Memang Penting Banget untuk Selalu Pakai Barang Bermerek?

Wanda Ponika punya pendapat tentang individu yang sangat mengabdi kepada barang bermerek.



Dunia fashion selalu menawarkan barang-barang indah dengan godaan maha dahsyat bagi kaum wanita. Dan gawatnya pula, godaan itu datang terus tiada henti dengan siklus yang cepat. Apa yang hitshari ini segera berlalu dalam hitungan bulan. Dan hadirlah koleksi baru yang tak kalah indahnya. Bagi wanita tentu ini tantangan luar biasa, bagaimana tetap up-to-date dalam tampilan, sementara dalam hidup tetap ada batasan bernama budget.

Apalagi fashion item itu banyak sekali. Baju, tas, sepatu, jam tangan, perhiasan, dan berbagai aksesori lainnya. Bahkan casing handphone pun kini harus fashionable.Belum lagi efek samping dari media sosial. Ada efek yang bikin tersenyum. Kalau dulu pakai barang bagus, yang melihat hanyalah orang-orang yang kita temui di sebuah eventatau pesta tersebut. Sementara sekarang, tinggal diunggah di Instagram, semua teman akan melihat 'the it bag' dan gaun terkini yang kita pakai.

Tapi ada juga efek yang bikin cukup bikin pusing kepala. Zaman belum ada media sosial, sepotong gaun bisa kita pakai berkali-kali, diputar ke beberapa acara. Asalkan crowd-nya bebeda, sah saja dipakai ulang . Tapi sekarang? Begitu foto diunggah di Instagram, seluruh dunia langsung melihat gaun yang kita pakai. Apalagi yang post pasti tak cuma kita. Foto tersebut akan beredar pula di akun teman-teman lainnya. Jadilah timbul rasa segan untuk mengulang pakai baju tersebut.

Sebenarnya ada cara untuk menyiasatinya. Memilih gaun2 yang cukup klasik dan memadu padankannya dengan aksesori yang berbeda sehingga menghasilkan tampilan yang baru. Baju two pieces juga bisa jadi solusi karena mudah di-mix and match.

Namun tak bisa dipungkiri bahwa tuntutan untuk eksis semakin besar. Dan banyak yang masih terikat pada paham bahwa eksistensi itu modalnya adalah apa yang menempel di tubuh kita dan apa yang kita jinjing.

Kepercayaan diri masih sangat bergantung pada tas, jam tangan, perhiasan. dan lain-lain. Seolah ada “starter kit”-nya untuk bisa diterima di lingkungan tertentu. Yang paling mencolok tentunya tas dan sepatu. Kalau fase tas sudah berhasil ditaklukkan, baru masuk ke jam tangan dan perhiasan.

Tentunya... tidak mau kalau pakai yang itu-itu saja. Harus ganti-ganti dong. Malu ah... masa cuma punya satu warna? Masa cuma punya satu model? Masa cuma lamb skin? Butuh exotic leather untuk mendapat pengakuan yang lebih lagi.

Dan akhirnya... Disaat napsu eksis dan pamer tak terbendung sementara kantong sudah tidak tahan, mulailah melirik barang palsu.

“Ah tenang saja, ini mirror quality. Made in Korea”. Tak akan ketahuan. Yang penting pakainya PD (percaya diri). Dicampur sama barang yang asli. Kalau foto pun di instagram kan kecil, tidak bakal ketahuan. Jadilah tas, ikat pinggang, jam tangan, sepatu, sampai T-shirt kekinian yang dibeli di butik khusus barang Korea mirror quality. Berliannya yang sintetis saja cukup.

Terkadang mereka lupa, saking kalapnya, semua dibeli. Mumpung barang KW kan murah. Padahal brand aslinya tidak memproduksi model tersebut.

Ada juga yang punya rasa PD lebih besar lagi, menenteng tas palsu dengan kualitas berantakan, bentuk tidak simetris, jahitan tidak rapi hingga hardware yang tak proporsional, dan saat berpose tasnya selalu dalam posisi terdepan.

Namun, banyak yang lupa akan beberapa hal:

1. Kita semestinya membeli barang branded karena kualitas dan desainnya yang bagus. Bisa menjadi koleksi bahkan investasi. Bukan semata untuk pamer dan berharap pujian.

2. Barang branded adalah sebuah karya seni yang di dalamnya terkandung desain yang sangat bernilai. Untuk menghasilkan sebuah produk butuh research dan development yang panjang serta mahal. Memastikan ergonomis, nyaman, kuat, halus, pewarnaan, finishing, bahkan jumlah jahitannya pun harus jelas. Dibutuhkan artisan senior berbulan-bulan untuk menciptakan sebuah tas masterpiece. Ingat, membeli barang palsu termasuk pembajakan.

3. Berharap dipuji karena barang yang dipakai sama saja dengan merendahkan diri kita. Ingatlah, kita sebagai pemakainya harus terap menjadi centre of attention. Baju dan semua aksesori hanyalah penunjang. Jangan biarkan personality kita ditenggelamkam oleh barang yang kita pakai.

4. Ada yang lebih penting dari sekadar menenteng barang mahal. Attitude, brain,manner . Percuma bawa barang mahal kalau attitude-nya bikin irritating. Kalau diajak ngobrol suka ngalor-ngidul, sibuk selfiedan ngobrol di tengah acara yang sedang berlangsung, dan berbagai sikap yang tidak beretika.

5. Style dan selera. Tak semua yang memakai barang mahal berhasil menciptakan look yang sophisticated. Namun banyak pula yang memakai barang biasa tapi tetap terlihat berkelas.

Kesimpulannya , tidak masalah kalau pakai barang biasa-biasa saja ,tapi dengan attitude yang luar biasa


(Foto: George Mayer@123rf.com)