Fashion di Tangan Perempuan

Sudah saatnya fashion menatap kembali sosok-sosok perempuan yang telah berkecimpung dan membangun industri ini dengan warnanya sendiri.



Fashion kerap dipandang sebagai dunia feminin, namun hampir satu abad lamanya mayoritas rumah mode justru dikepalai oleh kaum pria.

Dalam beberapa periode terakhir, industri fashion pun mengalami sebuah transformasi. Sejumlah rumah mode besar mengucapkan selamat tinggal kepada direktur kreatif yang telah mengabdi bertahun-tahun lamanya, dan sebagian rumah mode lainnya justru melepas direktur kreatif hanya dalam hitungan beberapa musim saja.

Namun ada momen menarik yang menorehkan sejarah penting dalam industri fashion modern; sejumlah perancang perempuan berhasil menduduki singgasana di rumah-rumah mode legendaris yang tidak pernah merekrut direktur kreatif bergender perempuan sebelumnya. Inikah momen bagi perancang perempuan untuk bersinar?

Christian Dior mengambil langkah berani dengan menggandeng perancang asal Italia, Maria Grazia Chiuri, untuk menggantikan Raf Simons yang mengundurkan diri dari rumah mode prestisius tersebut.

Lewat koleksi perdananya, Maria Grazia Chiuri menggemparkan dunia fashion dengan mengangkat gelora feminisme secara lantang lewat T-shirt bertuliskan “We Should All be Feminist” yang menjadi salah satu bentuk kesuksesan komersial yang ia cetak untuk koleksi runway Christian Dior.

Pendekatannya untuk merayakan semangat feminisme dengan memadukan unsur artistik dan komersil pun mendapatkan pujian dari berbagai pihak. Ini adalah sebuah keterampilan khusus sekaligus sensitivitas yang tak dimiliki oleh banyak desainer.

Kendati ia telah lama berkecimpung di industri fashion (sebelumnya ia bekerjasama dengan Pierpaolo Piccioli untuk Valentino selama 17 tahun), namun namanya belum pernah menjadi pusat perbincangan publik seintens setelah ia menjabat di Christian Dior.

Maria Grazia Chiuri



Nama lainnya yang menjadi sorotan adalah Clare Waight Keller, mantan direktur kreatif Chloé yang kini memimpin rumah mode legendaris Givenchy menggantikan Ricardo Tisci.

Sama halnya dengan Christian Dior, sebelumnya Givenchy tidak pernah mempekerjakan perempuan sebagai direktur kreatifnya. Sehingga ketika Clare Waight Keller didaulat sebagai direktur kreatif Givenchy, dunia fashion pun cukup geger dibuatnya.

Publik menganggap rancangan Clare Waight Keller terlalu lemah lembut untuk disandingkan dengan DNA Givenchy yang sharp. Namun ia segera membuktikan keluwesan desain serta kepiawaiannya dalam menyeimbangkan warisan estetika Givenchy.

Sarah Burton yang mengepalai label Alexander McQueen juga telah membuktikan kemampuannya dalam memberikan arahan kreatif seraya tetap mempertahankan ciri khas artistik Alexander McQueen yang begitu kuat dan berkarakter.

Sebelumnya Sarah Burton telah lama mengasisteni Alexander McQueen, hingga ajal menjemput sang desainer fenomenal tersebut.

Kita mungkin tidak bisa sepenuhnya berharap bahwa Sarah Burton akan mengemas peragaan busana dengan pendekatan teatrikal seperti yang dulu biasa dilakukan oleh Alexander McQueen semasa hidupnya. Namun jika kita telaah baik-baik setiap koleksi yang dilansir oleh Sarah Burton, kita dapat melihat dan merasakan jiwa Alexander McQueen bersemi di setiap desainnya—hanya saja ia tampilkan dengan napas yang lebih lembut dan feminin.

Kualitas seperti inilah yang menjadikan nama Sarah Burton disebut-sebut sebagai salah satu perancang busana wanita paling sukses di masa kini.


Alexander McQueen Spring/Summer 2018 dengan direktur kreatif Sarah Burton


Fenomena menarik ini seolah mengajak kita untuk mengenang wajah fashion di awal abad ke-20, ketika fashion baru berkembang menjadi sebuah 'industri' atau 'bisnis' dengan target pasar yang didominasi oleh kaum perempuan.

