Laman pertama search engine Google Images langsung dipenuhi dengan gambar wanita berambut panjang dan kulit putih setelah saya klik enter. Bisakah Anda menebak keyword apa yang saya ketik sebelumnya? Jawabannya adalah kata cantik yang saya sandingkan dengan kata Indonesia. Cukup kaget dengan hasilnya, saya pun berbincang dengan dua narasumber Bazaar tentang pandangan, dan pengalaman mereka akan standar kecantikan orang Indonesia.
Sampul majalah fashion dan lifestyle adalah sebuah sarana untuk fantasi mewah. Mimpi dan impian konsumen adalah daya jualnya, menunjukkan seorang selebriti atau supermodel mengenakan busana rancangan desainer ternama, aksesori yang tak kalah berkilau, dan tentu riasan sempurna dari tim rambut dan make-up artist. Sosok yang namanya sudah dikenal khalayak luas muncul di laman Google yang saya ketik tadi. Ya, benar adanya yang tadi muncul adalah mereka yang berkebangsaan Indonesia, namun itu hanya sebagian kecil.
Mulai menimba ilmu di sekolah fashion pada tahun ‘90-an, Michael Pondaag yang kini dikenal sebagai Fashion Director di Harper’s Bazaar Indonesia, berbagi cerita tentang pengamatannya akan industri fashion. Zaman itu adalah eranya supermodel, sebuah titel yang barangkali sempat menjadi tolok ukur seorang model. “Terus terang standar kecantikan pada model itu beragam. Ada yang Indo, ada yang berkulit gelap, dan wajah oriental. Walau tidak banyak, masing-masing dari mereka ini mempunyai gayanya sendiri”. Nama-nama model zaman lawas pun disebutkan satu per satu oleh Michael. “Model Ria Saha itu tidak terlalu komersil, tapi ekspresif, dan jalannya, super! Kintan Umari yang menjuntai tinggi dengan kulit benar-benar gelap, dia sempat kerja di Eropa dengan desainer Bob Mackie. Sama seperti Vera Kinan, dulu dia muncul di direct book majalah Singapura, bahkan foto dengan model tenar Singapura di kota New York. Yang wajahnya Jawa sekali pun ada, Ratih Sanggarwati dan Ria Juwita”. Dari kumpulan nama ini, sadarkah Anda kalau Michael lebih menilai model dari keunikannya terlebih dahulu? Kendati demikian, benar adanya bahwa mata belok dan kulit putih selalu dianggap lebih cantik di Asia.
Bernapas fashion, bertemu dengan model dari dalam maupun luar negeri sudah menjadi aktivitas sehari-harinya. Sebagai the brain behind the shoot, Michael selalu memanggil model yang cocok dengan konsep yang sudah ia matangkan, bukan dari kulit, atau model rambut. Tren kecantikan pun selalu diawasinya, “Tapi siklusnya tidak panjang. Seperti zaman di mana banyak model senior yang potong rambut, cabut alis, atau kulit jadi tan semua. Di tahun ‘90-an, perempuan Indonesia itu harus berambut panjang dan kulit putih. Kalau panjang, laki-laki itu akan lebih suka”. Tahun 2000 adalah tahunnya model dengan wajah bule berdatangan, bahkan diterbangkan dari luar negeri. “Meski demikian, selalu model dengan dengan rambut gelap yang dicari. Biar ada kesan Indo,” imbuhnya.
"Di tahun ‘90-an, perempuan Indonesia itu harus berambut panjang dan kulit putih. Kalau panjang, laki-laki itu akan lebih suka.”
Semakin banyak hari yang dilalui, tren pun berganti. Sudah mencermati sejak dua tahun terakhir, demand kecantikan Indonesia makin melejit. “Bahkan pada mau model Indonesia aja!” tuturnya. Media sosial tentu memiliki peran yang besar dalam pergeseran tren. Munculnya kearifan lokal membuat orang semakin bangga dengan peninggalan nenek moyang kita. “Dulu itu kita ingin melihat sesuatu yang lain. Sekarang, kita memeluk erat keragaman ini. Kita mau sesuatu yang beliavable dan related. Mungkin itu juga yang membuat para influencer jadi booming, karena kita ingin percaya dengan hal-hal yang realistis”.
Berada di lingkup kerja yang sama, belum tentu serupa pengamatannya. Michelle Tahalea, seorang model yang pasti wajahnya sudah sering Anda lihat di lembar fashion spread majalah, look book, hingga berjalan di atas panggung pergelaran busana pun Bazaar ajak untuk bincang sore. Jika ditanya baru-baru ini, mungkin referensi Anda terhadap Michelle adalah dari salah satu portofolionya dengan campaign kecantikan. Perjalanannya untuk bisa kesana itu tidak semudah yang dibayangkan.
