Meroketnya dunia maya, mencetak banyak selebriti baru bernama selebgram (selebriti Instagram)atau influencer. Mereka punya pageInstagram yang cantik dengan follower ratusan ribu hingga jutaan.
Halaman Instagram mereka ibarat halaman majalah tersendiri, di mana mereka yang menjadi Editor-in-chief, merangkap direktur kreatif, copy writer, dan juga model. Numpang promo di Instagram mereka biayanya mencapai puluhan juta rupiah. Mengundang mereka datang ke event pun perlu membayar mahal. Trendsetter kini tak hanya diisi oleh pelaku dunia hiburan.
Media sosial tak lagi sekedar menjadi hobi, tapi sudah bisa menjadi profesi yang memberi hasil menjanjikan dan bisa diandalkan dalam hidup. Seberapa efektifnya kah memakai selebgram untuk campaign di media sosial? Tentunya ada hitung-hitungan bisnisnya. Kalau brandatau produk berani membayar mahal, pasti mereka merasa mendapatkan benefit yang sepadan.
Ada yang memakai jasa selebgram untuk kepentingan branding dan awareness, agar lebih banyak publik yang tahu akan brandserta produk mereka. Ada yang ingin meningkatkan gengsi dan kepercayaan. Ada yang menginginan direct selling atau langsung berdampak pada penjualan. Tentunya strateginya akan berbeda . Selebgram atau influencer yang dipilih juga disesuaikan dengan target pasarnya.
Tanpa disadari masing-masing selebgramatau influencer sudah memilah pasarnya. Ada yang spesialis di beauty, fashion, food, travel, dll. Ada yang spesialis produk high end dan tentunya paling banyak yang menyasar produk-produk terjangkau.
Tapi seperti tas Hermès. Selebgram juga banyak yang kaleng-kaleng. Yang cuma modal ngaku-ngaku. Follower-nya pun beli, sepaket dengan beli like-nya juga. Makanya kalau mau pakai jasa selebgram juga mesti cerdas. Jangan silau dengan jumlah pengikut.
Di saat banyak yang mengaku selebgram dan influencer (bahkan menulis status itu di kolom bio-nya, walau pun kita tak pernah mendengar nama mereka).
Jadi siapa yang pantas disebut influencer? Influencer adalah orang yang bisa memengaruhi dan mengajak orang lain untuk mengikuti apa yang ia sarankan. Mulai saran fashion, tips makeup, ajakan mencoba hotel, restoran, dan lain-lain.
The real influencer tak selalu memiliki follower banyak. Ada yang pengikutnya tak terlalu banyak namun sangat “didengar” oleh circle-nya. Ini sering lebih efektif dari pada mengejar selebgram dengan follower dan endorse yang sudah terlalu banyak, sehingga feed-nya sudah sesak dan Insta-story-nya padat merayap.
Setiap profesi termasuk influencer tentu punya tanggung jawab. Kejujuran dimulai dari jaminan bahwa pengikutnya semua asli. Tak juga sembarang menerima endorse. Mencari tahu keamanan dan kualitas produk yang diterima. Sayangnya masih banyak yang ogah screening, dengan prinsip asal harga cocok.
Menjadi selebgram atau influencer tentu tidak semudah yang dibayangkan. Mendapat produk gratis, berfoto, uploaddan bayaran mahal. Proses untuk ratusan ribu follower organik bukan perkara gampang. Mencuri perhatian ditengah persaingan gegap gempita dunia media sosial, tentu harus punya ciri khas dan daya tarik.
Saya selalu kagum dengan effort para selebgram yang punya page menarik. Foto-fotonya nya bagus. Butuh kreativitas untuk membuat konsep foto yang indah. Mesti kepiawaian untuk menyampaikan pesan dalam gambar. Harus ada jiwa seni untuk menghasilkan foto yang artistik. Dan pastinya selera yang baik dalam mix and match produk agar terlihat menarik , terutama selebgram fashion.
Pernahkan terbayang eksekusinya di lapangan? Saat mereka harus melakukan photo shoot di sebuah lokasi dengan berbagai produk dan aksesori pelengkap foto. Kadang di satu lokasi mereka butuh mengambil foto yang berbeda look-nya. Sering kali di luar negeri sehingga minim asisten dengan segudang properti di koper, dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Terbayangkah cara mereka packing agar tak ada yang tertinggal? Semua harus di-manage dengan baik
Menata makanan sarapan di ranjang dengan jendela yang menghadap Eiffel Tower atau pegunungan Alpen. Ratusan jepretan untuk satu foto indah yang layak posting agar client puas. Hilang sudah sepera makan setelah berfoto. Mungkin hanya berlanjut makan burger dengan saos tomat.
Saat objek wisata didatangi untuk kepentingan photo shootatau bekerja, tentu beda feel-nya dengan liburan sesungguhnya. Sebagian kenikmatan lenyap karena ada beban tanggung jawab untuk menghasilkan foto yang indah. Dan sekali lagi, menggotong banyak properti foto. Ditambah menantang panas, atau bersahabat dengan dingin dan angin dengan sepotong gaun off-shoulder.
Setiap pekerjaan punya resiko. Ada suka, duka, dan perjuangan untuk hasil. Butuh kesabaran mengikuti proses waktu yang kadang tak bisa didiskon.
Setiap pekerjaan punya tantangan. Termasuk tantangan untuk tetap eksis dan bertahan menghadapi persaingan. Dan butuh strategi cerdas untuk memainkannya. Tantangan terbesar yang kadang tak disadari adalah siklus pekerjaan. Teknologi membuat banyak profesi tambuh dan hilang dengan cepat. Tak ada yang tau sampai kapan Instagram akan berjaya. Tak ada yang tau pula, sampai kapan influencer akan dipercaya. Sekarang selebgram atau influencer menjadi pesaing bagi para artis. Nanti mungkin akan muncul pula profesi baru yang akan menyaingi para selebgram atau influencer.
Dunia berputar. Hanya yang cepat dan kreatif yang bisa bertahan.
(Fotografer: Andre Wiredja, Fashion Editor: Michael Pondaag; Courtesy of Harper's Bazaar Indonesia)