Musim gugur kali ini dipenuhi dengan banyak bacaan menarik yang siap menambah daftar buku kita. Deretan memoar dari para raksasa sastra pun turut hadir, seperti Book of Lives karya Margaret Atwood, Mother Mary Comes to Me karya Arundhati Roy, dan Joyride karya Susan Orlean. Pilihan nonfiksi lainnya menawarkan sudut pandang segar terhadap tema-tema abadi, misalnya potret penentuan nasib sendiri masyarakat adat dalam We Survived the Night karya Julian Brave NoiseCat, serta eksplorasi tentang iman dan pencarian jati diri dalam Awake karya Jen Hatmaker.
BACA JUGA: Rekomendasi 20 Buku Fiksi Menarik untuk Dibaca di 2025
Tentu saja, katalog fiksi musim gugur juga akan memanjakan para pencinta buku, dengan judul-judul terbaru dari novelis ternama seperti Lily King, Patricia Lockwood, dan Quiara Alegría Hudes.
Di bawah ini, Bazaar US merangkum 30 rilisan buku yang paling kami nantikan musim gugur ini. Untuk rekomendasi bacaan lainnya, jangan lupa berlangganan “A Closer Read,” newsletter mingguan terbaru dari direktur fitur Bazaar, Kaitlyn Greenidge, yang menampilkan percakapan eksklusif bersama beberapa penulis paling menarik masa kini.
1. Mother Mary Comes to Me, karya Arundhati Roy (2 September)
Setelah ibunya wafat pada 2022, penulis ternama dari novel The God of Small Things dan The Ministry of Utmost Happiness ini menulis memoar pertamanya. Mother Mary Comes to Me mengulik hubungan Arundhati Roy yang rumit dengan sang ibu, sebuah tema yang ia kupas dengan prosa memikat dan ketelitian tajam, gaya yang akan langsung dikenali para penggemar dari karya-karya fiksinya.
2. They All Came to Barneys, karya Gene Pressman (2 September)
Para pencinta mode tentu tak asing lagi dengan Barneys, namun menelusuri lebih dalam sejarah department store mewah yang begitu dicintai ini tetap menarik untuk dilakukan. Dan siapa yang lebih tepat untuk menceritakannya selain Gene Pressman, mantan co-CEO sekaligus direktur kreatif Barneys New York, serta cucu dari sang pendiri, Barney Pressman? Dalam buku ini, Gene menghadirkan kisah menyeluruh tentang kejayaan hingga kejatuhan brand tersebut, membawa pembaca masuk ke dalam labirin imperium Barneys seperti yang belum pernah diungkapkan sebelumnya.
3. The New Book, karya Nikki Giovanni (2 September)
Koleksi terakhir Nikki Giovanni yang dirilis secara anumerta hadir hampir setahun setelah kepergiannya di usia 81 tahun. The New Book memuat renungan penyair transendental ini tentang peristiwa-peristiwa besar yang mewarnai tahun-tahun terakhir hidupnya, mulai dari ketidakadilan akibat kekerasan polisi hingga ancaman eksistensial dari perubahan iklim.
4. It Was the Way She Said It, karya Terry McMillan (9 September)
Terry McMillan, penulis best-seller How Stella Got Her Groove Back dan Waiting to Exhale, merilis kumpulan cerpen dan esai yang menampilkan potret kehidupan masyarakat kulit hitam Amerika. Dengan kejujuran tanpa tedeng aling-aling dan gaya penulisan penuh semangat, Terry menghadirkan kisah-kisah yang mampu menyedot perhatian pembaca dari awal hingga akhir, baik ketika ia mengangkat isu serius seperti kekerasan dalam rumah tangga dan kemiskinan, maupun tema universal seperti penuaan dan hubungan antar manusia.
