Mengenal Stuart Vevers Lebih Dekat

“Kalau saya tidak menjadi desainer, saya akan menjadi pop star," ungkap desainer label Coach ini.



Stuart Vevers membuktikan bawah ia perlu diperhitungkan. Sejak bergabung tiga tahun yang lalu sebagai Executive Creative Director, ia mengubah Coach dari sebuah leather house menjadi sebuah merek lifestyle dengan konsep luks, modern, danedgy.

Salah satu terobosannya adalah meluncurkan Coach 1941, lini ready to wear termasuk leather items Coach yang lebih premium, tapi punya spirit muda dan kini.

Ia mengatakan "Yang terpenting untuk saya adalah menemukan apa yang diinginkan generasi muda. Bagaimana wajah fashion dan dunia luxury di masa mendatang. Sekarang adalah saat penting untuk merumuskan kembali kode dan arti luxury. Saat ini kemewahan bisa ada pada sneakers atau sweatshirt, atau playful backpack.

Dan saya rasa generasi mendatang akan berubah dalam memandang arti kemewahan. Coach sebagai America's house of leather, bisa mengacu gaya America effortless dan fungsional. It really helps to challenge those preconceptions."

Banyak hal yang akan ia lakukan untuk Coach. “Saya sangat ambisius,” katanya. Jam 8 pagi ia sudah berada di kantornya di New York dan ia biasanya bekerja hingga jam 7 atau 8 malam. Tapi ia tetap menikmati hidup, menikmati New York.

Setelah jam kerja, ia biasanya makan malam bersama teman-teman dekatnya atau nonton konser. Hobinya adalah menelusuri kota, mencari barang-barang vintage di toko-toko antik. Dan banyak yang tidak tahu kalau ternyata ia pernah bermimpi menjadi penyanyi.

Saya menanyakan sejumlah pertanyaan singkat kepadanya saat bertemu di New York. Dapatkah Anda menebak pilihannya?


(Layout: Astis. Foto: Courtesy of Coach)