Industri ini telah lebih dahulu dibentuk oleh sosok-sosok perancang maupun couturier perempuan hebat seperti Coco Chanel yang dengan gagah berani membebaskan perempuan dari penggunaan korset kemudian 'melegalkan' pemakaian celana panjang pada perempuan.

Atau Elsa Schiaparelli dengan rancangannya yang avant garde, kaya akan nilai seni dan untuk pertama kalinya pula ia mengenalkan baju renang perempuan yang dilengkapi dengan bra di bagian dalamnya.

Kemudian Jeanne Paquin, salah satu couturier perempuan pertama yang mendirikan couture house di Paris di tengah gempuran couturier laki-laki. Ia membuktikan bahwa sebagai seorang perancang perempuan, ia juga mampu menjalankan bisnis dan strategi pemasarannya sendiri--sebuah representasi perempuan multitasking di eranya.

Ada pula Jeanne Lanvin, salah satu couturier paling berpengaruh di Prancis yang termasyhur akan gaun berdetail spektakuler.

Madeline Vionnet, dijuluki sebagai Mother of All Couturiers berkat kecakapan teknik desain yang senantiasa menginspirasi desainer generasi penerusnya. Hingga Mary Quant yang mempopulerkan rok mini di era '60-an dan memberikan kebebasan bagi para perempuan untuk memamerkan kaki mereka di ruang publik.

Para perancang perempuan tersebut jelas memiliki estetika yang berbeda satu sama lain, mereka memberikan warna tersendiri pada panorama fashion di kala itu.

Mereka tak hanya sekadar 'mendandani' kaum perempuan dengan rancangan-rancangan yang indah dan berkarakter, namun juga membantu mendefinisikan gaya personal mereka sekaligus mendorong perempuan untuk dapat mengembangkan sense of fashion sendiri.

Melalui fashion, mereka menyuntikkan semangat empowerment kepada sesama kaum perempuan. Boleh dikatakan, itulah cikal-bakal pengaplikasikan spirit feminisme melalui fashion.


Madeline Vionnet


Seiring dengan pesatnya perkembangan industri fashion, tentu alangkah baiknya bila bisnis raksasa ini juga memberikan lebih banyak kesempatan bagi kaum perempuan untuk mengembangkan potensinya dan menjadikan industri ini sebagai wadah yang bersifat empowering bagi kaum perempuan baik secara profesional maupun personal.

Sungguh menyenangkan melihat lebih banyak desainer perempuan berdiri gagah mengepalai label-label fashion ternama dan diakui sebagai top fashion desainer.

Nama-nama besar seperti Miuccia Prada, Phoebe Philo, hingga Stella McCartney merupakan segelintir desainer fashion paling berpengaruh yang telah secara konsisten menampilkan koleksi yang senantiasa memukau publik, seraya menyampaikan pesan-pesan empowerment dengan caranya sendiri.

Tak ketinggalan desainer jenius asal Jepang seperti Rei Kawakubo dan Chitose Abe (dengan labelnya Sacai) yang juga selalu menghadirkan ide maupun desain inovatif dan eksperimental, seolah memberikan kebebasan bagi kaum perempuan untuk dapat mengekspresikan dirinya secara utuh lewat fashion.


Rei Kawakubo


Atau pemain-pemain yang tergolong baru seperti Gabriella Hearst dan Rosie Assoulin juga tak luput dari perhatian para pencinta fashion modern.

Namun nama-nama itu saja tidak cukup, kita masih membutuhkan lebih banyak desainer perempuan dengan karya-karyanya yang ikonis untuk terus bersinar selagi merepresentasikan dan mengartikulasikan semangat dan keindahan napas feminin dalam sebuah koleksi fashion yang merayakan the beauty of women.


Baca juga:

Semangat Feminisme dalam Fashion

Perempuan Mengenakan Jam Tangan Mekanis, Mengapa Tidak?


(Foto: Coco Chanel: Douglas Kirkland; Clare Waight Keller: dok. Bazaar; Elsa Schiaparelli dress: courtesy of The Metropolitan Museum of Art; Mary Quant: courtesy of Wikipedia; Phoebe Philo: dok. Bazaar; Stella McCartney: courtesy of Kering; Rei Kawakubo: dok. Bazaar; Miuccia Prada: courtesy of Prada; Maria Grazia Chiuri: Maripol; Jeanne Lanvin: Patrimoine Lanvin, Alexander McQueen lookbook: courtesy of Alexander McQueen)