5. A Silent Treatment, karya Jeannie Vanasco (9 September)
Setelah ibu Jeannie Vanasco pindah ke rumahnya di Baltimore, ia kerap menghadapi periode panjang ketika sang ibu menolak berbicara dengannya, sebuah reaksi berlebihan terhadap hal-hal yang dianggap menyinggung. Dalam A Silent Treatment, Jeannie mengupas betapa merusak dan mengasingkannya pengalaman ini, sekaligus mengurai kompleksitas yang mendasari hubungan ibu dan anak perempuan tersebut.
6. Does This Make Me Funny?, karya Zosia Mamet (9 September)
Dalam memoar yang unik dan menggemaskan ini, Zosia Mamet, yang mungkin Anda kenal sebagai Shoshanna Shapiro dalam serial Girls karya Lena Dunham, menyajikan sejumlah esai cerdas dan refleksi tentang industri yang membesarkannya. Dari identitasnya sebagai seorang “B-minus nepo baby” hingga pengalamannya menjalani audisi sebagai aktor, Zosia membagikan kisah dengan gaya yang tajam sekaligus menghibur.
7. The Wilderness, karya Angela Flournoy (16 September)
Lewat The Wilderness, finalis National Book Award Angela Flournoy menghadirkan sebuah karya yang digadang-gadang sebagai klasik masa depan, novel yang kelak akan dibaca lintas generasi untuk memahami nuansa dan keunikan zaman ini. Kisahnya mengikuti persahabatan empat perempuan kulit hitam milenial yang terbentang selama beberapa dekade, sementara kehidupan mereka berkembang ke arah berbeda, baik secara profesional, sosial, maupun romantis. Dengan latar gejolak sosial dan politik era 2020-an, keempat sahabat ini tetap hadir satu sama lain dengan cara-cara yang akan membentuk masa depan mereka.
8. The Loneliness of Sonia and Sunny, karya Kiran Desai (23 September)
Kiran Desai, penulis novel pemenang Booker Prize The Inheritance of Loss, kembali dengan sebuah epik memikat tentang keluarga, multikulturalisme, dan tradisi. Sonia dan Sunny sama-sama pindah dari India ke Amerika Serikat, di mana mereka mengalami perasaan terasing dan kerinduan yang serupa. Ketika keluarga besar mereka di tanah air mengatur pertemuan antara keduanya, Sonia dan Sunny harus belajar menemukan makna dari sebuah hubungan yang benar-benar berarti bagi mereka.
9. We Love You, Bunny, karya Mona Awad (23 September)
Karya terbaru Mona Awad yang telah lama dinantikan ini menjadi kelanjutan dari novel kultusnya, Bunny, yang membawa pembaca kembali ke dunia menyeramkan milik Samantha Heather Mackey, sebuah semesta di mana para mahasiswa MFA memang seseram kelihatannya. We Love You, Bunny menawarkan sudut pandang alternatif atas peristiwa dalam buku pertama, dengan Sam menyaksikan langsung upaya para Bunny membersihkan nama mereka. Sekuel penuh intrik ini akhirnya menyingkap tirai atas kekuatan mistis mereka yang mampu memberi kehidupan.
10. 107 Days, karya Kamala Harris (23 September)
Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, Kamala Harris mendokumentasikan pengalaman di balik layar saat dirinya menjadi kandidat Demokrat tak terduga dalam pemilihan presiden AS 2024. Memoar ini memuat perjalanan Kamala, dari tantangan hingga keberhasilan ketika ia mengambil alih tongkat estafet dari Presiden Joe Biden, sekaligus pandangannya yang lugas mengenai keputusan awal Joe untuk mencalonkan diri kembali.
11. Awake, karya Jen Hatmaker (23 September)
Jen Hatmaker, mantan influencer evangelis, mengisahkan runtuhnya pernikahan selama 26 tahun dalam sebuah memoar yang jujur dan penuh dinamika tentang perceraian, iman, dan kemungkinan baru. Melalui rangkaian esai yang menyentuh, Jen mengeksplorasi makna menjadi seorang perempuan di usia paruh baya yang berhadapan langsung dengan kebutuhan untuk menemukan kembali dirinya.