Faktor tidak percaya diri sudah ada dalam diri Michelle sejak sebelum memulai kariernya. Indonesia itu terdiri dari orang-orang yang kreatif, buktinya apa saja dapat dijadikan bahan bercanda, dari yang banal hingga serius, penampilan salah satu sasaran empuk tiap industri. Seringnya Michelle diberi julukan karena kulit gelapnya adalah hal yang biasa. Contoh yang ditampilkan di media majalah dan televisi pun selalu mengajak untuk mencerahkan kulit. Tanpa ia sadari, hal itu memiliki pengaruh yang cukup besar dalam dirinya.
Ajakan saudarinya berhasil membuat Michelle mendaftarkan dirinya di sebuah modelling agency, dan naluri seorang kakak, Michelle pun menyukai pekerjaannya. Sesi foto, dan video ia lalui sembari membangun portofolionya. Satu yang ia tanyakan kepada agent-nya adalah mengapa ia jarang sekali dapat panggilanuntuk kepentingan komersil, “Karena kulit kamu gelap. Kalau komersil itu kriterianya berkulit putih,” jawab sang agent. “Lagipula kalau di supermarket, semua produk kecantikan selalu mengajak untuk merawat kulit cerahmu! Bukan rawat kulit gelapmu, kan?”.
Michelle berpendapat bahwa munculnya gerakan self-love, unity in diversity, love yourself -lah yang menggeser tren tadi. Banyak brand yang mengubah acuan kampanyenya ke arah sana. “Ini sudah aku perhatikan dalam tiga tahun terakhir. Banyak brand yang mengajak untuk embrace yourself. Jadi sebelum tiga tahun ini, saya hanya di fashion saja,” jelasnya. Bukan berarti tidak pernah, Michelle punya pengalaman yang membuatnya tertegun saat berhasil mendapat kerjaan komersil, terlebih lagi produk kecantikan. “Dua kali saya pernah ikut iklan sebuah skincare. Line saya adalah wah, kulitnya bagus banget! Selalu itu, dan anehnya pada saat itu menurut saya itu wajar,” cerita Michelle. Pengalaman foto dengan hasil retouch yang tidak realistis pun pernah ia lalui, “Sama aja bohong, dong?” Bertahun-tahun terdoktrin hal negatif membuat Michelle sempat putus asa untuk menguasai bagian komersil. Membatasi diri karena menganggap dirinya jelek pun tertanam di benaknya. “Kalau diminta kurus, saya bisa diet. Kalau diminta rambut pendek, saya bisa potong. Tapi kalau warna kulit, saya bisa apa?”.
“Kalau diminta kurus, saya bisa diet. Kalau diminta rambut pendek, saya bisa potong. Tapi kalau warna kulit, saya bisa apa?”
Sebagai wanita Indonesia yang berkulit gelap, Michelle bersyukur dengan kehadiran para Gen Z. Karena mereka banyak menghadirkan gebrakan baru seperti self-love. Michelle mengaku kini lebih mudah untuk mencari warna foundation yang sesuai dengan kulit gelapnya, biasanya ia selalu membeli produk buatan luar negeri, “Kok bisa-bisanya saya susah sekali mencari foundation kulit gelap di negara saya sendiri? Kenapa? Karena orang Indonesia itu ingin kulitnya lebih putih!” curhat Michelle. Sekarang semua orang mendapat kesempatan yang sama. “Lebih realistis dalam menunjukkan bahwa kulit orang Indonesia itu banyak sekali. Seiring dengan campaign ini, banyak pula produk lokal yang bermunculan memberi varian warna terbaik untuk orang Indonesia. It’s a good sign”.
Meski tidak dapat dipungkiri, Michelle mengaku masih melihat banyak yang berpegang pada warna kulit untuk standar kecantikan. Tapi pelan-pelan, stigma itu pudar. Kata unik lebih sering digunakan dalam hal kecantikan. Begitu juga citra yang dicari oleh orang banyak, dan brand sekalipun, kecantikan yang unik. “Kalau dipikir-pikir, dibandingkan dengan standar Barat, orang Indonesia sekarang itu lebih beragam, dan berkarakter. Hampir semua model bule memiliki hidung mancung, high cheek bones, dan tentu, putih. Cantiknya itu sama. Sedangkan kita? Meskipun pesek, karakter kita itu kuat sekali. Tidak harus menggunakan model bule untuk terlihat internasional,” ucap Michelle. Berbeda dengan tahun-tahun yang lampau, kini 80 persen model yang tergabung dalam industri permodelan di Indonesia adalah mereka yang beragam parasnya, tingginya, rambutnya, bentuk hidung dan matanya, hingga warna kulitnya, dalam kata lain orang mereka orang Indonesia.
Portofolio ini:
Fotografer: Nicoline Patricia Malina - NPM Photography
Stylist: Michael Pondaag
Model: Reti Ragil, Michelle Tahalea (Wynn Models), Putri Sulistiyowati, Kusuma Wardhany (Jim Models)
Make-up: Qiqi Franky
Hair: Arnold Dominggus
Retoucher: Takajo Karina
Asisten Stylist: Zico Halim
Keseluruhan Busana: Bin House