Merevisi Babak Intimasi



Saatnya memoles kisah kasih rumah tangga ketika gairah cinta berada di ambang batas kadaluwarsa. Oleh Dewi Utari.

Pada detik lamaran cinta dilayangkan, ikrar sehidup semati di hari pernikahan adalah momentum kontrak lahir batin dengan pria yang pantas disebut pasangan hidup. Layaknya membuka lembaran baru, diyakini hidup rumah tangga adalah petualangan manis maupun getir yang menunggu untuk diarungi. Cerita perjalanannya adalah misteri yang sulit untuk diramalkan, bahkan peruntungan horoskop tidak mampu menjamin kelanggengan maupun jalur romantisme sepasang suami dan istri.

Meskipun terbilang jamak dalam kehidupan sosial masyarakat perkotaan, kata perceraian adalah ultimatum terakhir yang wajib untuk dihindari. Bertambahnya usia pernikahan patut dirayakan, selayaknya mensyukuri hari ulang tahun diri sendiri. Ibarat diberkati umur panjang dan hidup di dunia lebih lama, usia pernikahan dapat dinobatkan sebagai prestasi kedua belah pihak yang berjanji untuk sehidup semati. Tidak mudah, itu sudah pasti, karena tidak seperti Brad Pitt dan Angelina Jolie, atau Kourtney Kardashian dan Scott Disick yang hidup bersama tanpa komitmen, sepasang suami dan istri memiliki beban internal maupun eksternal terlampau dalam. Di salah satu sisi harus menjaga keharmonisan sebagai pasangan yang menikah, di sisi lain harus membuktikan ke hadapan sosial bahwa hidup sampai ajal memanggil tidak hanya manis di bibir saja.

“Pernikahan harus didasari oleh komitmen dan harga diri, sehingga tidak ada kesempatan bagi orang lain untuk bertepuk tangan atas kegagalan rumah tangga kita.” Kalimat tersebut sempat dilontarkan oleh Rae Sita Supit yang sudah mengarungi bahtera rumah tangga selama 43 tahun. Kata komitmen mungkin terdengar singkat, namun maknanya sering diluluhkan seiring dengan perkembangan zaman, padahal komitmen adalah suatu bentuk kesepakatan untuk hidup berdua. Sama halnya dengan komitmen, kompromi juga tak kalah pentingnya. Hidup berdua artinya bersedia menerima pasangan lahir dan batin, yang artinya siap dengan segala perkara maupun masalah yang mungkin akan dibicarakan di atas meja makan. Bukan hal yang langka apabila kompromi sulit untuk dilakoni, karena terkadang harus mengikis sifat egosentris seorang wanita demi suatu hubungan rumah tangga yang panjang jangkanya. “Mencintai pasangan hidup dengan apa adanya adalah hal terpenting dalam menjalani suatu hubungan cinta,” sahut aktris Liv Tyler.

Coco Chanel pernah berkata, “Saya tidak punya banyak waktu, karena waktu saya habis untuk bekerja dan mendalami cinta.” Keseimbangan merupakan esensi dari kalimat tersebut, dan sudah sepantasnya seorang wanita memiliki kelihaian untuk menyeimbangkan kehidupan rumah tangga dengan kehidupan karier maupun sosialnya. Pria pada dasarnya senang untuk memegang kendali, namun ada kalanya sang suami haus akan pujian kecil dari sang istri. Sikap suami yang terkadang acuh akibat kesibukan, terkadang menimbulkan pertanyaan singkat berefek domino. Bagi Ravelra S. Lubis-Marcom Manager Club 21, “Berikanlah kepercayaan kepada sang suami, sehingga dia akan menghargai kepercayaan tersebut, dan bertanggung jawab terhadap komitmen pernikahan.” Psikolog Dr. Phil McGraw menambahkan bahwa, “Jangan pernah mendasari hubungan dengan seks, karena secara otomatis seks adalah pencitraan dari hubungan yang baik antara kedua belah pihak yang saling pengertian dan mengasihi.”