12. Will There Ever Be Another You, karya Patricia Lockwood (23 September)
Apakah terlalu dini menyebut ini sebagai novel definitif tentang pandemi COVID-19? Penulis ternama Patricia Lockwood menelaah cara-cara membingungkan di mana sebuah penyakit melemahkan dapat mengubah dan membentuk kembali kehidupan. Dengan menyoroti keterkaitan erat antara kesehatan, hubungan, dan identitas, Will There Ever Be Another You hadir bak perjalanan surealis menyusuri sebuah lorong kelinci.
13. Heart the Lover, karya Lily King (30 September)
Lily King dikenal lewat renungan-renungan indahnya tentang cinta dan hubungan, dan novel terbarunya, Heart the Lover, tidak terkecuali. Kisah ini mengikuti narator tanpa nama, seorang mahasiswa jurusan penulisan kreatif, yang berkenalan dan berteman dengan Sam dan Yash, dua sahabat yang mengambil kelas sastra abad ke-17 bersamanya. Saat Sam dan Yash menariknya semakin dalam ke dunia mereka, sang narator mendapati dirinya berada di persimpangan romansa, di mana pilihan-pilihan yang ia ambil akan terus menghantuinya hingga puluhan tahun kemudian.
14. What a Time to Be Alive, karya Jade Chang (30 September)
Segera setelah kematian sahabatnya, Lola Treasure Gold tanpa sengaja terlempar ke dunia ketenaran di internet. Ia memutuskan untuk mengikuti arus, namun tak lama kemudian terjebak dalam pusaran emosi terpendam, antara kesedihan atas kehilangan sang sahabat dan rasa takut ditinggalkan setelah ibunya dideportasi.
15. The Eyes of Gaza, karya Plestia Alaqad (30 September)
Lewat rangkaian catatan bergaya diaristik, jurnalis berusia 21 tahun Plestia Alaqad mendokumentasikan penderitaan memilukan yang dialami rakyat Palestina di Gaza selama dua tahun terakhir di bawah pendudukan Israel. Sambil berusaha menggenggam ingatan tentang tanah air yang tengah dihancurkan, Plestia juga merekam ketangguhan jiwa manusia, tercermin dari keberanian para perempuan, laki-laki, dan anak-anak di sekelilingnya.
16. Shadow Ticket, karya Thomas Pynchon (7 Oktober)
Lebih dari 10 tahun setelah menerbitkan buku terakhirnya, penulis peraih National Book Award Thomas Pynchon kembali dengan karya menakjubkan berjudul Shadow Ticket, sebuah novel yang berlatar masa Depresi Besar. Kisah ini mengikuti Hicks McTaggart, seorang detektif swasta asal Milwaukee yang menerima kasus untuk menemukan seorang pewaris kaya dari Wisconsin. Namun alih-alih menemukannya, Hicks justru berakhir di tengah-tengah Hungaria, di mana ia harus menghindari pertemuan dengan Nazi dan Soviet sekaligus mencari jalan untuk pulang.
17. It Girl, karya Marisa Meltzer (October 7)
Kini, istilah “it girl” mungkin sering digunakan secara mudah, namun pada era ’60-an, julukan itu melekat pada Jane Birkin. Dalam biografi komprehensif pertama tentang bintang film, mode, dan musik ini, jurnalis Marisa Meltzer menghadirkan potret manusia di balik warisan besarnya. Lewat wawancara mendalam dan riset arsip, Marisa menyingkap sisi-sisi Birkin yang belum pernah dilihat publik sebelumnya.
18. Girl Warrior, karya Joy Harjo (October 7)
Joy Harjo, penulis penduduk asli Amerika pertama yang menjabat sebagai United States Poet Laureate, mengajak pembaca menyelami perjalanan coming-of-age pribadinya dalam sebuah memoar yang reflektif dan memikat. Buku ini menyoroti pergumulan khas masa remaja, dari konflik dengan orang tua dan teman hingga belajar mencintai, sembari mendorong generasi muda untuk merangkul seni.
