menurut wanita yang akrab disapa Obin, tiap kreasinya itu diciptakan untuk wanita masa kini. Perpaduan batik dan tenun pun diolah secara kreatif.
Tak ada kata membosankan jika melihat setiap rancangan Obin. Ketertarikannya pada tenun dimulai tahun 1975, bermula dari minatnya pada benda antik dan kain tua. Bersama suaminya ketika itu, Baron Manansang, dan seorang kerabat, Yusman Siswandi, Obin mengenalkan tenun untuk keperluan interior dan kemudian tenun ikat sutra memakai alat tenun bukan mesin yang melahirkan rangkaian koleksi wastra modern.
Berbekal pengalaman puluhan tahun itulah, ia piawai dalam memberi tekanan pada struktur kain yang digunakan.
10. Anne Avantie
Memulai karier sejak tahun 1989, Anne Avantie dikenal berkat eksplorasinya pada busana nasional dan kain tradisional. Bentuk dasar rancangannya dapat dikenali dengan mudah, yaitu kebaya, meskipun banyak modifikasi yang ia lakukan.
Anne sendiri mengatakan, ia tidak menabrak aturan baku kebaya yang dianggap sakral. Dalam perjalanan kariernya, Anne Avantie yang belajar fashion secara otodidak ini mendapat hati di masyarakat, terutama karena busananya tampil mewah dengan menggunakan manik kristal, sulam, dan bordir, hingga bulu.
Anne juga menggunakan kain batik yang diberi imbuhan kristal, tenun sutra tradisional yang dilukis, hingga lurik.
Berbagai penghargaan diraih seperti Kartini Award 2005 dari Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia, mengikuti pergelaran di Kuala Lumpur Asia Fashion Week 2004, dan acara pergelaran tren Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) di mana ia bergabung.
Selain memenuhi permintaan perorangan melalui karya merek Anne Avantie, ia juga memiliki produk busana siap pakai memakai batik bermerek "Batiken Lawasan".
Butiknya terdapat di Grand Indonesia dan The Catwalk Mal Kelapa Gading, Jakarta. Selain itu, ia juga aktif dalam kegiatan sosial, mengelola Wisma Kasih Hyrocephalus yang kegiatannya antara lain membantu anak dengan hidrosefalus, serta melatih pengembangan bakat untuk siswa perempuan di beberapa sekolah kejuruan.
(Foto: Courtesy of Instagram Biyan, Sebastian Gunawan, Didi Budiardjo, Ghea Panggabean, Bin House, Didit Hediprasetyo, Adrian Gan, Edward Hutabarat, Sapto Djojokartiko, dan Anne Avantie)