“Semua terlihat jelas ketika sedang jatuh cinta,” ungkap sang legenda John Lennon. Bagaikan pisau bermata dua, kehidupan pernikahan di awal tahun dimengerti sebagai masa termanis sekaligus masa terpahit. Manis karena euforia rasa cinta sekaligus gairah membara di titik terpuncak, dan terpahit karena di awal masa pernikahan kerap terjadi perselisihan demi mengenal autentikasi pribadi masing-masing pihak. “Siap memberikan cinta sedalam lautan, maka harus siap untuk disakiti seluas angkasa,” tutup Jennifer Aniston.

Beda soal ketika pernikahan berada di usia yang terbilang mapan. Dalam hal ini konotasi mapan adalah posisi di mana kedua belah pihak termasuk kawakan terhadap sifat pasangan. Seakan menamatkan gelar profesor selama bertahun-tahun, rasa penat tentunya suatu hal yang lumrah untuk dihayati. Mengaku sudah memahami dan mengenal pasangan hidup dari ujung rambut sampai dalamnya hati, kerap dijadikan alibi untuk memangkas skenario romantisme dalam keseharian. Alhasil, beberapa polemik berbasis argumentasi justru menjadi kudapan pokok yang mengacu pada hilangnya gairah seksualitas dari lawan jenis.

Tak ingin mengalami prosesi seksualitas terlalu singkat, seringkas pernikahan Kim Kardashian dan Kris Humphries yang bertahan hanya sekejap, maka seorang istri harus kembali melakoni jabatan sebagai pasangan hidup sekaligus penulis skenario. Sudah suratan apabila Hawa sukses menaklukan Adam, maka sudah terbukti bahwa kunci kesuksesan rumah tangga tidak hanya terletak pada harta dan kesetiaan, namun terletak pada konsistensi seorang istri dalam meracik skenario rumah tangga.

Pada kenyataannya, seorang pria dikodratkan sebagai kepala rumah tangga, namun suami adalah aktor bintang laga yang siap untuk menjiwai skenario buatan sang istri. Semakin menarik ceritanya maka semakin menarik ‘tayangannya,’ begitu pula sebaliknya. Hal tersebut tentunya patut dijadikan pertimbangan dalam kehidupan percintaan berbasis seksualitas, intensitas kebersamaan yang terbukti rutin, melahirkan nuansa ‘datar’ tanpa luapan gairah di antara keduanya. Terbilang bijaksana jika seorang istri yang diberkati dengan kemampuan melakukan persuasi terhadap suami untuk memegang kendali skenario. “Sebagai seorang istri, wanita harus piawai dalam memerankan cerita percintaan. Ada saatnya menjadi seorang ‘malaikat,’ namun ada kalanya harus berperan menjadi wanita yang menggairahkan,” sambung Ravelra S. Lubis.

“Jadikanlah pasangan hidup sebagai sahabat sekaligus idola, dan ‘berselingkuhlah’ dengan sang suami untuk mempererat tali kasih,” seru Rae Sita Supit. Segala sesuatu harus dikerahkan untuk menghidupkan percikan cinta yang memadam, tak ada alasan untuk lelah berjuang demi kebahagiaan jiwa dan raga. Mulai dari mempercantik diri hingga tampil percaya diri dapat dijadikan cara untuk meraih gairah cinta kembali, namun apabila segala aspek sudah dijalani dan pihak laki-laki masih bersikap ‘dingin’, maka itulah saatnya untuk sepasang suami dan istri duduk berdua dan berbicara. Kembali berkompromi dan meluruskan persoalan yang niscaya dapat menjadi perpisahan, karena hal yang paling mujarab dalam hubungan rumah tangga adalah komunikasi, sehingga dapat tercapai kesepakatan, jawaban, serta solusi dari segala macam persoalan dalam rumah tangga. Foto: Getty Images.