19. We Survived the Night, karya Julian Brave NoiseCat (14 Oktober)
Sutradara peraih nominasi Oscar, Julian Brave NoiseCat, memadukan jurnalisme dengan memoar dalam buku yang kuat tentang masyarakat Pribumi Amerika Utara. Dengan menjelajahi berbagai wilayah di negeri itu, Julian menyajikan sebuah epik kultural yang merekam kisah-kisah intim dari beragam komunitas, mulai dari gerakan melawan pembangunan Dakota Access Pipeline hingga para aktivis yang memimpin kampanye perubahan nama tim sepak bola Washington sambil menautkannya dengan sejarah pribadinya sendiri.
20. A Guardian and a Thief, karya Megha Majumdar (14 Oktober)
Dalam A Guardian and a Thief, novelis best-seller Megha Majumdar menghadirkan kisah luas tentang dua keluarga yang rela melakukan apa saja demi melindungi orang yang mereka cintai. Setelah akhirnya mendapatkan visa, Ma, putrinya yang masih kecil, dan ayahnya yang sudah lanjut usia bersiap untuk bertemu dengan sang suami di Michigan, tempat mereka berencana tinggal setelah kampung halaman di India dilanda banjir dan kelaparan yang mengancam kehidupan. Namun, ketika Ma terbangun dan mendapati dokumen mereka dicuri, ia memulai pencarian putus asa untuk merebut kembali apa yang telah hilang, sementara sang pencuri berjuang menjaga keluarganya sendiri dari bencana serupa.
21. Workhorse, karya Caroline Palmer (14 Oktober)
Di majalah mode, ada dua tipe orang: “show horses,” yaitu para insider cantik dan kaya yang bisa menaiki tangga karier tanpa banyak usaha, serta “workhorses,” alias mereka yang dibayar rendah dan jarang dihargai, namun selalu jadi tulang punggung pekerjaan. Clodagh “Clo” Harmon jelas berada di kategori kedua, tapi ia rela melakukan hampir apa saja demi meraih jabatan yang ia incar. Novel jenaka sekaligus menggelitik ini ditulis oleh mantan editor Vogue.com, menyingkap sisi glamor sekaligus (sering kali) tidak glamor dari bekerja di dunia mode.
22. Joyride, karya Susan Orlean (14 Oktober)
Penulis ternama sekaligus staf The New Yorker, Susan Orlean, menengok kembali perjalanan karier kreatifnya dalam memoar ini, yang sekaligus berfungsi sebagai panduan ahli untuk menulis narasi nonfiksi. Entah Anda seorang penulis atau bukan, Joyride akan berbicara pada siapa saja yang memiliki ketertarikan pada kreativitas, rasa ingin tahu, dan kerajinan berkarya.
23. Intemperance, karya Sonora Jha (14 October)
Setelah melalui dua perceraian, tokoh utama Intemperance, seorang profesor berusia 55 tahun dengan disabilitas yang tinggal di sebuah kota kecil Amerika memutuskan untuk mengadakan sebuah acara di mana para pria akan bersaing memperebutkan tangannya, mengikuti tradisi perjodohan ala India. Sonora Jha memadukan elemen realisme magis dan gagasan feminis untuk menghadirkan kisah tentang pencarian kebahagiaan dan cinta di paruh baya.
24. Nobody’s Girl, karya Virginia Roberts Giuffre (21 Oktober)
Sebelum Virginia Roberts Giuffre mengakhiri hidupnya pada April 2025, ia menulis sebuah memoar tentang pengalamannya bertahan dari kekerasan dan perdagangan manusia yang dilakukan oleh Jeffrey Epstein, Ghislaine Maxwell, serta sejumlah pria berpengaruh yang berniat memanfaatkannya. Kesaksiannya yang berani melawan para pelaku berkuasa tersebut telah memicu berbagai pemberitaan besar, namun dalam Nobody’s Girl, Virginia untuk pertama dan terakhir kalinya menceritakan kisah hidupnya dengan suaranya sendiri.
25. Palaver, karya Bryan Washington (4 November)
Novel terbaru Bryan Washington mengisahkan seorang pria yang tinggal dan bekerja sebagai tutor bahasa Inggris di Tokyo, tempat ia membangun “keluarga pilihannya” setelah menghadapi penolakan akibat pandangan homofobik sang kakak di rumah. Kehidupannya mendadak berubah ketika ibunya muncul di depan pintunya, pertemuan pertama setelah sepuluh tahun berpisah. Kini, keduanya harus menghadapi masa lalu sekaligus mendefinisikan kembali arti keluarga bagi mereka.
26. Book of Lives, karya Margaret Atwood (November 4)
Novelis dan penyair produktif ini mengajak pembaca menyelami pikirannya melalui Book of Lives, sebuah memoar unik yang merangkai kenangan sepanjang hidupnya, mulai dari masa kecil nomaden di hutan Quebec hingga pertemuan bohemian bersama para tokoh kreatif dengan momen-momen sastra yang hadir dalam karya-karya pentingnya seperti The Handmaid’s Tale, Cat’s Eye, dan lainnya.
27. Lightbreakers, karya Aja Gabel (November 4)
Apa yang bisa ditemukan seseorang jika diberi kesempatan untuk kembali ke masa lalu? Dan yang lebih penting, apa yang bisa hilang? Dalam Lightbreakers, Maya dan Noah adalah pasangan yang tampak bahagia, hingga pernikahan mereka diuji ketika Noah diundang untuk ikut serta dalam sebuah proyek rahasia yang memungkinkannya kembali ke masa sebelum Serena, putrinya dari pernikahan sebelumnya meninggal dunia. Bersama, Noah dan Maya menapaki perjalanan yang mengaburkan batas antara mempertahankan orang yang kita cintai dan melepaskan masa lalu.
28. How About Now, by Kate Baer (November 4)
Koleksi puisi terbaru Kate Baer menghadirkan eksplorasi penuh cahaya tentang penuaan, transisi, dan penemuan jati diri. How About Now meneguhkan posisi penyair laris ini sebagai salah satu suara paling berpengaruh dan disegani dalam isu-isu yang relevan bagi perempuan modern, mulai dari refleksi tentang keibuan hingga perenungan memasuki paruh baya.
29. Girls Play Dead, by Jen Percy (11 November)
Jen Percy, peraih National Magazine Award untuk Feature Writing, dengan lugas membahas isu kekerasan seksual berbasis gender dalam karya nonfiksi terbarunya. Menggabungkan pengalaman pribadi dan laporan investigatif, Jen bertekad mengguncang cara pandang kita terhadap pelecehan seksual, trauma lintas generasi, serta makna bertahan hidup.
30. The White Hot, by Quiara Alegría Hudes (11 November)
Kesulitan yang tampaknya mustahil dalam perjalanan menjadi seorang ibu menjadi inti dari novel terbaru pemenang Pulitzer, Quiara Alegría Hudes. April, seorang ibu muda yang membesarkan anaknya di rumah multigenerasi yang penuh kekacauan, menyerah pada hasrat terlarang hatinya, meninggalkan rumah dan anaknya tanpa menoleh kembali, dan tanpa sengaja memulai odyssey menuju kebebasan, rasa sakit, dan keinginan. Ditulis sebagai surat seorang ibu untuk anaknya, The White Hot merupakan studi karakter yang bersifat pengakuan tentang arti menemukan jati diri, meski harus mengorbankan orang-orang yang seharusnya dicintainya.
BACA JUGA:
Buku Pilihan Bazaar: The Most Famous Girl in the World oleh Iman Hariri-Kia
25 Buku Terbaik Dibaca Musim Gugur Ini
(Penulis: Chelsey Sanchez; Artikel disadur dari BAZAAR US; Alih bahasa: Syiffa Pettasere; Foto: Courtesy of BAZAAR US)